FaktualNews.co

Setahun Pemerintahan Trump, Apa Efeknya Bagi Indonesia?

Opini     Dibaca : 1172 kali Penulis:
Setahun Pemerintahan Trump, Apa Efeknya Bagi Indonesia?
DW.com
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump.

Bagi para imigran asal Indonesia yang bermukim di AS, administrasi Presiden Trump merupakan tantangan tersendiri. Apa lagi dampak pemerintah Trump bagi Indonesia? Berikut opini Uly Siregar.Setahun setelah dilantik, tepatnya 20 Januari 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump masih gemar mengagetkan dunia dengan pernyataan-pernyataan provokatif. Dari soal perang nuklir dan ancaman terbuka terhadap Korea Utara, hingga yang terakhir dalam rapat tertutup di Gedung Putih Presiden Trump mengeluh tentang imigran yang disebutnya datang dari negara-negara ‘shithole’ yakni negara-negara miskin dari benua Afrika. Meskipun belakangan pihak Gedung Putih menyangkal penggunaan kata spesifik tersebut, namun sulit bagi masyarakat AS dan dunia untuk percaya penyangkalan tersebut. Apalagi Trump memiliki tendensi gemar menghina dan gampang menggunakan kata-kata yang bernada merisak.

Komentar tak bermartabat bermuatan rasisme dari Trump ini ditanggapi dengan keras, baik dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri, maupun dari pelbagai negara di penjuru dunia. Afrika Selatan, contohnya, mengeluarkan protes diplomatik melalui kementerian luar negeri. Diplomat-diplomat Afrika Selatan di AS juga mengadakan pertemuan untuk mengungkapkan keprihatinan mereka. Pengusaha Kenya, Wangui Muraguri, seperti dikutip Associated Press menganggap pernyataan Trump sebagai definisi rasisme yang sesungguhnya. Haiti yang termasuk dalam daftar negara yang dihina secara langsung menyatakan pihak otoritas meminta administrasi Trump menjelaskan dalam pertemuan formal apa maksud dari pernyataan yang sangat merendahkan tersebut.

Pengaruhnya bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pernyataan bernada rasisme dari Trump juga memiliki implikasi tersendiri. Trump secara ekplisit menyatakan ketidaksukaannya terhadap imigran yang berasal dari negara-negara kurang makmur. Ia lebih menyukai imigran yang datang ke AS berasal negara-negara Eropa seperti Norwegia yang notabene masyarakatnya mayoritas ras kulit putih. Dengan asumsi ini, imigran asal Indonesia jelas bukan imigran yang ideal di mata Trump.

Padahal Trump sendiri memiliki kepentingan yang siginifikan di Indonesia. Menurut laporan ABC News, Trump dan pengusaha Harry Tanoesoedibjo atau lebih dikenal dengan sebutan Harry Tanoe menandatangani kesepakatan untuk mengembangkan Trump Internasional Hotel and Tower Lido. Konstruksi jalan tol menuju lokasi ini yang tadinya sempat mangkrak pada bulan Juni 2015, dilanjutkan kembali oleh pemerintah daerah. Dengan dibangunnya jalan tol tersebut, harga properti Trump pun meningkat, diperkirakan mencapai tiga kali lipat. Pertemuan bisnis antara Trump dan Harry Tanoe ini dikawal oleh wakil ketua DPR dan politisi Fadli Zon. Kongkalikong yang mengawinkan politisi dan pengusaha ini disebut-sebut sebagai tidak etis, apalagi pembangunan jalan tol menuju properti tersebut dibangun atas biaya pemerintah.

Selain di Lido, Trump dan Harry Tanoe juga menjalin kesepakatan bisnis di Bali. Mereka membangun resort yang disebut-sebut sebagai resort terbesar di Bali. Pemandangan yang ditawarkan pun spektakuler: Pura Tanah Lot. Kepada ABC News Harry Tanoe mengatakan, “Akan menjadi kompleks besar, lebih dari 100 hektar, akan dibangun hotel, vila, kondominium, dan country club—yang bekerja sama dengan Trump.”

Berbisnis di Indonesia
Bagi pendukung Trump yang konservatif, kesepakatan bisnis Trump di Indonesia sesungguhnya dianggap memiliki konflik kepentingan. Trump dikenal keras terhadap negara Muslim dan membuat kebijakan bermuatan rasisme dan Islamofobia yang menganaktirikan kaum Muslim. Contoh kebijakan yang keras dan diskriminatif adalah dikeluarkannya keputusan presiden (executive order) yang melarang masuknya warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Islam ke AS. Entah bagaimana Trump bisa bersikap sama kerasnya terhadap Indonesia yang merupakan negara dengan warga Muslim terbesar di dunia, sementara ia berinvestasi di Indonesia dengan perantara Fadli Zon yang dekat dengan kaum Islam garis keras di Indonesia. Hal yang sama pun dipertanyakan pada Fadli Zon, mengapa ia mau menjalin relasi khusus dengan Trump yang jelas-jelas sering menampakkan sikap memusuhi kaum Muslim. Dalam hal ini, kekuatan uang yang berbicara.

Dalam satu tahun kepemimpinan Trump, belum ada sikap Trump yang menunjukkan keberpihakan pada kaum Muslim—yang merupakan faktor penting bagi Indonesia dan rakyatnya yang mayoritas Muslim. Trump justru kedapatan menghina agama Islam. Pada bulan November 2017, di Twitter Trump me-retweet tiga video bermuatan hoax yang mendiskreditkan umat Islam. Pendukung-pendukung fanatik Trump dari generasi tua seperti Bill O’ Reilly hingga deretan kaum muda Konservatif seperti Tomi Lahren pun tak jemu-jemunya memojokkan Islam. Kebencian yang diumbar terus-menerus menjadi kebutuhan bagi Trump untuk memuaskan pendukungnya yang kebanyakan memang tergolong Islamofobia.

Tantangan imigran Indonesia
Bagi imigran asal Indonesia yang bermukim di AS, administrasi Presiden Trump merupakan tantangan tersendiri terutama di area keimigrasian. Sebagai bagian dari kaum minoritas kulit berwarna mereka gampang jadi sasaran perlakuan rasisme. Sikap Presiden yang tak ramah pada imigran kulit berwarna menjadi amunisi bagi kaum rasis untuk mengekpresikan kebencian mereka tanpa takut.

Di luar urusan keimigrasian dan kecenderungan tindak-tanduk Trump yang bernuansa rasisme, bagaimana pun AS dan Indonesia sama-sama memiliki kepentingan untuk tetap menjaga hubungan baik. Yang paling gampang melintas dalam ingatan adalah bercokolnya perusahaan tambang Freeport McMoran. Indonesia, khususnya Papua, merupakan faktor berpengaruh bagi kepentingan ekonomi AS. Tak hanya sekadar investasi ekonomi, ia juga mewarnai kepentingan politik di kedua negara. Kepentingan ekonomi pula yang membuat Trump tak bisa bertindak terlalu keras melarang warga Indonesia datang ke AS, seperti yang ia lakukan pada tujuh negara berpenduduk mayoritas Islam. Pada akhirnya kepentingan ekonomi hingga kini masih menjadi faktor penentu yang melampaui kepentingan ideologi, bahkan mengatasi antipati dan sentimen agama.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Dani Setyanto