Internasional

TKW di Hongkong Hamil di Luar Nikah, Begini Penderitaan Mereka

HONGKONG, FaktualNews.co – Annie (42), bukan nama sebenarnya, adalah seorang pembantu rumah tangga. Ia sudah sepuluh tahun bekerja di Hongkong ketika mulai menjalin hubungan dengan seorang pria lokal yang diharapkan akan menjadi pasangan hidupnya kelak.

Di luar dugaannya, hubungan dengan sang kekasih tiba-tiba berubah seiring dengan kehamilannya. Masa kehamilan yang semestinya menjadi momen menggembirakan, bagi Annie justru menjadi sumber malapetaka dan kekecewaan. Pacarnya sudah tidak lagi menghubunginya.

“Awalnya saya enggan diajak berhubungan badan sebelum pernikahan. Itu perbuatan yang tidak bisa diterima di Indonesia. Tapi sebaliknya dia mengatakan budaya di Hongkong berbeda dengan Indonesia. Sebenarnya saya takut hamil, tapi dia menjamin dia tidak akan memiliki anak, seperti yang dikatakan dokter kepadanya. Jadi, dia menolak menggunakan kondom,” kisah Annie kepada South China Morning Post.

“Saya sudah mencoba berbicara padanya soal kehamilan ini tapi dia malah menuduh saya telah tidur dengan pria lain. Padahal hanya dengan dia, tidak ada pria lain. Saya sangat galau dan cemas,” katanya.

Sendiri, Annie dan bayi dalam kandungannya harus menghadapi ketidakpastian hidup di negeri asing. Sebuah kejadian yang tidak biasa dan tidak semestinya.

Banyak pembantu rumah tangga asing yang tinggal dalam waktu lama di Hongkong. Maka tidak mengherankan bila mereka menjalin hubungan dengan masyarakat di sekitarnya, termasuk juga hubungan asmara.

Jessica Chow, Direktur aksi sosial dan peduli kesehatan di kelompok amal Pathfinders, akrab dengan keadaan sulit seperti yang dialami Annie.

Menurutnya, kasus Annie merupakan bukti dari minimnya pendidikan sex dan kurangnya akses perencanaan keluarga bagi mereka di Hongkong.

“Mereka merasa kesepian, menghabiskan waktu sekian lama jauh dari keluarga dan sangat mungkin suaminya di kampung telah berselingkuh,” tambah Jessica Chow.

Setelah mengalami kehamilan, mereka akan berhadapan dengan rangkain kenyataan yang menakutkan. Dimulai dengan memberitahukan kehamilannya kepada majikan, biasanya berujung dengan pemecatan. Kemudian memberitahukan kepada keluarganya di kampung halaman, dan selanjutnya bersiap-siap menerima kenyataan pahit ditolak kerabatnya.

“Para ibu di sini sering kali memperpanjang visanya sehingga ia dapat merawat anaknya. Tapi bila saatnya pulang kampung kelak dan keluarganya tidak bisa menerima anaknya, bagaimana kemudian nasibnya? Siapa yang akan peduli padanya?” kata Chow dengan nada tanya.

Menurut Chow, bagi warga bukan penduduk asli tidak ada hak akses layanan penitipan anak. Panti asuhan juga tidak tersedia untuk perempuan yang diharuskan siap bekerja selama 24 jam selama 6 hari dalam sepekan.

“Bila mereka tidak ingin menggugurkan kandungannya, pada dasarnya mereka tidak punya pilihan,” kata Chow.

Sebagian malah mengalami keputusasaan yang sangat dalam dan lebih memilih untuk bunuh diri. “Terkadang kita menghadapi masa sulit untuk melindungi mereka saat mereka dilanda depresi. Tapi untungnya mereka sangat luar biasa, memiliki ketahanan yang tinggi,” jelas Chow.

Menurut laporan Pathfinders tahun 2016, 88% ayah dari anak-anak yang terlahir dalam situasi itu tinggal di Hongkong. Dari angka itu 48% diantaranya adalah pencari suaka. Sementara 52% lainnya adalah warga yang telah tinggal secara permanen di Hongkong dan para pemegang visa lain.

Para perempuan yang berada pada posisi Annie sangat membutuhkan bantuan.

“Majikan saya sangat kaget dan marah. Saya disarankan untuk aborsi di Shenzhen tapi saya tidak mau,” jelas Annie yang menyebut saran yang sama juga disampaikan oleh agen penyalurnya.

Tidak lama sebelum melahirkan anaknya, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. “Saya tidak ingin bermasalah lagi dengan siapapun,” kata Annie.

Beruntung akhirnya Annie dibantu seorang pastor dan keluarganya. Mereka merawat anak Annie selama 2 tahun, sementara ia menemukan majikan lain dan berjuang di pengadilan untuk mendapatkan pengakuan atas status anaknya terhadap ayahnya.

Setelah sekian lama mengalami masa sulit, akhirnya pengadilan membuktikan kebenaran tuntutan yang diajukan Annie. Dengan demikian ayah anaknya berkewajiban menafkahi dan statusnya diakui sebagai warga negara

Anak Annie sekarang sudah berumur 4 tahun dan tidak lagi bersama keluarga pastur. Ia sekarang dirawat oleh keluarga lain yang bertemu dengannya di gereja. Annie dapat menjenguk anaknya setiap hari libur.

Keadaan berubah lebih menguntungkan lagi ketika Annie bertemu dengan sebuah keluarga yang mau menerima ia dan anaknya. “Mereka tidak keberatan saya membawa anak. Bulan maret depan saya akan mulai kerja di majikan baru ini,” jelas Annie.