Peristiwa

Gus Dur “Hadir” dalam Perayaan Imlek di Banyuwangi

Foto : Ilustrasi

BANYUWANGI, Faktualnews.co -Bapak Tionghoa Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga memiliki pemikiran pluralisme menjadi teladan dalam perayaan Tahun Baru Imlek di Banyuwangi. Pemikiran dan teladan Presiden keempat RI itu hadir dalam spirit perayaan Imlek bagi warga Tionghoa di kota ujung timur Pulau Jawa tersebut.

Ketua paguyuban warga Tionghoa Banyuwangi, Pek Ing Gwan yang biasa disapa Indrana mengaku pemikiran pluralis yang dimiliki Gus Dur inilah yang mengakhiri diskriminasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.

Sikap toleransi yang diterjemahkan dalam doktrin-doktrin Gus Dur saat ini menjadi sangat relevan di tengah kebergaman hidup di Indonesia.

“Kami etnis Tionghoa memanggil beliau sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Pemikirannya tentang keragaman hidup menuntut sebuah sikap yang sanggup untuk menerima perbedaan pendapat dan menghadapinya secara toleran. Toleran yang tetap diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian. Semoga toleransi dan kebhinekaan di sini bisa selalu terjaga,” ungkap Indrana di sela perayaan Imlek di Klenteng Hoo Tong Bio seperti dilansir detikcom, Sabtu (28/1/2017).

Sebagai penghormatan pada jasanya, kata Indrana, setahun sekali etnis Tionghoa di Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi selalu memberikan penghormatan sembahyang secara umum kepada Gus Dur. Maka tak heran jika etnis Tionghoa menobatkan sosok pejuang kebhinekaan itu sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

“Setiap sembahyang dan penghormatan pada leluhur-leluhur, kami selalu ikut mendoakan dan memberi penghormatan kepada Gus Dur,” jelas pria bermata sipit tersebut.

Perjuangan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asyari tersebut dalam memperjuangkan toleransi beragama di Indonesia juga diamini Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Selama kurun 1968-1999, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum.

Rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto melalui Inpres No 14/1967 melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk Imlek. Namun, sambung Anas, setahun setelah ulama nyentrik itu menjadi orang nomor satu di negeri ini pada 1999, Gus Dur mencabut Inpres tersebut.

“Bagaimana mungkin kita tidak menghormati jasa beliau (Gus Dur) sebagai ulama memperjuangkan imlek hingga diakui negara, padahal bertahun-tahun Imlek tidak dirayakan oleh negara. Saya kira ini justru relevan, justru cocok di suasana dan kondisi Indonesia yang seperti ini,” papar Anas.

Malam-malam budaya perayaan etnis Tionghoa, imbuh Anas, kini mulai kembali bergelora dan beraviliasi dengan hubungan keberagaman partikel budaya yang lebih permanen ke kehidupan sosial. Pemikiran Gus Dur itu juga seiring dengan dasar-dasar sikap kemasyarakatan yang disematkan Nadlatul Ulama (NU). Yaitu, At Tawasuth, Tasamuh dan I’tidal. Di tengah keberagaman ini Gus Dur menjadi sosok pejuang kebhinekaan bagi Bangsa Indonesia.

“NU pun juga mengajarkan prinsip tegak lurus, tidak condong ke kanan–kananan dan tidak condong ke kiri–kirian, keseimbangan dan toleransi terhadap perbedaan pandangan. Di tengah keberagaman ikatan kebangsaan menjadi penting. Gus Dur sosok pejuang kebhinekaan bagi Indonesia,” tandas Anas.(dtk/oza)