MOJOKERTO, FaktualNews.co – Petirtaan Jolotundo yang berada di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dipercaya memancarkan air yang dapat menghadirkan keberkahan bagi masyarakat. Masyarakat di desa setempat setiap tahunnya menggelar ritual Panyuwunan oleh masyarakat dan pemangku budaya setempat.
Tradisi yang dilakukan secara turun temurun ini, dilakukan ritual pengambilan air di 33 titik sumber mata air di empat penjuru Gunung Penanggungan. Konon, masyarakat meyakini Gunung Penanggungan merupakan gunung yang harus tetap dijaga kesakralannya.
Salah satunya adalah dengan menjaga kelestarian sumber mata air. Hal ini diharapkan dapat menjaga keutuhan dan keseimbangan alam adalah budaya. Sebab air merupakan kebutuhan mutlak bagi umat manusia.
Adapun rangkaian ritual ruwat sumber mata air Petirtaan Jolotundo kali ini dimulai dengan, napak tilas Prabu Airlangga dengan pengambilan air di 33 titik sumber air di sepanjang lereng gunung. Dari 33 sumber mata air tersebut, terdapat di empat penjuru seperti lereng barat, lereng selatan, lereng timur dan lereng utara.
Setelah prosesi pengambilan air selesai, masyarakat berbondong-bondong membawa tumpeng hasil bumi, jajan pasar serta sayur menuju ke komplek Petirtaan Jolotundo. Tumpeng tersebut diarak mulai dari gapura masuk ke Petirtaan Jolotundo hingga ke area sumber air. Setelah itu, dilanjutkan dengan Ritual Panyuwunan atau memuji Gusti Allah untuk mendapatkan restu dan keberkahan.
Setelah Ritual Panyuwunan selesai, dilanjutkan dengan prosesi menyatukan 33 air yang telah diambil melalui prosesi Manunggaling Tirta Suci di Petirtaan Jolotundo. “Kami ingin, sumber air ini tetap terjaga dan tidak surut. Karena air merupakan salah satu kebutuhan utama manusia. Selain menjaga dan melestarikan, ruwat ini juga mengenalkan kepada seluruh masyarakat bahwa ada tradisi yang masih terus dipertahankan,” ungkap salah satu sesepuh Desa Seloliman, Djari, Kamis (28/9/2017).
Terpisah, Camat Trawas, M Iwan Abdillah menjelaskan, dengan adanya ruwat yang digelar setiap bulan Suro ini, dapat terus terjaga. Bahkan ia berharap, ritual ini tidak hanya sebagai prosesi kegiatan semata melainkan juga dapat memberikan pengalaman tentang keragaman budaya serta tradisi yang masih kental dan dijaga kelestariannya.
“Dalam rangka melestarikan tradisi dan budaya, mudah-mudahan menjadi lebih baik lagi. Mata air ini, harus tetap eksis di gunung Pawitra. Selain itu, Petirtaan Jolotundo merupakan kepustakaan milik kita semua, jadi tidak hanya sekedar ritual, melainkan juga melestarikan,” pungkasnya.