FaktualNews.co

Cangkrukan Ringin Contong

Pilkada 2018, Yang Pantas Naik Pentas Dan Yang Terhempas

Opini     Dibaca : 3079 kali Penulis:
Pilkada 2018, Yang Pantas Naik Pentas Dan Yang Terhempas
Foto : Ilustrasi Pilkada Jombang

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2018 merupakan Pilkada gelombang ketiga yang diselenggarakan secara serentak. Gelombang pertama dan kedua sendiri dilaksanakan pada 2015 dan 2017.

Pelaksanaan Pilkada Serentak didasari dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Setelah itu, undang-undang ini pun mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, hingga akhirnya diatur dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Keberhasilan demokrasi yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia dan bersifat masif, teroganisir serta terstruktur. Tidak hanya itu, pilkada kali ini khususnya di Jombang, merupakan momen penting dan bersejarah.

Bagaimana tidak, kota santri, kota seribu pesantren, kota tempat lahirnya orang-orang ‘gila’, Kota Ijo Abang serta banyak sebutan lainnya telah mengalami perubahan yang cukup drastis dalam percaturan politik.

Untuk sebutan yang terakhir, Ijo dan Abang, sejarah telah mencatat dengan tinta tebal. Dimana Jombang bukan lagi Ijo Abang, namun telah berganti Kuning Ijo. Kendati itu hanya sebutan dalam kacamata politik serta bahasan mutlak para penikmat kopi diwarung yang kini mulai merubah diri, menjadi Kafe Coffe yang merebak bagai jamur dimusim hujan dan mengguyur kota santri.

*************
15 tahun silam, warna Abang mendominasi Jombang. Dimana Suyanto yang mengejawantahkan para kaum Nasionalis, bertengger ditampuk tertinggi dan tak tergoyahkan selama 3 periode. Oemar Bakri asal Bareng Jombang itu menapaki karier politiknya pada 1998 hingga 2003 dengan menjadi wakil bupati mendampingi Affandi.

Tahun 2003 hingga tahun 2008, Suyanto menjadi bupati terpilih bahkan hingga periode 2008 – 2013. Namun pilkada 2013, menjadi saksi dimana kejayaan partai tinggalan orde baru ini tumbang dengan sesama partai tinggalan orde baru pula.

PDIP dengan berbekal 12 kursi di DPRD Jombang, seakan jumawa dengan tidak berkoalisi bersama partai lain. Ia lebih memilih berdiri sendiri dan mengusung pasangan Widjono Soeparno-Sumrambah. Trah politik pun berusaha dipertahankan disini.

Disisi lain, koalisi gendut dibangun guna menggempur dominasi merah. Golkar, PPP, Demokrat, PKS dan Gerindra, bersatu dan mengusung duet Nyono-Mundjidah. PKB dan PKPI seakan tak mau kalah, meski menyadari kekuatan jago mereka Munir-Wiwik, tidak akan mampu menandingi dua pasangan lain.
Bidak telah ditata sedemikan rupa. Wiwik merupakan mantan istri Suyanto, sementara Munir, sosok pion yang sadar akan menjadikannya ‘korban’ politik demi kepentingan yang lebih besar, namun loyalitas terhadap partai ditampilkannya dengan indah.

Sementara PAN, lebih memilih menjadi ‘abu-abu’, alih-alih tak memiliki jago, PAN abstain dalam pilkada 2013. Namun dibalik itu, mereka mengalihkan dukungan secara tersembunyi ke koalisi gemuk, karena rasa sakit hati lantaran jagonya dianggap diselingkuhi. Hanura dan PKPB yang melihat carut marutnya peta politik, akhirnya memutuskan melabuhkan diri ke PDI P.

*************
5 Juni 2013 menjadi tonggak tumbangnya kaum abangan. Kuning Ijo dengan sejumlah warna menghiasi garis pinggir ditetapkan sebagai pemenang. Dinasti Suyanto yang mencoba memberikan tongkat estafet kepada adiknya Sumrambah dianggap menjadi biang dari semua kekalahan beruntun. Mulai dari perebutan kursi pendopo berlanjut dengan anjloknya perolehan kursi PDIP dari 12 menjadi 9 ditahun berikutnya. Skeptisisme terhadap trah Suyanto dalam merangkul dan mengakomodir kaum abangan kian meninggi. Puncaknya, posisi strategis sebagai Ketua DPC PDIP Jombang yang semula dipegang Sumrambah pun melayang.

Bagaimana dengan PKB ? Partai yang memiliki confidence dalam pilkada 2013 ini, seperti yang diprediksi memiliki grand design cukup molek. Meski menyadari akan kekalahan, namun mereka berusaha meraih kemenangan di laga berikutnya. Terbukti, PKB menambah porsi kursi mereka dari 7 menjadi 8 yang mampu ‘menampar’ rival-rival mereka sebelumnya.

Sementara ditubuh koalisi gemuk, hanya PKS dengan strategi kalem namun menghanyutkan mampu dengan tepat menebar jalanya. Hal ini ditunjukkan dengan lima dari dua kursi sebelumnya.
Begitu pula partai besutan baru milik Surya Palloh. Memanfaatkan perang Jawa ala Jombangan, kader-kader Nasdem menyerobot dengan 4 kursi.

*************
Kini, pilkada 2018 telah didepan mata. Jurus-jurus silat tingkat tinggi dalam bermanuver politik harusnya sudah dipertontonkan. Namun sepertinya, sejumlah partai politik yang ada di kota tempat lahirnya orang-orang ‘gila’ ini masih cukup santun.

Nyaris tidak ada manuver maut yang ditunjukkan. Para pekerja partai di kursi dewan seolah enggan melakukan konfrontasi. Bergandeng tangan dianggap cara yang paling aman.

Disisi lain, Golkar sejak menguasai Jombang, menunjukkan kelasnya sebagai partai tua. Berbagai strategi dan beragam pukat harimau disebar. Yang terbaru, Golkar mampu ‘mengikat’ PDI Perjuangan agar tidak kemana-mana dalam pilkada 2018 nanti.

Gerak gemulai Golkar dalam menjerat partai yang dianggap akan menjadi rival berat, cukup mempesona. Partai sekelas PDIP pun dibuat tak berkutik. Golkar ditangan Nyono, mampu meraih simpati petinggi DPC PDIP Jombang. Saking mesranya PDIP dan Golkar saat ini, obrolan di warung kopi mengibaratkan kemesraan itu mampu merubah merah menjadi oranye.

Tidak hanya PDIP, PKS juga masih setia mendampingi Golkar. Dibalik sosok Rahmad Abidin dengan karang tarunanya, PKS terus bermanuver kalem namun pasti.

Sementara PKB, partai yang penuh kejutan sejak 2014 ini, masih tetap wait n see. Jika mau PKB bisa saja menancapkan taringnya. Dengan basis massa NUnya, PKB saat ini sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejumlah tokoh yang memiliki historis dan kedekatan dengan partai besutan almarhum Gus Dur ini mulai menempati posisi strategis dalam pendulangan suara dari dalam NU.

Apalagi jika PKB Jombang mau merangkul PPP dengan Mundjidah sebagai jagonya. Bisa menjadi sosok pasangan yang menakutkan bagi seluruh rivalnya. PKB Jombang juga tidak bisa lepas dari sosok Halim Iskandar sang ahli strategi. Namun kelemahan PKB Jombang saat ini ialah minim figur. Pasca sepeninggalnya Halim Iskandar yang lebih memilih berperan di Jawa Timur, PKB Jombang belum bisa menyodorkan figur yang tepat bagi masyarakat Jombang. Meski ada Munir Alfanani namun hingga detik ini, gaungnya masih belum bisa menyentuh akar rumput.

PPP salah satu partai tua lainnya yang merupakan pasangan Nyono sepertinya juga lebih memilih menunggu. Sosok Mundjidah Wahab putri pendiri NU yang masih sangat lincah menari dilingkaran Muslimat NU ini, belum secara terbuka memproklamirkan diri untuk maju atau tetap melanjutkan duet Nyono-Mundjidah.

Kendati teriakan dari bawah, baik dari Muslimat maupun basis massa NU memintanya untuk meninggalkan pasangan saat ini, sepertinya Mundjidah masih menggunakan algoritma untuk melawan Golkar yang kian harmonis bersama PDIP dan PKS.

Jika maju sendiri banyak faktor yang harus dihitung. Salah satunya tentang kaderisasi sosok Mundjidah sendiri, guna membangun dinasti politiknya nanti. Tiga nama trah pengganti dalam hitungan lima tahun mendatang andai Mundjidah memenangkan Pilkada 2018, masih belum mumpuni mengganti figur dan cara kepemimpinannya. SilahuddinAsy’ari, Ketua DPC PPP Jombang, putra dari Mundjidah belum mampu secara signifikan merawat PPP.

Ibarat orang madura, ketika ditanya siapa gubenur Jawa Timur jawabannya pasti M.Noer. Begitu pula di Jombang. Ketika ada pertanyaan siapa Ketua PPP Jombang, jawabnya tetap Mundjidah. Walau Mundjidah sendiri tidak pernah menjabat sebagai Ketua DPC PPP Jombang, namun hanya sebatas pengurus.

Indikator ini diperkuat dengan perolehan kursi pada 2014 kemarin. Dari 5 kursi yang didapat sebelumnya, PPP malah melorot dan hanya mendapat jatah 4 kursi. Kondisi serupa juga terjadi pada Emma Umiyatul Chusna, putri Mundjidah. Emma yang saat ini dipercaya memegang fatayat NU, digadang-gadang mampu menjadi penerus Ibunya dalam pusaran muslimat NU.

Namun sepertinya hal yang sama bakal terjadi sebagaimana di DPC PPP Jombang. Sebagian besar ketika ditanya siapa Ketua Muslimat Jombang jawabnya pasti Mundjidah, sementara Mundjidah sudah sejak 2010 tidak lagi menjabat sebagai Ketua PC Muslimat Jombang. Satu lagi yang bakal dipersiapkan mengganti Silahuddin Asy’ari yakni menantu Mundjidah,Farid Alfarizi. Namun kiprah Farid yang kini menjabat sebagai Ketua KNPI Jombang masih jauh api dari panggang.

Sosok Mundjidah memang tidak terkalahkan dalam urusan basis massa. Ia memiliki pendukung setia yang tidak bisa terbeli. Runtuhnya dinasti Suyanto juga tidak lepas dari peran besar Mundjidah serta liuk erostis politik dari Nyono sendiri, yang dengan sigap menggandeng sosok Mundjidah serta sejumlah parpol pada pilkada 2013. Meski dengan modal politik basis massa yang kuat, namun hal ini belum cukup untuk bisa mengalahkan duet harmonis PDIP, Golkar dan PKS kendati masih terselubung selimut manja.

*************
Kemana trah Suyanto pasca keruntuhan dinastinya? Usai masa kepemimpinannya habis, Suyanto lebih memilih menjalani masa tuanya dengan tidak terlalu aktif dalam politik. Sementara Sumrambah juga seakan hilang dari peredaran. Tapi, masih tersisa satu nama dari keluarga Suyanto yang menjadi bagian dari seleksi alam. Sadarestuwati, adik dari Suyanto ini tetap mengibarkan benderanya sendiri ditengah terpaan yang meruntuhkan dinasti politik keluarga.

Sadarestuwati juga memiliki basis massa yang cukup signifikan. Selain itu, Sadarestuwati juga memiliki finansial yang mumpuni serta tipikal seorang fighter dalam percaturan politik. Jika dua kekuatan milik Mundjidah dan Sadarestuwati digabungkan, niscaya Nyono bakal ndromos dalam pertandingan 2018 nanti.

Namun, perlu digaris bawahi, Sadarestuwati merupakan kader partai. Ia dikenal sebagai sosok yang loyal terhadap segala keputusan partai. Hal ini bisa dilihat ketika pilkada 2013 lalu. Saat PDIP memberikan rekom kepada pasangan Widjono-Sumrambah, beberapa partai besar melamar Estu untuk dijadikan jago. Namun ia secara tegas menolak.

Begitu pula kemungkinan jika PDIP yang sudah mesra dengan Golkar menugaskan Sadarestuwati untuk mendampingi Nyono. Kemungkinan penolakan akan datang dari tubuh Golkar. Hal ini sesuatu yang wajar. Dimana pondasi dinasti politik yang susah payah dibangun saat ini, sudah pasti terancam dengan kehadiran Sadarestuwati. Mungkin hal tersebut bisa dianggap sesuatu yang zalim tapi lazim. Iya… itulah realitas politik.

Kemanakah partai-partai lain?

Demokrat … yang saat ini berganti gerbong kepengurusan dirasa belum mampu mewarnai dalam pilkada 2018. Sosok Ketua DPC Demokrat Jombang, Syarif Hidayatullah dirasa belum mampu mendulang suara signifikan. Demokrat saat ini masih miskin tokoh yang mumpuni untuk menjadi pendulang. Dari 7 kursi sebelumnya, Demokrat Jombang 2014 kemarin malah merosot menjadi 6 kursi.

Nasdem … peserta baru yang mampu menyerobot 4 kursi DPRD ini juga seakan ditelan bumi. Tidak ada gerakan massif dan sistematis yang dilakukan Nasdem selama 3 tahun masa periodenya. Sebagai catatan, Ketua Nasdem Jombang, Mu’linah Shohib masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Mundjidah. Namun juga tidak bisa lepas dari Ponpes Denanyar yang notabene identik dengan PKB. Mu’linah belum mampu membawa lari gerbongnya dengan kencang. Sementara, jika ingin dilirik, setidaknya Nasdem harus mampu membuktikan kebesarannya. Ditambah, 4 wakil Nasdem di kursi dewan seakan terbiasa berteriak setuju tanpa kajian sama sekali, sebagaimana tugas seorang politisi.

Hal serupa juga menimpa PAN yang dari 4 kursi menjadi 3 kursi, Gerindra 2 kursi dan Hanura 2 kursi. Bak iklan mobil panther wuuussss nyaris tak terdengar. Untuk PAN sendiri sebenarnya memiliki figur yang cukup layak jual, yakni Ali Fikri. Namun dengan tradisi masih tipisnya moral dalam realitas politik, Ali Fikri dianggap belum bisa menjadi mesin pendulang.

*************
Lantas adakah kandidat kuat diluar garis parpol ?

Jombang dikenal melahirkan banyak tokoh ‘gila’. Namun rata-rata, mereka memiliki jam terbang Nasional. Tak jarang pula dari tokoh-tokoh asal Jombang telah berpangkat akhir Jenderal. Kondisi ini yang mengakibatkan Jombang terlambat dalam regenerasi kepemimpinan daerah. Pilkada 2018 juga bisa dijadikan tolak ukur akhir dari perjalanan para pemain kawakan. Pilkada 2023 sudah dipastikan berisi para pemain baru.

Kembali kepada siapa tokoh yang diluar parpol yang memiliki kans sebagai pemain baru di Pilkada 2018? Saat ini hanya terlihat, dua tokoh diluar garis partai yang memiliki kans kuat untuk digembleng dalam pertarungan pilkada 2018.

Fatkhurrohman, Ketua Akindo sekaligus Pemuda Pancasila Jombang. Fatkhurrohman berbasic pengusaha ini, dari segi finansial memang pantas dilirik. Namun Pilkada 2018 bukan ajang bermain dan asal comot. Rekam jejak Fatkhurrohman sebagai pengusaha yang secara otomatis berhitung untung rugi, serta jiwa politiknya masih mengendap terlalu dalam. Jika ingin menggugah jiwa tersebut, tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Dua faktor penting yang betul-betul harus dihitung jika ingin menggandengnys sebagai salah satu pasangan.

Tokoh lainnya adalah Warsubi, Kepala desa Mojokrapak serta pengusaha. Figur ini masih bisa dihitung dalam kartu remi pilkada. Namun modal basis massa yang hanya berkutat diseputaran kecamatan tempatnya berdomisili tidaklah cukup. Faktor terpenting lainnya, Warsubi juga diketahui belum memiliki jiwa petarung. Selain itu, Warsubi tidak memiliki ahli strategi yang mampu menggembleng ia untuk bisa lebih berani show of force, membuat pilihan enggan dijatuhkan pada dirinya.

Siapakah kandidat yang pas dalam perebutan tiket 2018 ? Jawabnya, pasangan Nyono Mundjidah.
Jika pasangan ini tetap solid dan melanjutkan periode kepemimpinan untuk kedua kali, maka selesai sudah.

Apalagi jika semua partai sepakat mengajukan calon tunggal. Bukankah UU no 10 tahun 2016 memperbolehkan hal itu. Lawannya cukup kotak kosong.

Tidak perlu lagi ada black campaign, toch masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang tahu sama tahu.

Tidak akan ada lagi gesekan yang berujung konflik sosial antar pendukung fanatik. Apalagi yang jadi alasan untuk bentrok, kan junjungannya sudah sama-sama naik pentas tanpa harus ada yang terhempas.

Hilangnya tradisi serangan fajar dan bagi-bagi sembako yang hanya ada lima tahun sekali. Kan masih bisa diganti setiap menjelang hari raya idul fitri. Pahala yang didapat lebih mulia, warga juga pasti lebih senang karena intensitas berbaginya lebih tinggi.

Nggak perlu lagi cost dan mahar politik yang tinggi, namun berujung kedatangan tamu tak diundang yang belakangan aktif keliling daerah membagikan rompi oranye nya.

Hilang sudah demokrasi. Justru black campaign tidak mencerminkan demokrasi sesungguhnya. Saling sikut dan menjatuhkan bukan ciri demokrasi. Mahar dan cost politik memburamkan makna demokrasi. Konflik sosial atas limbah politik, menjadi penggembos roda demokrasi. Serangan fajar dan bagi-bagi sembako bentuk pembodohan demokrasi. Justru menghilangkan semuanya itu, merupakan pola tepat dalam pembelajaran publik menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi, kembali harus sadar diri, semua bisa berubah arah tanpa bisa diterka. Pemikiran dangkal dari seorang yang masih kencur apalagi menelanjangi tubuh seksi politik.

Hanya sebatas asa pria yang beranak pinak dari wanita yang lahir dan besar di Jombang, mengais rejeki di Jombang, bahkan jika boleh memilih, mati pun tetap di Jombang. Cukup berharap bisa memberi sedikit coretan warna yang berarti. Walau pemikiran yang lahir dari obrolan warung kopi, tanpa harus terbeli.

Kembali ke Pilkada 2018, Nyono Mundjidah masih sangat berpeluang besar melanjutkan progam yang telah terbangun sekarang. Dan yang terpenting pilihan ini adalah posisi teraman bagi keduanya.

Ditahun 2023, kesempatan regenerasi, mempertahankan trah politik maupun mengembalikan garis dinasti sangat terbuka lebar. Golkar dengan suguhan erostis politiknya berkesempatan besar mempertahankan dinastinya. PDIP sangat terbuka untuk mempersiapkan calon terbaiknya sekaligus jika adanya keinginan mengembalikan garis trah politik yang sudah runtuh.

PKS dengan style kalemnya namun memikat berpeluang besar mewarnai bursa pencalonan. PPP bisa menyiapkan regenerasi yang mumpuni dengan melepas bayang-bayang Ibu. PKB, partai yang penuh dengan manuver strategis namun masih bisa ditebak arahnya, memiliki kans besar pula dalam penyiapan kadernya.

Salam Redaksi.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Dani Setyanto