Di Mojokerto, Ada Musala di Bawah Tanah
MOJOKERTO, FaktualNews.co – Pada umumnya, musala dan masjid berdiri di atas permukaan tanah dengan bangunan yang megah dan indah. Namun berbeda dengan musala di Mojokerto, musala ini terletak di bawah tanah tepat di bawah masjid yang telah berdiri di permukaan tanah.
Ya, masyarakat sekitar menyebutnya Musala Kendali Sodo. Musala ini berada di dalam tanah dengan kedalaman 8 meter dari permukaan tanah. Musola ini dibangun oleh almarhum Imam Malik pada kisaran tahun 1995.
“Saat itu dibangun sendiri oleh bapak (Imam Malik) bersama para santri di sini. Dikerjakan kurang lebih tiga tahun, baru selesai,” ungkap putra keempat almarhum Imam Malik, Chabib, kepada FaktualNews.co, Minggu (28/05/2017).
Untuk menuju ke musala tersebut, pengunjung akan melewati sebuah Masjid Agung Wisnu Manunggal Rahmatulloh yang ada di Dusun Losari, Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto.
BACA : Satgas TMMD Imbangan Kodim 0815 Mojokerto Tuntaskan Sasaran Fisik di Desa Pucuk
Jika anda dari arah Kota Mojokerto, untuk menuju lokasi Masjid Agung Wisnu Manunggal Rahmatulloh harus menempuh perjalanan darat sejauh 14 kilometer.
Di sebelah Masjid Agung Wisnu Rahmatulloh, terdapat sebuah gapura yang juga didapati sebuah pintu yang nantinya akan mengantar anda ke Musala Kendali Sodo. Karena tidak ada sumber cahaya sama sekali, pengunjung diwajibkan membawa senter sebelum masuk. Selain itu, pengunjung juga diwajibkan mengambil air wudhu terlebih dahulu sebelum memasuki musala.
Dengan melewati lorong selebar setengah meter dan ketinggian lorong mulai dari setengah meter hingga dua meter selama kurang lebih 30 menit, pengunjung baru sampai di Musala Kendali Sodo. Di ruang musola berdinding tanah ini, biasanya pengunjung melakukan dzikir dan istighosah.
“Ruangannya ada lima, ruangan paling besar ya musala ini, cukup untuk 40 orang. Empat ruang lainnya lebih kecil ukurannya dari musala ini,” kata Chabib.
Selain ruangan, di dalam tanah itu juga ada tujuh sumur dan dua sendang. Masing-masing terletak terpisah dari ruang musala namun tidak jauh. “Tujuh sumur itu biasanya ya dipakai untuk minum dan wudu. Kalau sendang, itu namanya Sendang Lanang dan Sendang Wedok, itu dipakai dzikir. Dzikirnya memang di dalam air, tujuannya agar yang dzikir tidak sampai tidur,” jelasnya.
Menurut Chabib, Masjid Agung Wisnu Manunggal Rahmatulloh dibangun kisaran tahun 1996. Pembangunan masjid dengan arsitektur Arab Jawa ini menggunakan pasir-pasir hasil penggalian ruang bawah tanah. “Sengaja dibuat arsitektur seperti ini, jadi ada wayang-wayangnya. Jadi kita melihat metode pengajaran Islam seperti pada zaman sunan-sunan dulu,” tuturnya.
Untuk diketahui, awalnya pembangunan Musala Kendali Sodo ini untuk dzikir para santri yang perguruan silat Pagar Nusa. “Tahun 1992 di sini berdiri padepokan, namanya Padepokan Mayangkoro. Itu cerita dari bapak saya sebelum meninggal pada 2009 lalu karena sakit,” kata putra keempat almarhum Imam Malik dari lima bersaudara.
Chabib menceritakan sedikit sejarah pemilihan nama Masjid Agung Wisnu Manunggal Rahmatulloh. “Sebenarnya itu dari kata Wis NU Manunggalo, karena pada saat pembangunan itu tepat saat ada perselisihan antara umat beragama Islam. Harapannya bapak dulu, semoga umat Islam tetap menjadi satu dan tidak tercerai berai,” pungkasnya.
Hingga saat ini, Masjid Agung Wisnu Manunggal Rahmatullah tetap digunakan untuk salat berjamaah setiap lima waktu salat, dan digunakan untuk salat Jumat. (khil/rep)