Religi

Kisah Santri Asal Thailand Yang Mondok di Lamongan, Bahasa dan Makanan Jadi Kendala

LAMONGAN, FaktualNews.co – Puluhan pelajar dan mahasiswa asal Thailand memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren (Ponpes) Matholiul Anwar, Simo Sungelebak, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Salah seorang santriwati dari Thailand, Nurul Yani, mengatakan setidaknya ada 30-an santri asal Thailand ini berasal dari tiga provinsi yang penduduknya mayoritas muslim, mondok di PP Matholiul Anwar ini.

Kebanyakan santri yang memilih modok di Ponpes Matholiul Anwar dari tiga Provinsi bagian selatan di Thailand yakni, Provinsi Patani, Provinsi Yala dan Narathiwat.

Ada beberapa alasan yang menjadikan anak-anak muslim Thailand memilih memperdalam ilmu agama di Indonesia. Selain beasiswa juga karena Indonesia dekat dengan negara Thailand, serta biaya hidup tidak telalu mahal. “Disini kan semua mayoritas muslim,” ungkap Nurul.

Selain menjadi santri di Pondok Pesantren yang didirikan pada 18 Januari 1914 ini, juga ada tiga siswa yang menempuh pendidikan di jenjang Madrasah Aliyah (MA) sebanyak tiga orang. “Kami juga belajar berorganisasi di Hikmat (himpunan keluarga mahasiswa Al-Hikmah Thailand) ada kegiatan, diskusi dan olahraga bersama,” ujarnya.

Santri asal Thailand lainnya, Nuni, menambahkan dia dan teman-temannya bisa belajar Manakib, Istiqosah di Ponpes Matholiul Anwar. “Kalau di negara saya, kegiatan tersebut jarang-jarang ada,” jelasnya.

Selama proses “nyantri” menurut Nuni, tak banyak perbedaan yang mencolok antara di Indonesia dengan di Thailand. Hanya saja kitabnya sama tapi Arab pegonnya beda. “Kalau sini pegon jawa kalau di sana pegon jawi (arab melayu),” tuturnya.

Faktor bahasa dan makanan

Bahasa menjadi kendala utama dalam proses adaptasi selama berada di Indonesia. “Yang susah bahasanya, disini kan lebih banyak pakai bahasa Jawa. Sedangkan kami disana (Thailand) biasanya pakai bahasa melayu,” jelas Aini.

Ia menuturkan proses belajar bahasa Jawa para santri asal Thailand ini membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. “Belajar bahasa Jawa kurang lebih ya setahun, sekarang udah bisa sedikit-sedikit,” ungkap dia.

Aini melanjutkan, persoalan makanan, menjadi kendala yang kedua, karena perbedaan cara memasak dan lauk pauk yang tersedia.

“Kita di sini masak sendiri, karena tidak suka tahu-tempe. Tapi kita suka makan soto, sate, pecel, kalau rujak suka sekali,” katanya.

Nah, perkara bergaul dengan rekan-rekannya, Ia dan pelajar asal Thailand mengaku tak memiliki masalah. “Kita pernah main ke rumah teman yang di Tuban, Gresik,” tuturnya menambahkan.

Sementara, salah seorang pengasuh ponpes, Saifullah Abid kepada wartawan membenarkan kalau di ponpesnya ada sekitar 30an santri dari Thailand. Selain Thailand, kata Abid, di pondoknya juga ada santri dari Timor Leste. “Ya memang ada yang belajar di sini dan sambil kuliah,” tuturnya.