JOMBANG, FaktualNews.co – Setelah menerima kunjungan mahasiswa The King’s College, New York, Amerika Serikat, Pesantren Tebuireng kembali menerima kunjungan mahasiswa asing dari Negeri Paman Sam, Sabtu (3/6/2017). Kali ini, sebanyak 11 mahasiswa dari Miami Dade College berkunjung ke pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut.
“Kunjungan mereka difasilitasi oleh International Office Universitas Airlangga Surabaya,” kata Sekretaris Utama Pesantren Tebuireng KH. Abdul Ghofar. Dalam kunjungan singkat tersebut, ungkap Gus Ghofar –panggilan akrabnya–, para mahasiswa tersebut tampak sangat antusias dan terlibat dalam dialog yang sangat hangat.
Salah satu mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Enrique Sepulvedas, menanyakan bagaimana perlakuan terhadap nonmuslim di Pesantren Tebuireng. “Apakah Anda menerapkan kebijakan pintu terbuka untuk mereka yang berbeda agama?” tanya pria blasteran Spanyol-Perancis ini.
Menjawab pertanyaan tersebut, Mudir Pesantren Tebuireng Lukman Hakim menuturkan bahwa pihaknya sangat terbuka untuk kerjasama yang bersifat lintas etnis dan agama. Dalam beberapa kesempatan, pesantren yang kini diasuh oleh KH. Salahuddin Wahid ini juga melakukan kerjasama kegiatan dengan berbagai pihak.
“Di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), bahkan ada salah satu pejabat di Unit Penjamin Mutu yang beragama Hindu,” imbuh Pembantu Rektor II Unhasy Muhsin Kasmin. Pria yang telah puluhan tahun mengabdi di Pesantren Tebuireng ini menambahkan, ada juga dosen di Fakultas Teknologi Informatika yang beragama Katolik.
Joshua Elias, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, menanyakan pendapat pengurus Pesantren Tebuireng terhadap aspirasi penegakan syariat Islam di Indonesia. Terhadap pertanyaan tersebut, mantan Direktur Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) Mohammad As’ad menjelaskan peran KH. Abdul Wachid Hasyim sebagai salah satu perumus Pancasila.
Pria yang sedang menempuh S-3 di Leiden University Belanda itu menuturkan, pendiri Pesantren Tebuireng KH. Hasyim Asy’ari adalah tokoh yang berperan penting dalam memadukan Islam dan nasionalisme melalui doktrin “cinta tanah air adalah bagian dari iman” dan fatwa Resolusi Jihad. “Jihad yang dimaksud bukanlah upaya memusuhi Barat atau nonmuslim, tapi melawan penjajah kolonial Belanda. Dan inilah salah satu fondasi nasionalisme di Indonesia,” jelasnya.
Dengan gambaran itu, imbuh As’ad, jelas sekali pandangan Pesantren Tebuireng terhadap Islam dan kebangsaan. “Kalau hari ini masih ada orang yang memaksakan syariat Islam menjadi dasar negara, atau mendesakkan berdirinya Khilafah, maka orang itu mengajak mundur 30 tahun ke belakang,” tandasnya.
Isu lain yang didiskusikan para mahasiswa Miami Dade College adalah soal kesetaraan perempuan dalam ajaran Islam. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Marie Geraldine Georges, seorang mahasiswi kulit hitam yang menempuh studi di jurusan Antropologi.
“Saya melihat, yang hadir sekarang kok laki-laki semua. Apa memang perempuan tidak boleh berperan di sini?” tanya Maria dengan nada penasaran.
Menjawab pertanyaan tersebut, Muhsin Kasmin menyatakan bahwa perempuan mendapatkan peluang yang sama, sepanjang mempunyai kemampuan yang dipersyaratkan. “Salah satu sekolah di lingkungan Pesantren Tebuireng bahkan pernah dijabat oleh seorang perempuan selama beberapa periode. Kesempatan serupa juga diberlakukan di Unhasy,” ungkapnya.
As’ad menambahkan, Nyai Khoiriyah Hasyim, salah satu putri KH Hasyim Asy’ari, bahkan dikenal sebagai ulama perempuan yang sangat terkemuka di zamannya. “Beliau juga tercatat pernah menjadi anggota Syuriah Nahdlatul Ulama,” ujarnya.
Di akhir kunjungan, rombongan mahasiswa yang didampingi Prof. Michael Lenaghan itu menyempatkan berziarah ke makam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di kompleks makam, mereka mendapatkan penjelasan bahwa para peziarah biasanya menyalurkan donasi atau infaq di kotak amal yang disediakan. Kotak amal tersebut dikelola oleh LSPT untuk pelayanan sosial, kesehatan dan ekonomi bagi dhuafa di sekitar Pesantren Tebuireng.
Mendengar cerita itu, Michael Lenaghan spontan mengeluarkan dompetnya dan menanyakan lokasi kotak amal tersebut. Pria yang mengaku pernah tiga kali bertemu Gus Dur ini pun bergegas menuju kotak amal dan memasukkan selembar uang dolar Amerika.
Langkah dosen senior itu segera diikuti oleh dua mahasiswanya, Joshua Elias dan Enrique Sepulvedas. Ketika ditanya kenapa ikut-ikutan memberika donasi, pria paruh baya tersebut menjawab singkat, “That’s what friends do,” ujarnya dengan nada bangga.
Selain donasi yang dimasukkan ketiga orang tersebut ke kotak amal, mereka secara kolektif juga menyerahkan donasi sebesar Rp. 1,5 juta kepada LSPT. Donasi tersebut diterima oleh Mohammad As’ad mewakili pengurus LSPT.
03-06-2017/DAY