DHAKA, faktualnews.co – PBB saat ini menyoroti penganiayaan militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine menjadi salahsatu komunitas paling teraniaya di dunia. Sikap Aung San Suu Kyi yang jadi pihak berkuasa di Myanmar saat ini dinilai memalukan karena bungkam atas derita yang dialami komunitas Rohingya.
Suu Kyi yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian saat jadi korban penindasan junta militer ketika dia jadi pemimpin oposisi Myanmar. Suu Kyi diharapkan masyarakat internasional jadi pembela komunitas tertindas, tapi bungkam atas nasib komunitas Rohingya di negaranya. Pemerintah Myanmar telah menyangkal jika militernya melakukan penembakan, pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan terhadap warga Rohingya dalam operasi militer terbaru di Rakhine Oktober lalu. Padahal, berbagai bukti menyatakan sebaliknya.
Kritikan keras terhadap Suu Kyi, salah satunya disuarakan media Bangladesh, Dhaka Tribune, dalam editorialnya, hari Senin (21/11/2016) yang berjudul “Come together for the Rohingyas”.
“Penaklukan dan penindasan brutal terhadap komunitas Rohingya terus terjadi meskipun pemerintah Aung Sun Suu Kyi berada di kekuasaan,” bunyi editorial itu. “Ini adalah realitas mengerikan dari komunitas minoritas ini yang mendiami negara bagian Rakhine, Myanmar,” lanjut editorial tersebut.
Bangladesh telah mengecam keras pemerintah Suu Kyi, karena komunitas Rohingya jadi korban penganiayaan militer Myanmar ketika hendak melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh.
“Yang lebih bermasalah adalah bagaimana Myanmar terus menyangkal keadaan ini, meskipun bukti menyatakan sebaliknya,” kritik media Bangladesh itu. ”Ini sangat memalukan bahwa bangsa itu terus berperilaku dengan cara ini meskipun kemarahan internasional terhadap taktik yang tidak manusiawi tersebut,” lanjut kritik tersebut mengacu pada pemerintahan Suu Kyi.
Pemerintah Bangladesh berencana menjatuhkan sanksi perdagangan yang ketat pada Myanmar kecuali komunitas Rohingya diperbolehkan kembali ke tanah air mereka dan diberikan hak yang sama sebagai warga negara Myanmar.
“Penganiayaan terus terjadi pada komunitas Rohingya Myanmar, tidak hanya suara buruk dari Myanmar, tapi dari seluruh dunia. Tidak bisa lagi dunia berpangku tangan dan menonton,” imbuh kritik editorial itu. (SinNws/sur)