Aksi penyisiran lokasi yang diduga pelacuran di Pamekasan, Madura dianggap bukan sekadar aksi melawan hukum, namun upaya ormas untuk unjuk gigi dalam “mencari panggung“ menjelang tahun politik.
Anak-anak dan perempuan di desa Poteh, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura masih merasakan trauma akibat aksi kekerasaan yang mereka alami, hari Jumat (19/01) lalu.
Semua berawal ketika Laskar Pembela Islam (LPI) menggeruduk pesta ulang tahun seorang anak. Mereka berasalan bahwa aksi penyisiran menyasar rumah yang dianggap tempat pelacuran.
Kelompok milisi yang berada di bawah naungan Front Pembela Islam (FPI) tersebut pun menyeret dua perempuan yang mereka duga sebagai pekerja seks komersial (PSK) serta menyerang pemilik rumah, Agus Aini, sampai pingsan.
“Saat kejadian, ada kegiatan ulang tahun anak di rumah. Tiba-tiba gerombolan orang berbaju putih datang dan menyeret perempuan yang datang ke rumah mengantar anak-anak mereka pada acara ulang tahun itu,” ungkap Agus Aini seperti dikutip dari Antara. “Anak-anak banyak ketakutan, menangis histeris, karena situasinya seperti sedang carok, apalagi pasukan LPI itu membawa pentungan.”
Sejumlah warga tak tinggal diam dan membela kaum ibu tersebut. Mereka lalu membalas dengan merusak mobil dan sepeda motor milik anggota LPI. Sedikitnya, lima warga desa Poteh dilaporkan terluka akibat insiden tersebut. LPI juga mengklaim bahwa beberapa anggotanya terluka parah hingga harus dirawat di rumah sakit.
Main hakim, melawan hukum
Polres Pamekasan, Jawa Timur telah memeriksa sejumlah pihak serta mengklaim telah mengantongi barang bukti. Kepada AFP, Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera menyebut langkah hukum segera dilakukan karena aksi di Pamekasan dianggap melawan aparat.
“Mereka pada dasarnya ‘mempermainkan‘ polisi dengan cara melawan aturan,” tutur Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera.
Sebelumnya, Panglima LPI Madura, Abd Aziz Muhammad Syahid, seperti dikutip dari Antara, mengatakan bahwa aksi penyisiran dilakukan sebagai upaya mengamalkan ajaran Islam serta mendukung visi kabupaten Pamekasan untuk membangun masyarakat Islami.
Panglima Laskar yang juga pengasuh pondok pesantren di Pamekasan lebih lanjut menjelaskan, sebelum melakukan penyisiran, pihaknya telah meminta pemkab dan aparat penegak hukum melakukan penertiban namun permintaan mereka tidak diindahkan.
Sikap main hakim sendiri tersebut, menurut SETARA Insitute harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan memberikan tindakan hukum secara organisisasional, terlebih ormas tersebut “secara berpola melakukan tindak kekerasan dan tindakan melawan hukum,” yang dianggap sarat kepentingan.
“Kelompok-kelompok laskar ‘vigilante’ lainnya selalu memanfaatkan masyarakat sebagai objek untuk menunjukkan eksistensi dan daya tawar diri mereka, terutama dalam perhelatan politik yang mulai menghangat di Jawa Timur,” tulis rilis lembaga yang diketuai Hendardi tersebut.
Aksi atas nama agama
Pekan lalu, SETARA Insitute meliris hasil riset terkait pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2017. Ditemukan bahwa tahun lalu ada sekitar 155 peristiwa dengan 201 tindakan pelanggaran. 126 aksi pelanggaran terungkap dimotori oleh individu atau ormas di antaranya: Aliansi Ormas Islam, MUI, dan FPI.
Aksi tersebut tersebar di 26 provinsi di Indonesia, dengan jumlah pelanggaran tertinggi ditemukan di Jawa Barat dan Jakarta. Selain ormas, pemerintah daerah turut menjadi aktor yang terlibat dalam tindakan pelanggaran kebebasaan beragama dan berkeyakinan.
Itulah sebabnya, ketika aksi penyisiran di Pamekasan terjadi, SETARA kembali menghembuskan dugaan bahwa ada kepentingan menjelang tahun politik dan mengimbau agar partai politik lebih memilih mempromosikan toleransi daripada menggunakan “jasa ormas”.
“SETARA Institute mendesak para politisi yang sedang berkompetisi dalam perhelatan Pilkada untuk tidak memanfaatkan kelompok yang bertindak sebagai “polisi moral” yang seringkali mengatasnamakan dan mengklaim sebagai representasi aspirasi mayoritas demi kepentingan menghimpun suara pemilih.”