Oleh: Ali Makhurs (Mamak)*
Kata sahabat Mahbub dalam Politik Tinggkat Tinggi Kampus (2017), “Sekarang yang tadinya baru itu sudah dianggap tidak baru lagi. Perlu yang lebih baru. Segala berkembang secara dialektik”. Runtutan kata tersebut patut jadi renungan sebaga kaidah “ushul pikir” era milenal sekarang ini. Sebab, tuntutan zaman pasca rasionalitas atau positivistik ala August Comte (1798-1857), keberadaan sosial bisa diuraikan dengan mengguakan kerangka dan seperangkat ilmu alam.
Dua abad berikutnya, positifisme Si Mbah Kakung Comte telah mendapat kritik tajam akibat “pengangkaan” atas realitas sosial. Kritik tersebut kemudian dikenal dalam jagad filsafat dengan pos positifistik. Para pendekar sosiologi beberapa tokohnya ialah Karl Popper (1902–1994), Thomas Kuns (1922-1996) dan para filsuf frankfurt (1923–hingga sekarang). Dengan kata lain, manusia tidak cukup digambarkan dengan narasi dan angka – angka dan akan terus bergerak dan berubah baik cara maupun perangkat untuk mengenalinya.
Proses perkembangan manusia yang terus melaju sudah barang tentu ikut merubah cara pandang kita terhadap ciptaan Tuhan yang paling baik ini (Surat at-Thin Ayat 4). Dalam hal ini, bisa kita belajar konsep kekinian mengenai manusia abad internet. Sudah bukan barang baru lagi, bahwa pada tahun 2017 kita semakin populer dengan masyarakat millenial.
Potret tersebut bisa kita rujuk berdasar hasil penelitian Boston Consulting Consulting Group (BCG) kerjasama Unversity Of Berkeley 2011 dengan tema “American Millenial: Deciphering the Enigma Generation” serta penelitian pada tahun 2010 Pew Research Center dengan judul “Millenials : A Potrait Of Generation Net”. Dalam paper tersebut dikatakan generasi milenial memiliki karakter kunci, yakni: technology reliant (percaya teknologi), image driven (jaga image), multitasking (serba bisa), open to change (terbuka pada perubahan), confident (percaya diri), team-oriented (tujuan tim), informaton rich (kaya informasi), impatient (tidak sabaran), dan adaptable (mudah beradaptasi).
Lebih jelas lagi, seperti keterangan student.cnnindonesia.com, merinci: pertama millenial lebih percaya user generated content/konten dan informasi yang dibuat oleh perseorangan, kedua lebih memilih ponsel atau gadget dari pada televisi, ketiga wajib memiliki media sosial, keempat kurang suka membaca secara konvensional, kelima lebih tahu teknologi daripada generasi orang tua mereka, keenam cenderung tidak loyal namun efektif, ketujuh lebih suka transaksi dengan cashless.
Dalam hemat penulis, beberapa karakter tersebut di atas mempertegas akan betapa internet telah menjadi satu media terpercaya dan bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan manusia: ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Dan dari sini, perlu mendapatkan legitimasi moral agama dalam rangka membimbing manusia menuju tujuan sebenarnya dalam menjalani kehidupan.
Dengan ringkas ingin penulis sampaikan, bahwa generasi millenial atau generasi Y inilah terbaru dan paling mutakhir tentang teori manusia di millenium kali ini. Dasar ini dilatar belakangi oleh faktor bonus kelahiran atau demografis yang ditandai sejak tahun 1977 sampai 2000.
Diperkirakan sekarang, manusia ini rata – rata telah berusia 20 sampai 40 tahun. Konsep manusia ini menjadi penting karena berdampak luas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik kepemimpinan dan ideologisasi.
Apakah Indonesa juga memiliki kecenderungan yang sama sebagaimana Amerika? Menurut riset yang dikeluarkan oleh Alvara Research Center dengan judul “The Urban Middle-Class Millenials Indonesia: Financial and Online Behavior” Feburari 2017, apa yang menggejala di Indonesia tidak jauh beda dengan apa yang menggejala di Amerika.
Bahkan, Alvara memprediksi pada tahun 2020 jumlah populasinya mencapai angka 35 juta jiwa atau 13 % dari jumlah total penduduk. Bahkan angka tersebut terus merangkak naik hingga 70 % pada tahun 2030 atau kira – kira setara 175-180 Juta.
Sebagai publik figur, Jokowi, hemat penulis, ialah sosok pemimpin representatif mewakili kesesuaian dengan zaman lari cepat ini. Kejelian beliau dengan latar belakang sebagai tukang, tak membuatnya gagap dengan gaya hidup masyarakat internet.
Perkembangan berbagai aplikasi modern tak luput dari lirikan beliau sebagai panutan dan figur publik. Pesan – pesan beliau menjangkau kalangan muda millenial, yang menurut BPS, 50 % persen generasi penduduk produktif berasal dari millenial. Di saat yang bersamaan, tantangan berbagai seliweran hoaks bukanlah perkara sederhana.
Untung saja, Jokowi terbiasa bergaul dan bercengkrama dengan anak–anaknya. Usaha Jokowi menyelami massa millenial patut kita hargai sebagai bentuk pendekatan diri yang adaptable kepada generasi penerus ini. Apa dilakukan Jokowi kita harapkan terus terjadi peningkatan dari orang – orang berpengaruh agar terjadi kesesimbangan informasi di tengah peperangan cyber atau proxy war dalam dunia milter. Berdasar hasil penelitian di atas, karakter ketokohan jadi faktor yang memiliki tingkat pengaruh yang lebih tinggi.
Kita juga tidak boleh lupa, para ideologi kaum ekstrimis dan kontra Pancasila dan NKRI pun juga tak kalah piawai dalam memainkan jejaring media sosial. Hal tentu saja mempengaruhi pranata dan media ideologisasi yang berkembang akhir – akhir ini. Mereka sudah lebih terbuka dengan perangkat – perangkat millenial sebagai nuklir menghancurkan yang tidak sepaham dengan mereka.
Menurut Tim Cyber LTN PBNU NU rilis tahun 2016, ada sekitar 208 situs yang telah memainkan dunia cyber mengatasnamakan Islam. Propaganda terus mereka perkuat dan perlebar hingga menjangkau kalangan – kalangan millenial. Dan kirannya, angka ini juga akan terus bertambah seiring waktu. Sementara, perkembangan – perkembangan konsumsi masyarakat kepada internet sudah seperti kebutuhan makan.
Penulis teringat, akan kaidah fikih “الوسائل لها حكم المقاصد” yang artinya “perantara atau media baginya berlaku pula hukum sebagaimana tujuanya”. Keutuhan dan kerukunan merupakan bingkai yang hendak dibentuk demi menggapai kerahmatan dan keadilan bagi semesta alam.
Ideologi dan kepemimpinan merupakan wasilah lain dalam menghantarkan pesan – pesan bagi kebaikan bagi warga masyarakat. Jangan persepsi dasar tentang ‘wasilah’ berubah menjadi ‘tujuan’ (ghoyah). Dan pada akhirnya, menutup kesempatan dalam memperoleh pencerahan menuju kebenaran. Kaidah beragama menuntun,” المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح”: “menjaga lama yang baik, mengambil terbaru yang lebih baik”.
(wallahu a’lamu bis showab)
*) Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta