GAZA, FaktualNews.co – Beberapa pekan terakhir ini tidur malam penduduk Gaza diusik oleh suara berisik campuran antara bacaan ayat Al Quran, nasehat agama dan doa-doa. Suara yang memaksa mereka terbangun dari tidur itu bersumber dari pengeras suara yang dibawa keliling menyusuri sepanjang jalan di Gaza.
‘Gerakan Subuh Berjamaah’ adalah gerakan yang dilakukan aktivis keagamaan yang mungkin berafiliasi dengan militan Hamas (Harakat al-Muqawamah al-Islamiyya). Mereka berusaha menyebarkan pesan Islam di masyarakat yang sebenarnya sangat konservatif. Namun demikian tidak semua warga siap dengan keberisikan menjelang pagi itu.
‘Gerakan Subuh Berjamaah’ memancing perdebatan sengit apakah tepat memaksakan agama terhadap masyarakat. Salah seorang pemuka agama pernah memperingatkan, tindakan mengganggu orang itu tidak islami.
Muslim yang taat menjalankan shalat lima kali sehari. Namun demikian para aktivis keagamaan mengatakan mereka ingin memastikan apakah umat muslim menjalaninya tepat waktu. Dan yang terpenting lagi, menjalaninya tidak di rumah tapi di masjid setempat.
Setelah dimulai di sejumlah lingkungan di Kota Gaza, ‘Gerakan Subuh Berjamaah’ akhirnya menyebar ke segala penjuru dan pelosok wilayah Gaza.
Penyelenggaranya kebanyakan adalah pengurus masjid yang bertanggung jawab kepada kementerian agama yang dikuasai oleh Hamas. Mereka menyatakan ingin pada saat subuh masjid penuh dengan jamaah seperti saat shalat Jumat.
Ahmad Hammad, relawan ‘Gerakan Subuh Berjamaah’ asal lingkungan Tel al-Hawa Kota Gaza, mengatakan gerakan tersebut berhasil. Terbukti dengan meningkatnya jumlah shaf (baris -red) jamaah subuh di masjid setempat.
“Biasanya hanya satu atau setengah baris jamaah shalat subuh. Tapi sekarang setelah adanya kampanye ini menjadi bertambah banyak, sampai tiga baris,” katanya.
‘Gerakan Subuh Berjamaah’ tersebut dilakukan bersamaan dengan masa sulit di Gaza, di mana keputusasaan tersebar luas diantara 2 juta penduduk setelah satu dekade diblokade oleh Israel dan Mesir. Belum lagi kesulitan akibat adanya pembatasan di wilayah Tepi Barat.
Hamas adalah kelompok Islam militan yang menginginkam kehancuran Israel dan menguasai Gaza sejak memenangkan pemilihan legislatif setahun lalu. Israel menyatakan bahwa blokade diperlukan untuk mencegah kelompok militan membangun kekuatan militernya. Pada saat yang sama Presiden Palestina Mahmoud Abbas menekan Hamas agar bersedia menyerahkan kekuasaannya.
Meskipun pada saat berikutnya Hamas menawarkan untuk menyerahkan kembali kekuasaan, perundingan rekonsiliasi dengan Abbas mengalami kemacetan. Ini bersamaan dengan kondisi ekonomi Gaza yang kacau dan terus memburuk. Dalam dekade yang sulit itulah masyarakat Gaza tumbuh menjadi semakin konservatif dan religius.
“Shalat Subuh sangat penting untuk menumbuhkan moralitas dan semangat masyarakat yang terhimpit banyak persoalan,” kata Abu Aziz al-Waheidi yang mengawasi ‘Gerakan Subuh Berjamaah’ di 22 masjid di wilayah Tel al-Hawa.
Ismail Haniyeh, pemimpin tertinggi Hamas, mendukung gerakan tersebut. Bahkan kantornya membagikan gambar yang menunjukkan ia dan pejabat Hamas lainnya dikelilingi oleh puluhan jamaah usai shalat di sebuah masjid di kamp pengungsi Shati, tempat tinggalnya.
‘Gerakan Subuh Berjamaah’ dimulai pada bulan lalu, tidak lama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk memindahkan kantor kedutaan Amerika ke Yerusalem. Pemindahan ini memancing kemarahan warga Palestina yang menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka.
Ketika ronda shalat subuh dimulai, wargapun terbagun karena dikagetkan oleh kebisingan suara yang berisik di luar rumah mereka. Kebiasaan baru yang sebelumnya hanya terjadi pada saat bulan Ramadhan di mana mereka dibangunkan oleh para peronda untuk keperluan makan sahur.
Puluhan masjid saat ini turut ambil bagian dalam kegiatan setiap pagi itu. “Ini adalah firman Tuhan. Mereka mendorong warga untuk berbuat baik dan baribadah,” kata Saed al-Shurafa (63) di masjid setempat.
Saed Abu Hasera, warga lainnya, mengatakan secara umum mendorong masyarakat untuk shalat itu adalah amal baik. Bahkan ia pernah mendengarkan suara dari pemutar musik milik relawan dan menjadi awal yang bagus untuk memulai aktifitas sehari-hari.
“Tapi suara yang terlalu keras juga akan membangunkan anak-anak dan membuat mereka gelagapan,” katanya.
Abdel-Bahri Khela, seorang ulama dan mufti, menyampaikan fatwa bahwa penting untuk shalat subuh berjamaah di masjid. Namun demikian mengganggu masyarakat adalah pelanggaran terhadap ajaran Islam.
Ia menyatakan bahwa dua panggilan shalat yang dikumandangkan di masjid, adzan dan iqomat, adalah ajaran Islam.
“Mengganti kedua panggilan adzan dan iqomat dengan sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya seperti drum, musik dan suara keras yang membuat bising itu ilegal. Jika membahayakan atau mengganggu masyarakat malah jadi haram,” katanya.
Pagi buta, Hamad dan sekelompok pemuda muncul di kegelapan dari arah masjid Abu Hanyfa di Tel al-Hawa. Kelompok itu kemudian terbagi dua dan masing-masing dibekali satu loudspeaker portabel.
Mereka menyusuri jalan dan lorong-lorong. Dengan mikrofon Hammad membangunkan warga, menganjurkan dan mengimbau untuk shalat subuh berjamaah.
“Suaranya tidak terlalu keras meski tidak pelan. Sangat ringan. Kita hanya keluar satu atau setengah jam sebelum adzan subuh. Bagaimana mungkin ini dikatakan mengganggu?” katanya bersikukuh.