FaktualNews.co

KH Mundzir Kholil dan Alexander The Great

Opini     Dibaca : 1702 kali Penulis:
KH Mundzir Kholil dan Alexander The Great
Foto : Ilustrasi

Oleh: Zainal Arifin*

Dinamika di tubuh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Pamekasan menjadi pengalaman baru bagi masyarakat Pamekasan tentunya. Bagaimana memberi pelajaran berdemokrasi yang santun, sejuk dan bermoral. Bahwa kedudukan atau jabatan tidak melulu soal ambisi dan kekuasaan tendensius. Mundurnya KH. Mundzir Kholil dari jabatan Ketua DPC PPP Pamekasan mengawali bukti bahwa di zaman sekarang masih tersisa orang ideal, masih ada sosok kesatria yang berani mengangkat tangan mengakui kelemahan dan ketidak mampuannya duduk di puncak jabatan yang sejatinya merupakan amanah besar. Sebuah keputusan cerdas, solutif dan karenanya layak diapresiasi.

Sejumlah respon dari berbagai sudut pandang mengalir di selokan media massa dan tidak jarang langsung menetes ke pribadi Pengasuh PP. As-Syahidul Kabir ini, dan juga kepada saya pasca memberi keterangan di depan kamera media terkait pengunduran diri beliau dari jabatan struktural partai pemenang di Kabupaten Gerbang Salam ini.

Telfon ramai, chat WhatsApp bahkan tidak sedikit mengkonfirmasi langsung perihal keputusan tegas tapi (mungkin) mengherankan banyak orang tersebut. Ada pujian, ada pula cacian. Tapi kita akan focus pada suara sumbang yang ada. “Keputusannya tepat tapi momentnya kurang tepat”_, _”Sebenarnya kalau memang mau mundur lebih cepat lebih baik”. dan sejumlah komentar yang menurut saya keluar seinginnya tanpa adanya analisa.

Sekarang kita hidup di dunia demokratis tanpa arah. Kenapa demikian, karena demokrasi yang kita berhalakan di negara ini nyaris bebas amblas tidak terkendali. Semua bebas begini, semua diberi hak untuk begitu. Sistem kehidupan bernegara yang menurut hemat penlis mengasingkan Tuhan.

Ya, menafikkan nilai-nilai ketuhanan karena sedikit yang mengajak masyarakat untuk dewasa dalam bertindak (ma’ruf), karenanya nilai-nilai kemanusiaanpun ikut terabaikan. Kacamata politik kita jernih, tapi mata kita yang terlalu (minus) melihat fakta politik yang tentu berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat.

KH. Mundzir Kholil adalah sosok yang diharapkan dalam kancah politik Pamekasan, figur pemersatu ulama’, pengendali umara’ dan pengawal moral khalayak. Beliau dianggap sebagai sosok yang menakutkan dan mengancam bahkan pembawa petaka bagi yang berseberangan secara politik.

Alhasil, ketika sosok berani model beliau hadir maka rangkuman ketakutan mereka yang menjadi rivalnya melahirkan konspirasi dan intrik tanpa ethic code. Bagaimanapun yang beliau hadapi ini bukanlah Political Exercise tapi Political An-Sich. Sebuah kenyataan yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai puncak kuasa meski dengan menyunat etika.

Konspirasi biasanya dilawan dengan konspirasi, tapi politik kyai selalu memakai nurani agar motivasi dakwahnya tidak tereduksi. Keadaan tersulit (limited condition) menabrak, peran fungsinya sebagai pemegang kendali kebijakan partai dikoyak. Sekali lagi, demokrasi politik kebablasan terjadi.

Politik dengan target memegang kekuasaan (bukan target mengelola atau mewarnai kekuasaan) dimainkan. Sampai akhirnya keadaan rumit ini beliau sadari tidak akan mudah ia perbaiki dengan segala kelemahannya, mundur dengan tertib dan dunia politik dan akibat dari semua itu kancah perpolitikan Pamekasan kehilangan sosok ideal yang layak menjadi teladan.

Flash back pada sejarah, tentang bagaimana tindakan tegas seorang raja yang mengagumkan. Ini tentang Alexander The Great, Pangeran Meccadonia itu di tengah perjalan menjumpai keramaian. Ternyata gurunya sedang membuat kompetisi. Barang siapa yang mampu mengurai benang basah dan kusut berhak mendapat apresiasi. Maka dengan sigap Alexander agung yang masih muda itu mencabut pedangnya dan menebas benang basah dan kusut itu, terurailah menjadi serpihan.

Gurunya terheran “Apa pesanmu dengan tindakanmu ini pangeran?” tanya sang guru. Ia menjawab “Urusan yang terlalu rumit tidak mungkin bisa dengan mudah diselesaikan, tebas dan tinggalkan. Masih banyak benang sutera yang menunggu untuk ditenun” tutur sang raja santun.

Karakter Madura dalam pribadi Alexander ini mengingatkan pada ketegasan KH. Mundzir Kholil dengan keputusannya mundur dari jabatannya sebagai ketua partai besar di Kabupaten Pamekasan. Tentu bukan karena takut tapi karena kalkulasi akurat. Bahwa terlalu berharga jika waktu banyak diwakafkan hanya untuk urusan yang terlalu rumit sedangkan manfaatnya (sekalipun berhasil) belum jelas mengahasilkan manfaat signifikan.

Dakwah tidak melulu soal politik, masih banyak yang perlu direkonstruksi oleh sentuhan tangan KH. Mundzir Kholil terlebih moralitas masyarakat yang terdegradasi zaman. Keputusan yang layak diapreasiasi dan disupport ini perlu pula keterlibatan semua kalangan dalam praktek perjuangan selanjutnya. Bahwa mundur bukanlah untuk diam, tapi terus bertarung di lain medan.

Akhirnya kita diantarkan pada satu kesimpulan atas keadaan ini. Betapa orang ideal (di jaman now) akan diasingkan, atau kalau tidak, ia akan mengasingkan diri. Dunia sudah ramai dari konspirasi tidak bermoral, maka uzlah sejenak sembari merevitalisir energi menjadi pilihan. Tentu, dalam uzlah terserbut seseorang sebenarnya sedang membangun dua kehidupan sekaligus, kehidupan dunia dan prospek kehidupan setelahnya. Maka semua itu jelas tidak mungkin dilalui tanpa perjuangan bersama dan untuk ummat.

*) Penulis merupakan sekretaris jendral (sekjen) FALYASBIR

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul