Keluarga Berharap Penganiaya Santri Ponpes Darussallam Surabaya Diproses Hukum
SURABAYA, Faktualnews.co – Diduga menjadi korban penganiayaan, MIU (15), santri Pondok Pesantren (Ponpes) Darussallam, di Jalan Tambak Anakan Surabaya, meninggal dunia. Jenazah korban sudah dimakamkan oleh pihak keluarga pada Senin, 4 September 2017 dinihari.
Kesedihan masih tampak di keluarga korban, terutama Farman (36), ayahnya. Almarhum dimakamkan Jalan Kejawan Putih tambak VI/39 Surabaya di area pemakaman dekat rumahnya.
Kepada Faktualnews.co, Farman bercerita, anaknya itu diyakini meninggal lantaran penganiayaan. Keyakinan adanya penganiayaan itu karena tampak pada fisik tubuh korban terdapat banyak luka-luka.
“Saat dilihat,jenazah anak saya penuh luka di badannya. Luka itu berupa bengkak di bagian mata, luka muka bagian kiri, hidung keluar darah, luka tangan kiri dan punggung kiri,” kata Farman saat ditemui di rumahnya pada, Senin (4/9/2017).
Juga kata Farman, pihak Polisi dari Polsek Simokerto juga sudah meginformasikan hasil visum dalam. Dari hasil visum itu diketahui pada jantung korban ada gumpalan darah, kemudian tulang tangan kanan juga ada yang retak.
Temuan Polisi itu menambah kuat dugaan Farman jika anaknya itu meninggal karena adanya tindakan kekerasan hingga penganiayaan.
Karena kematian anaknya tidak wajar dan diduga kuat menjadi korban penganiayaan, Farman berharap pelaku ditindak dan dihukum sesuai aturan yang berlaku. Meskikipun menurut keterangan dari Polisi, pelakunya juga anak-anak.
Sementara itu dari pihak Popes Darussallam sendiri sudah mengunjungi dan takziah ke rumah duka pada, Minggu (3/8/2017) malam. Dalam kesempatan tersebut, pihak Ponpes Darussallam sekaligus meminta maaf kepada keluarga.
“Meski memaafkan, akan tetapi proses hukum harus tetap berlanjut dan yang bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal karena sudah menghilangkan nyawa anak saya,” tuntut ayah tiga anak ini.
Jika pelakunya menurut Polisi dari Polsek Simokerto sudah tertangkap sebanyak empat orang, pihak keluarga menginginkan proses hukumnya berjalan dan tidak boleh berhenti atau dibiarkan. “Pelakunya harus dihukum sesuai dengan perbuatannya,” tandas Farman.