FaktualNews.co

“Tradisi” Penerima Rastra di Kota Santri dan Mesin Huller

Peristiwa     Dibaca : 1589 kali Penulis:
“Tradisi” Penerima Rastra di Kota Santri dan Mesin Huller
Kualitas beras pra sejahtera (Rastra) yang diterima warga Desa Dilem, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto. Kualitas Rastra yang diterima itu tak layak konsumsi. FaktualNews.co/Khilmi S Jane/

JOMBANG, FaktualNews.co – Warga miskin di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kembali harus mengelus dada. Bagaimana tidak, beras sejahtera (Rastra) yang disalurkan Perum Bulog Sub Divre II Surabaya Selatan kondisinya kian parah.

Tak hanya berbau dan berwarna kecoklatan, rastra atau yang biasa disebut beras jatah warga miskin (Raskin) ini kondisi butiran beras banyak yang patah bahkan remuk. Warga pun terpaksa mengolah kembali rastra yang dibeli warga kurang mampu itu dari Bulog agar bisa dikonsumsi.

Seperti yang terlihat pagi tadi, Minggu (11/6/2017). Fatonah, (57) warga Desa Mojokambang, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, sudah duduk di depan rumahnya. Nampak jelas, sebuah karung beras bertuliskan Bulog tergeletak tak jauh kakinya. “Nunggu tukang huller. Kalau tidak digiling ulang, beras ini tidak enak dimasak,” ujar Fatonah, Minggu (11/6/2017).

Fatonah mengatakan, proses ulang rastra sudah menjadi tradisi rutin yang dilakukan warga penerima manfaat. Tradisi itu terpaksa dilakukan karena beras tersebut saat diterimakan kondisinya cukup memprihatinkan. Warnanya kuning kecoklatan, baunya apek, kondisi butiran beras banyak yang patah, bahkan remuk. Bukan hanya itu, beras yang dulunya disebut raskin tersebut terkadang berkutu dan terdapat butiran kerikil.

“Mungkin karena kami membelinya di balai desa dengan harga murah, jadi beras didapat kondisinya seperti itu,” ujarnya sembari memamerkan rastra yang disalurkan kepada dirinya.

Fatonah menuturkan, kendati sudah di poles ulang, hanya saja dalam memasak, warga tetap menyiasatinya. Yakni mencampur rastra dengan beras yang kualitasnya bagus. Perbandingannya, 30 persen rastra, 70 persen beras bagus.

“Kalau rastra tanpa campuran, nasi tersebut rasanya tidak enak. Tidak ada gurihnya. Rasanya tawar. Makanya, kami harus mencampurnya terlebih dulu sebelum diolah menjadi nasi. Dari dulu beras yang kami terima ya seperti itu. Kuning, apek, dan remuk. Kadang ada kutu dan pecahan kerikil,” katanya menegaskan.

Fatonah masih ingat, pernah suatu ketika dirinya menerima rastra yang gagal diselamatkan. Dengan kata lain, beras tersebut sudah tidak bisa dipoles ulang karena sudah remuk dan berbau apek. Jika sudah begitu, yang paling beruntung adalah ayam piarannya.  Beras yang babak belur itu pun berganti menjadi rasyam atau beras untuk jatah ayam. “Kalau sudah tidak bisa dipoles, saya buat untuk makanan ayam,” terangnya.

Ironisnya, meski sudah bertahun-tahun menerima beras tak layak komsumsi, warga hanya bisa pasrah. Mereka lebih memilih mengadukan permasalahan itu kepada mesin penggilingan padi atau huller. Bagi mereka, itu lebih konkret, yakni bisa mempercantik wajah rastra yang tak layak konsumsi. Ketimbang mengadukan ke pihak berwenang.(ivi)

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Z Arivin
Tags