Tulis Yerusalem Ibu Kota Israel
Anggota DPD RI Minta Buku Ajar IPS SD Ditarik
SURABAYA, FaktualNews.co – Anggota Komite II DPD RI, Ahmad Nawardi, meminta buku ajar IPS SD terbitan dari Penerbit Yudhistira yang beredar di Jawa Timur, segera ditarik. Pasalnya, dalam buku tersebut ada konten bermuatan informasi tidak benar yang berpotensi mencoreng marwah dunia pendidikan.
Seperti diketahui, baru-baru ini viral gambar halaman buku yang menyebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, termasuk juga tautan Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang berisi halaman itu.
Menurut Ahmad Nawardi, ditengah konflik internasional menyusul pernyataan sepihak Presiden Donald Trump dengan mangakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, buku ajar yang menjadi pokok pegangan peserta didik justru ditulis tidak cermat.
“Santernya kabar isi buku materi ajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Sekolah Dasar (SD) yang menyebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel justru seperti mendukung klaim sepihak Trump dan mencederai upaya diplomatik yang dilakukan Pemerintah RI,” ujar Nawardi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi FaktualNews.co, Rabu (13/12/2017).
Diketahui, buku itu terbitan tahun 2008 yang mendapat SK melalui penilaian Kemendikbud untuk menunjung Kurikulum 2006. Meski begitu, penyebutan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel sangatlah keliru. Kota yang disengketakan selama berpuluh tahun itu masih berkecamuk konflik. Meski sudah disidangkan di PBB, tapi belum juga mendapat keputusan inkracht.
Dalam peta politik Timur Tengah, beber Nawardi, ambisi dan manuver Israel untuk menguasai Yerusalem sudah tercatat sejak 1967. Berdasarkan laman Al Jazeera, Israel terhitung sedikitnya 16 kali melawan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Yerusalem memang selalu dirundung konflik dan perang. Ia sudah pernah dihancurkan selama dua kali, diserang 52 kali, dikepung 23 kali, serta direbut selama 44 kali.
Situasi internasional diatas, lanjut Nawardi, rupanya tidak menjadi referensi awal konten penulisan buku ajar. “Ini yang sangat disayangkan. Buku yang diketahui diterbitkan Penerbit Yudhistira itu ditulis secara tidak cermat, menggunakan referensi berbeda, dan tidak melalui perbandingan literasi yang matang,” katanya.
“Disengaja ataupun tidak, hal ini sangat merugikan tidak hanya pada instansi pendidikan, tetapi juga pemerintah,” tambah mantan anggota DPRD Jawa Timur ini.
Ahmad Nawardi memaparkan, buku menjadi instrumen penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dalam Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang digunakan oleh Satuan Pendidikan disebutkan, bahwa buku pelajaran adalah sumber pembelajaran utama untuk mencapai kompetensi dasar dan kompetensi inti dan dinyatakan layak oleh Kemendikbud untuk digunakan pada satuan pendidikan.
“Kesalahan informasi pada penulisan buku ajar bukan perkara remeh. Dalam hal ini, Kemendikbud harus bertanggungjawab dan konsekuen karena buku dimaksud diterbitkan dan melalui koreksi oleh Kemndikbud. Misalnya dengan memberikan sanksi blacklist dan larangan penggunanaan buku yang diterbitkan penulis dan penerbit,” tandasnya.