SURABAYA, FaktualNews.co – Ratusan orang dari berbagai etnis dan agama merayakan Cap Go Meh di Tambakbayan Surabaya, Minggu (12/2/2017). Tambakbayan selama ini dikenal sebagai kampung pecinan. Hampir 80% penduduknya keturunan Tionghoa dari kalangan miskin.
“Kami memilih Tambakbayan karena masih ada praktek diskriminasi terhadap mereka,” kata Yuska, panitia acara. Tidak semua warga Tambakbayan memiliki identitas diri (stateless) karena berbagai faktor, salah satunya stigma atas Tionghoa saat Orde Baru berkuasa. Problem ini, lanjutnya, berimplikasi terhadap pemenuhan hak-hak dasar mereka.
Padahal dalam sejarah Indonesia, kontribusi kelompok Tionghoa tidak bisa diabaikan begitu saja. “Jauh sebelum republik ini berdiri hingga proklamasi, mereka terlibat dalam setiap perjuangan,” tandas Aan Anshori, presidium Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur, ketika berbicara dalam sesi diskusi. Meskipun keberadaan Tionghoa sudah lama dan membaur, namun stigma dan kebencian terhadap mereka masih terawat hingga sekarang. Aan selanjutnya memaparkan riset Wahid Institute 2016, di mana hampir 60% muslim mengaku punya kelompok yang dibenci, setidaknya dengan tiga ciri; Tionghoa, non-muslim dan komunis. Menurut Aan, hasil riset ini patut direfleksikan serius dalam kerangka menjaga kemajemukan Indonesia.
Pdt. Simon Filantropa dari GKI yang tampil sebagai pembicara kedua, meminta semua pihak tidak takut berbuat baik. Salah satunya dengan terus menyebarkan gagasan keberagaman. “Ingat ya, diam ketika ada penindasan bisa dianggap mengamini penindasan tersebut,” ujar anggota FKUB Jawa Timur ini.
Acara ini dibuka dengan sembahyang Cap Go Meh serta dimeriahkan atraksi barongsai, pembacaan puisi dan pembagian santunan. Suasana semakin heroik saat seluruh hadirin berdiri menyanyikan Indonesia Raya dan Padamu Negeri.
Selain warga Tambakbayan, acara Cap Gomeh yang mengambil tema “Kami Tidak Pernah Mencintai Indonesia” ini didukung oleh puluhan organisasi. Yakni, Roemah Bhinneka, WKRI, PMKRI, GMKI, JIAD, Jenggolo Manik, JAI, Jaringan GUSDURIan, Gema INTI, BEC, Pemuda Katolik dan Formagam.
penulis : Aan Anshori Alumni PMII, Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi Jawa Timur. Koordinator Gusdurian, Direktur Lingkar Indonesia Untuk Keadilan.