JOMBANG, faktualnews.co – Roda mutasi dalam skala besar akan segera bergulir di Pemerintah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Menyusul diberlakukannya PP Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Kendati demikian, banyak hal yang perlu dikoreksi. Faktanya, meski telah berulang kali melakukan rombak jabatan, duet kepemimpinan Nyono – Mundjidah, sejauh ini belum memberikan kontribusi yang memuaskan bagi warga Jombang.
“Masih banyak layanan publik yang masih amburadul,” kata Aan Ansori, Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK), dalam rilisnya kepada faktualnews.co, Senin (02/1/2017).
Menurutnya, tidak hanya itu rumor dugaan suap juga menghinggapi dalam mutasi kali ini. Aroma jual beli jabatan sungguh sangat kental hingga muncul ke permukaan. Bahkan, disebut-sebut molornya waktu mutasi dari akhir Desember 2016 hingga saat ini, kian menguatkan adanya desas-desus praktik jual beli jabatan itu.
“Saya meyakini (dampak mutasi bagi layanan publik) masih jauh dari ekspektasi warga. Jika dibandingkan dengan bupati sebelumnya, Nyono-Munjidah belum pernah sekalipun terdengar melakukan survey kepuasan publik terhadap layanan pemkab,” tanbahnya.
Aktivis yang pernah aktif dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini juga menilai, dalam mutasi birokrasi acap kali digunakan untuk menumpuk kekayaan dengan cara melawan hukum. Sebagaimana terjadi pada Bupati Klaten yang tertangkap tangan menerima suap dari ratusan pejabat yang dimutasi.
“Jombang sendiri telah punya catatan buruk betapa rekrutmen Sekda yang terkesan seperti dagelan beberapa tahun lalu berakibat sangat fatal hingga berujung turunnya KPK ke Jombang. Ini menjadi warning untuk Bupati Nyono agar tidak bermain api dalam proses mutasi kali ini,” terangnya.
Bahkan kabar jika Bupati Nyono meminta bantuan kekuatan politik untuk mengintervensi KPK, dimata Aan justru merupakan tantangan bagi KPK. “Jangan pernah meremehkan kemampuan teknologi yang dimiliki KPK, apalagi berfikir lembaga antirasuah ini bisa diintimidasi dengan kekuatan partai politik,” tegasnya.
Sebaliknya, ia mendesak bupati agar menggunakan momentum kedatangan KPK ke Jombang, sebagai pintu masuk memperbaiki kualitas transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik. Misalnya, dengan menerapkan zona integritas sebagai upaya preventif mengamputasi nalar koruptif.
Sementara itu desas desus adanya upeti yang harus dibayar untuk menduduki jabatan dalam perubahan kelembagaan ini kian santer. Nilainya pun cukup bervareatif. Untuk sekelas kepala seksi, kepala bidang, sekretaris berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 150 juta.
“Untuk kepala dinas, di atas Rp 500 juta. Ada juga pejabat yang mau pensiun tapi masih ingin jabatan kepala dinas, itu informasinya juga bayar tapi tidak begitu banyak, di bawah Rp 200,” kata sumber yang mewanti-wanti agar namanya tidak disebutkan.
Ia menambahkan, besar kecilnya upeti yang harus diserahkan itu bergantung dengan lembaga yang ingin diduduki. Untuk dinas basah (anggaran APBD,DAK,DAU-nya tinggi), harga kursi kepala dinas mencapai Rp 1 miliar.
“Kursi direktur juga mahal. Misalnya RSUD, Bank Jombang dan lainnya. Karena PAD (pendapatan asli daerah) juga besar di perusahaan-perusahaan itu,” tambahnya.
Pengangkatan posisi tententu sebagaimana diamanatkan PP 18 Tahun 2016 tentang perangkat daerah adalah sebagai pintu masuk bagi upeti tersebut. Karena berdasarkan aturan tersebut, kepala daerah punya keleluasaan untuk membentuk struktur organisasi tata kerja untuk mengoptimalkan daerahnya.
Sejumlah nama juga diduga berperan aktif menjadi pengepul ‘mahar’ tersebut. Nama – nama tersebut diantaranya bberinisal AP, BN, ES, P, dan NS. Tidak hanya itu, informasi dilapangan menyebut, selain menyasar masalah upeti, mutasi jabatan, beberapa dinas juga masuk dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Diantaranya tiga dinas teknis, dinas pertanian, serta dinas pendidikan. Tak luput, DPRD Jombang sendiri masalah dugaan penyalahgunaan kegiatan reses fiktif.(oza/san)