Ekonomi

Pemerintah dan Legislatif Harus Satu Suara Menolak Resolusi Sawit Parlemen Uni Eropa

Pekerja memanen sawit. (Ilustrasi/REUTERS/Roni Bintang)

 

JAKARTA, FaktualNews.co – Resolusi parlemen Eropa tentang Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests (RPODR) tanpa diplomasi dengan parlemen di Indonesia, dinilai tak beretika.

“Secara etika jika ada pelanggaran atau sesuatu yang kurang tepat, Parlemen Eropa bisa berdiplomasi terlebih dulu dengan parlemen di Indonesia. Sikap Parlemen Eropa yang tidak menghormati diplomasi merupakan bentuk pengkhianatan dan ketidakhormatan terhadap parlemen dan pemerintahan di Indonesia yang tidak boleh dibiarkan,” kata Ketua Komisi IV DPR, Edhy Prabowo di Jakarta, Sabtu (22/4/2017).

Edhy mengharapkan pengkhianatan Parlemen Eropa yang memojokkan industri sawit di Indonesia bisa menjadi awal kebangkitan bersama untuk menyatakan sikap dalam satu suara.

“Ke depan pemerintah dan para pemangku kepentingan harus bersikap sama. Jangan lagi ada satu kementerian mendukung perkembangan industri sawit, sementara yang lain menghambat. Ini yang harus kita perbaiki bersama jika ingin maju,” kata dia.

BACA JUGA :

Edhy membantah jika industri sawit di Indonesia memiliki persoalan besar terkait isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat, dan lain-lain.

Dia bilang, tudingan parlemen Eropa sangat tidak berdasar, apalagi sebagian besar korporasi sawit merupakan perusahaan publik dengan reputasi global.

“Sangat naif, jika korporasi sawit mempertaruhkan reputasi mereka hanya untuk sesuatu yang bersifat sesaat dan berisiko tinggi seperti yang dituduhkan Parlemen Eropa,” katanya.

Oleh karena itu, tegas Edhy, pernyataan parlemen Eropa harus ditanggapi serius oleh pemerintah RI. Apalagi, Indonesia sudah mengikuti persyaratan. Bahkan, pada pertemuan tahunan yang menjadi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yakni Conference of Parties(COP) ke-21 di Paris pada 2015 dan COP ke-22 di Maroko pada 2016, Indonesia menjadi negara pertama yang meratifikasi.

Seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, tambahnya, telah menunjukkan perhatian terhadap perubahan iklim dunia. “Saya pikir laporan Parlemen Eropa sangat bombastis. Pernyataan itu semata-mata hanya berlandaskan persaingan bisnis minyak nabati dunia. Kalau mau transparan, yang merusak iklim adalah pembangunan di negara industri, terutama Eropa,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono hanya bisa berharap, pemerintah dan legislatif satu suara menolak resolusi sawit parlemen Uni Eropa.

Penolakan itu, lanjutnya, merupakan satu sikap tegas kedua lembaga untuk melindungi sawit sebagai komoditas strategis negeri ini. “Sawit ini kepentingan nasional, selayaknya pemerintah dan masyarakat membela sawit yang telah berkontribusi terhadap perekonomian maupun pengentasan kemiskinan di Indonesia,” kata mantan Bos Astra Agro Lestari itu.

Joko menilai, tuduhan yang ditujukan kepada industri sawit dan berujung dengan adanya resolusi Parlemen Eropa merupakan kepentingan politik semata untuk mendiskriminasi industri sawit.

Menurut Joko, isu tersebut tidak berpengaruh terhadap ekspor namun bisa mengundang negara-negara lain untuk melakukan hal serupa akibat berkembangnya stigma negatif dari pemberitaan isu resolusi ini terutama di negara Eropa dan Amerika.

Diskriminasi sawit tersebut tampak dalam beberapa isu, di antaranya adanya sertifikasi tunggal yang berlaku bagi minyak sawit dan tidak berlaku bagi minyak nabati lain di dunia. “Jangan mau didikte Eropa. Kita ini punya ISPO, sertifikasi resmi pemerintah Indonesia. Kita akan teruskan dan sempurnakan ISPO sebagai bukti komitmen kita terhadap keberlanjutan industri ini,” kata Joko. (*)