JAKARTA, FaktualNews.co – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mendesak Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk meninjau ulang status pencekalan Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus e-KTP yang dikeluarkan Ditjen Imigrasi atas permintaan KPK.
Fahri mengatakan, pencekalan Setya Novanto tidak bisa dibatalkan melalui jalur hukum. Hanya saja, pencekalan itu bisa ditolak apabila keputusan dari Ditjen Keimigrasian tidak memenuhi ketentuan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 94 Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang Imigrasi.
“(Tidak ada langkah hukum) Tetapi bisa ditolak. Pasal 94 UU Imigrasi itu boleh menolak,” katanya dikutip merdekacom.
Meski demikian, dalam pasal 96 dijelaskan bahwa setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Namun, pengajuan tersebut bisa dilakukan dengan jangka waktu tertentu.
“Bisa ditolak. Pasal 96 UU imigrasi itu boleh menolak. Jadi salah orang mengatakan KPK mencekal. KPK tidak boleh mencekal. Tidak punya hak mencekal. Karena KPK tidak punya sistem untuk mencekal,” tegasnya.
Pencekalan Setnov oleh Ditjen Imigrasi dilakukan berdasarkan permintaan KPK. Fahri menegaskan, Menkum HAM Yasonna Laoly harus mengetahui ketentuan pencekalan berdasarkan UU Imigrasi bukan atas dasar permintaan KPK semata.
BACA JUGA :
“Pak Laoly, sebagai menteri, harus tahu dia, bahwa kewenangan itu ada di imigrasi, bukan di KPK. Meskipun kalian semua takut sama KPK, kewenangan (cekal) itu ada di imigrasi. Jangan kalian menjadi penakut semua, gara-gara penakut jadi bilang ‘oh itu kewenangan KPK’. Ini negara mau diurus KPK semua?” katanya.
Selain itu, menurut Fahri, pencekalan Setya Novanto untuk bepergian keluar negeri bisa dibatalkan jika masih berstatus sebagai saksi dan belum masuk tahap penyidikan. Ketentuan itu, kata Fahri, tercantum dalam UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
“Kalau ada pencekalan yang tidak berdasarkan hukum, termasuk di dalamnya pencekalan sebelum adanya proses penyidikan, sebelum jadi tersangka itu boleh dibatalkan,” kata Fahri.
Fahri pun menuding Yasonna Laoly takut dengan KPK untuk membatalkan pencekalan Setnov. Menurutnya, KPK juga memiliki landasan hukum yang sama-sama mengatur soal pencekalan, yakni UU 30/2002 tentang KPK.
Di UU tersebut, KPK memiliki kewenangan untuk mencekal seseorang yang masih berstatus sebagai saksi dan hal itu dibenarkan oleh UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. Sementara, ketentuan yang sama di UU Imigrasi telah dianulir MK.
“Cuma masalahnya semua orang kan takut dengan KPK, kan itu masalahnya kan. Termasuk Menteri Hukum dan HAM itu juga takut dengan KPK,” jelasnya.
“Sehingga apapun maunya KPK harus dipenuhi. Alasannya KPK punya undang-undang khusus. Ya enggak boleh begitu dong. Ada hukumnya dong,” sambung Fahri.
Untuk urusan pencekalan, KPK seharusnya mengikuti aturan yang tertulis di UU Keimigrasian. Apabila kewenangan KPK terkait pencekalan tidak dibatasi dikhawatirkan seorang Presiden bisa dicekal.
“KPK harus diikat dengan hukum, dan KPK harus menghormati hukum yang lain. Kalau semua kekhususan itu akan dimiliki oleh KPK ya nanti presiden juga bisa dicekal. Apa anda mau begitu, enggak boleh dong. Batasi kewenangan KPK. Pasal 28 J UUD menghormati pembatasan kewenangan,” tandasnya. (*/rep)