Suara Netizen

Penumbuhan Budi Pekerti Melalui Pendidikan Karakter

Ilustrasi

Orientasi pendidikan yang ada dalam kurun waktu satu dasawarsa ini  melenceng jauh dari tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam undang-undang dasar. Tujuan pendidikan yang selama ini ada hanya sekedar mengejar nilai kognitif tanpa begitu memperhatikan perkembangan sikap dan perilaku peserta didik. Hal tersebut tercemin dalam muatan materi yang ada di Ujian Nasional (UN) dari tahun ke tahun.

Esensi dari pendidikan tidak pernah tersentuh untuk dikembangkan. Pendidikan yang diberikan di sekolah hanya sebatas pengajaran, bukan mendidik. Fenomena yang terjadi di proses pendidikan kita adalah siswa hanya dituntut sekedar tahu (knowing objective), bukan mencetak siswa sebagai pelaku (being objective). Padahal menurut Undang – Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 3 setelah diamandemen menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.

Pada pasal yang sama, yakni pasal 31 ayat 5 disebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Ki Hadjar Dewantara pernah menyampaikan bahwa “pendidikan merupakan sesuatu yang lebih luas  dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrat yang ada ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari, menghayati dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperatarai sekaligus membentuk kebudayaan dan peradaban. Pendidikan juga harus mampu untuk membentuk kepribadian (karakter), penguasaan terhadap tsaqâfah (kebudayaan) dan   penguasaan ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan).

Bangsa kita sangat menaruh harapan terhadap dunia pendidikan. Dari pendidikan  inilah diharapkan masa depan dibangun dalam  landasan kuat. Landasan yang berpijak pada norma-norma moral agama dan budaya ketimuran. Namun, ada sebuah keresahan yang cukup beralasan bagi setiap orang tua, guru dan masyarakat manakala melihat perkembangan saat ini. Dominasi hiburan dan perkembangan teknologi kerap menyeret anak-anak dalam keterlenaan. Sementara agama dan norma-norma yang berlaku di kultur masyarakat masih jarang digunkan sebagai filter budaya yang sering menyesatkan. Lalu, kepada siapa lagi kita menaruh harapan?.

Begitu besar harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Untuk itulah muncul sebuah pertanyaan, “Apa relevansi pendidikan untuk masyarakat?” . Pendidikan menempati tempat yang sangat strategis dalam membentuk karakter anak bangsa. Baik buruknya suatu bangsa ditentukan oleh pola pendidikan yang ada. Terjadinya perubahan pola pendidikan bertujuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat, baik yang menyangkut sistem, model, dan strategi. Semakin dipenuhi tuntutan tersebut, seringkali muncul masalah-masalah yang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan kemandirian dalam mengemas pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama anak didik yang akan terjun ke masyarakat.

Mendidik anak perlu pemahaman agar potensi yang dimiliki bisa berkembang sesuai harapan. Untuk mencapai tujuan pendidikan pemerintah mengadakan berbagai perbaikan dan peningkatan mutu dibidang pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuat kebijakan terkait Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) yang tertuang pada Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2015.  Penumbuhan Budi Pekerti adalah  kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah. Sedangkan pembiasaan menurut permen tersebut adalah serangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa, guru, dan tenaga kependidikan yang bertujuan untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik dan membentuk generasi berkarakter positif.

Tujuan dilakukannya penumbuhan budi pekerti ada 4 point, yaitu :

  1. menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan;
  2. menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk pendidikan karakter sejak di keluarga, sekolah, dan masyarakat;
  3. menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga;
  4. menumbuhkembangkan lingkungan dan budaya belajar yang serasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Budi pekerti adalah sebuah karakter yang dimiliki oleh manusia. Tugas sekolah (Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan) adalah menumbuhkan dan memupuknya. Selain itu peran keluarga dan masyarakat juga vital untuk menumbuhkan budi pekerti. Karena budi pekerti adalah karakter maka proses penumbuhannya juga harus terus menerus (butuh proses), tidak bisa singkat. Perlu teladan dan contoh agar budi pekerti tersebut bisa tumbuh. Merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai ”the life of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to oneself ”. Karakter juga dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku  baik atau penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan  budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pada dasarnya manusia memiliki dua karakter yang saling berlawanan, yaitu karakter baik dan karakter buruk.

Dalam membangun karakter atau menumbuhkan budi pekerti di sekolah, ada tiga pilar yang perlu dijadikan pijakkan. Ketiga pilar memadukan potensi dasar anak. Pilar yang dipakai untuk mewujudkan sekolah berkarakter meliputi tiga hal. Pertama, membangun watak, kepribadian, atau moral. Kedua, mengembangkan kecerdasan majemuk. Ketiga, kebermaknaan pembelajaran. Agar ketiga pilar itu tetap pada landasan yang kokoh, maka ada kontrol, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan. Pembangunan watak, kepribadian, dan moral seperti sidiq yang artinya benar/jujur dan  kepedulian dapat dijabarkan dengan memberi indikator untuk memudahkan pengontrolan. Pengembangan kecerdasan majemuk mengacu pada prinsip bahwa anak itu cerdas. Kecerdasan yang dimiliki setiap anak berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu pengembangan kecerdasan pada setiap individu. Kebermaknaan pembelajaran mengacu pada sebuah proses. Untuk mengembangkan kecerdasan majemuk serta menanamkan perilaku atau pembangunan watak, kepribadian, dan moral perlu kebermaknaan pembelajaran. Pembelajaran yang dapat memberikan nilai manfaat untuk menyiapkan kemandirian anak. Supaya tercapai semua harapan menjadi sekolah berkarakter, diperlukan kontrol, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan. Agar pembentukan karakter lebih mudah dipantau dan dinilai, maka perlu adanya indikator.

Langkah-langkah dalam pembentukan karakter atau budi pekerti adalah:

  1. Memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
  1. Menanamkan nilai kebaikan pada anak (knowing the good)

Menanamkan konsep diri pada anak setiap akan memasuki materi pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji tentang karakter, maupun pemahaman makna pada karakter yang akan disampaikan.

  1. Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)

Memberikan beberapa contoh kepada anak mengenai karakter yang sedang dibangun. Misalnya melalui cerita dengan tokoh-tokoh yang mudah dipahami siswa.

  1. Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good)

Agar anak mengembangkan karakter yang baik, maka ada penghargaan bagi anak yang membiasakan melakukan kebaikan. Begitu pula anak yang melakukan pelanggaran, supaya diberi hukuman yang mendidik.

  1. Melakukan perbuatan baik (acting the good)

Karakter yang sudah mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses pembelajaran selama di sekolah. Selain itu, juga memantau perkembangan anak dalam praktik pembangunan karakter di rumah. Dalam hal, ini guru sebagai model. Guru akan banyak dilihat siswa. Apa yang dilakukan oleh guru, dianggap benar oleh siswa. Untuk itulah guru harus memberikan contoh yang positif.

  1. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat di sekolah.
  2. Pemantauan secara kontinyu.

Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter atau budi pekerti. Dalam pemantauan ini ada data yang dimiliki guru. Anak yang sudah melakukan pembiasaan berbuat baik, masuk dalam penilaian afektif. Bagi anak yang belum bisa melakukan pembiasaan berbuat baik atau masih sering melakukan aktivitas di luar aturan, perlu langkah persuasif agar bisa melakukan ;pembiasaan yang positif. Penanaman moral ini dilakukan dengan cara pendampingan guru. Selain sebagai model perilaku sehari-hari dalam bentuk perilaku yang bisa diteladani, guru juga melakukan pemantauan secara berkelanjutan terhadap perkembangan moral anak. Guru juga bisa membangun komunikasi yang efektif dengan orangtua tentang perilaku anak di rumah. Semua itu untuk menyiapkan anak-anak dalam rangka mengokohkan konsep moral pada diri mereka.

  1. Penilaian orang tua

Orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membangun karakter anak.  Waktu anak di rumah lebih banyak daripada di sekolah dan rumah merupakan tempat pertama anak berkomunikasi serta bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itulah, orangtua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan moral/ budi pekerti.

Dengan penerapan empat hal di atas maka diharapkan bisa menumbuhkan budi pekerti melalui pembiasaan karakter di lingkungan sekolah sekaligus melibatkan peran orang tua sebagai pendidik utama dan pertama.

penulis : Wijaya Kurnia Santoso merupakan Praktisi Pendidikan