JOMBANG, FaktualNews.co – Tingginya suhu politik pilihan gubernur DKI Jakarta, membuat beberapa elemen organisasi kemahasiswaan dan agama berdiskusi di kantor GKI Sinode Wilayah Jawa Timur, Surabaya, Jumat (10/2/2017).
“Melihat proses demokrasi di negeri ini yang dibajak oleh kelompok intoleran, dari demo 411 dan 212, serta aksi protes lainnya, menjadikan gerakan harmonis sosial berjalan alot,” papar aktivis gerakan lintas agama dan oikumene, Andreas Kristianto dalam rilis yang diterima FaktualNews.co
“Budaya nasionalisme yang menjadi perekat persaudaraan, hanya sebatas kontruksi politis, bersifat memaksa dan bukannya partisipatif dan emasipatif,” tegas Andreas. “Pasca reformasi, tingkat penggumpalan kekerasan, tidak semakin surut, tetapi semakit meningkat, terlebih negara melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi di negeri ini, tutur Andreas.
Pdt Simon Filantropa menambahkan, “Kebencian selalu kita reproduksi melalui media-media kita, bahkan yang lebih parah, kita juga ikut terlibat di dalamnya, dengan hatespech yang tidak menyejukkan harmoni persaudaraan kita.”
“Melihat kiprah Gus Dur, saya belajar bagaimana beliau memperjuangkan kemanusiaan dan orang-orang yang tertindas,” ungkap Iqbal yang penjadi penggerak Jaringan GUSDURian Surabaya. “Hanya dengan cara terkoneksi dalam persaudaraan, terlibat dalam komunitas dan menjadi inisiator perdamaian, ini adalah cara bagaimana merawat harmoni sosial, tutur Iqbal.
Sementara itu, Ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Stenly Jemparut mencontohkan di Flores harmonis sosial berjalan secara alami. “Rumah kami di sana, tidak ada sekat/ temboknya. Berbeda dengan bangunan rumah sekarang, semua orang membangun pagar dengan tinggi-tinggi,” ujarnya.
“Merawat harmoni sosial bagi saya adalah merawat silaturami, tidak hanya dalam tataran elit, tetapi secara kultural ada tranfosrmasi di akar rumput, tegas anggota Ansor Jawa Timur Hasan Bisri.
Disisi lain, Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir memaparkan, baginya toleransi saat ini masih di permukaan, belum sampai kedalaman inti. “Karena ketika kita diperhadapkan dengan rekan-rekan Syiah di Sampang Madura, yang tercerabut akar sosial budayanya, kita lebih banyak memilih diam,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa problem kekerasan, tidak Cuma persoalan agama saja, tetapi juga berkelindan dengan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Diskusi ini dihadiri oleh beberapa organisasi kemahasiswaan dan agama yaitu GMKI, PMKRI, PMII, Gerdu Suroboyo, Pemuda Katolik, Gema Inti, Oikmas GKI, Anshor dll. Di akhir acara, diskusi ini ditutup dengan doa lintas iman, sembari mendoakan pilihan gubernur DKI dan daerah lainnya supaya berjalan dengan aman dan kondusif. (oni/rep)