Hukum

Fitra Jatim : Fee Proyek, Tradisi Buruk Kini Mulai Bisa Dibongkar

JOMBANG, FaktualNews.co – Tertangkapnya Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penerimaan fee proyek, seolah membongkar tradisi yang dulu sukar untuk di buktikan.

Sontak hal tersebut menjadi sorotan tersendiri bagi Forum Indonesia untuk Transpransi Anggaran (Fitra) Jawa Timur. Dalam keterangan persnya, Dahlan Ketua Fitra Jatim menganggap fenomena itu terjadi hampir merata di seluruh daerah.

“Fee proyek adalah tradisi yang dulu susah di buktikan, untung sekarang ini KPK bisa membongkar semuanya,” tegas Dahlan kepada FaktualNews.co, Selasa (19/9/2017).

Selama ini, masyarakat kerap mendengar adanya fee 10 persen hingga 15 persen dari nilai proyek. Namun penindakan akan permainan kotor di balik meja penguasa itu menurut Dahlan, menjadi sesuatu barang langka.

Fee proyek lanjut dia, sepertinya menjadi norma umum dalam setiap pengerjaan anggaran pemerintah. Namun yang patut diwaspadai, fee ini merupakan penyakit yang mampu menurunkan kualitas barang dan jasa.

“Karena nilai sudah berkurang dengan adanya pemotongan di awal maka secara otomatis barang dan jasa yang dihasilkan akan ikut memburuk kualitasnya,” tambahnya.

Fitra sendiri mendukung upaya KPK untuk terus melakukan penindakan terhadap pejabat yang terlibat dalam suap baik kepala daerah maupun pejabat negara lainnya. Ia juga mengimbau kepada seluruh pengguna anggaran agar mampu menekan tindak pidana korupsi.

Khususnya, lanjut Dahlan, pengadaan barang dan jasa. Sektor ini, menurutnya cukup rawan suap menyuap yang dibungkus fee antara penyedia dan birokrasi.

Di Jombang sendiri, praktik dugaan fee proyek justru santer terdengar dilakukan oleh pihak legislatif. Sebagaimana diungkap salah satu pelaku jasa kontruksi berinisial I.

Menurutnya, dengan berselimut dana integrasi (dulunya jasmas) para anggota dewan menjual sejumlah paket pekerjaan dengan nilai 20 persen dari nilai proyek. Nilainya pekerjaanpun bervariatif.

Guna menghindari proses lelang, mereka mengalokasikan dana integrasi tersebut kedalam paket penunjukkan langsung (PL). Dimana dengan mekanisme itu (PL, red), proyek dapat dengan mudah diberikan kepada siapapun.

“Kalau yang di Malang bisa dilakukan OTT, seharusnya di Jombang juga bisa,” ungkap I yang meminta namanya disembunyikan.

Oknum yang meminta agar namanya tidak disebutkan ini menambahkan, untuk bisa menjerat perilaku ini, pintu masuknya cukup mudah. Yakni dengan mempelototi paket PL yang dikelola dinas teknis.

Jumlahnya menurut I, mencapai ratusan. Sementara sebagian besar dikuasai anggota dewan. “Tapi sudah dijual pada kontraktor dengan harga 20 persen dari nilai proyek. Yang kasihan dinasnya, tidak ikut makan buahnya tapi jika ada apa-apa harus kena getahnya,” pungkasnya.