Penangkapan sejumlah waria di Lhoksukon dan Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, yang disertai pencukuran paksa pada akhir pekan lalu, bangkitkan kegeraman aktivis HAM.
Pihak kepolisian dan wilayatul hisbah (polisi syariat) mengamankan 12 orang waria dari sejumlah salon di Kabupaten Aceh Utara, dalam operasi penyakit masyarakat, akhir pekan lalu.
Dilansir dari Okezone dilaporkan, Kapolres Kabupaten Aceh Utara AKBP Ahmad Untung Surianata menyatakan, mereka merupakan pekerja dan pengunjung salon yang tersebar di Kecamatan Lhoksukon dan Pantonlabu. Setelah tiba di Mapolres, rambutnya dicukur dan mereka juga diberi pakaian pria.
Dikutip dari Kumparan, mereka juga diminta untuk berteriak mengucapkan Pancasila dengan suara keras laki-laki.
Perlakuan pihak kepolisian dan polisi syariat itu bangkitkan kemarahan para aktivis Hak Asasi Manusia dan pegiat hak LGBT. Pemimpin Suara Kita, Hartoyo menulis di akun Twitternya:
Sementara itu, pemimpin Jurnal Perempuan Atnike Sigiro mengungkapkan, apa yang telah dilakukan oleh Kepolisian Aceh Utara dan wilayatul hisbah telah melanggar Konvensi Anti penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia tahun 1998.
“Tindakan mencukur dan mengganti baju sejumlah transgender di sini bukan semata-mata kekerasan fisik tetapi juga upaya paksa untuk mengubah identitas gender para korban. Tindakan yang dilakukan oleh aparat tersebut memperlihatkan lemahnya pemahanan aparat penegak hukum terhadap realitas sosial yang ada di dalam masyarakat.”
Hukum Harus Menghargai HAM
Ditambahkan Atnike, perdebatan mengenai keberadaan transgender maupun keberagaman orientasi seksual terjadi di berbagai negara di dunia.
Negara yang beradab harus mengecam berbagai tindakan kekerasan dalam menghadapi perbedaan sikap terhadap keberagaman orientasi seksual dan identitas gender.
“Sudah semestinya, KomnasHAM, Kapolri, pemerintah Aceh dan pemerintah pusat bertindak dan memulihkan para korban dan memikirkan secara serius bagaimana caranya menciptakan budaya hukum yang menghargai HAM, pertama-tama justru di dalam tubuh aparat penegak hukum sendiri.”
Nadya Karima Melati yang merupakan Koordinator Support Group and Resource Center on Sexuality Studies SGRC mengatakan: “Apa yang dilakukan oleh polisi dan pemerintah Aceh Utara melanggar UUD 1945 itu sendiri mulai dari hak warganegara berekspresi, mempermalukan dan merendahkan kehormatan waria dan merampas hak ekonomi dalam berusaha.” Para waria itu mencari nafkah di salonnya sendiri.
Rentan Dimanfaatkan Politikus
Nadya Karima Melati khawatir, apa yang terjadi di Aceh rentan ditiru di beberapa wilayah Indonesia lainnya, seiring dengan berjalannya Pilkada dan pemilu.
“Tekanan terhadap LGBT (lesbian, gay biseksual dan transgender) khususnya waria akan lebih sering karena isu LGBT dipolitisir seiring dengan Pilkada dan pemilu tahun depan. Jualan moral adalah hal yang mudah demi mendulang suara mayoritas daripada mengedukasi mayoritas untuk menghargai sesama manusia,” tandasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan : “Waria adalah kelompok LGBT yang paling rentan. Isu agama dan moralitas akan digunakan untuk mereka, menjadi semacam musuh bersama dengan alasan agama-nasional tanpa mau melirik pada tafsir agama atau sejarah bangsa kita sendiri.”
Dikutip dari Serambinews, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRA, Asrizal H Asnawi justru mengapreasiasi tindakan Polres Aceh Utara di Lhoksukon dan Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, pada Sabtu (27/01) malam itu: Terima kasih Pak Kapolres Aceh Utara yang telah melakukan razia terhadap waria di Aceh Utara.”
Ia pun menyarankan, agar para waria tersebut direhabilitasi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah atau Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) Mata Ie Banda Aceh.