PADA saat Bupati NSW, ketangkap KPK dan selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka ada beberapa simulasi terkait kontestasi Pilkada di Jombang. Analisis yang paling lumrah dan diikuti pandangan mayoritas akan mengatakan “habis sudah semua infrastruktur yg sudah dibangun oleh NSW dalam rangka memenangkan kontestasi elektoral tersebut. Mulai jaringan ditingkat kabupaten, kecamatan, desa dan bahkan ditingkat RT.
Tapi ada yg masih sangat optimis bahwa pasangan NSW-Sub akan tetap menang. Hitung-hitungan itu sah-sah saja, apalagi kalau tujuannya membius internal organisasi. Optimisme itu lebih dominan datangnya dari pihak PKB, karena jika benar partai koalisi masih all out PKB-lah yang paling diuntungkan. Tapi apakah sebodoh itu partai koalisi terutama Golkar. Tentu kami tidak tahu betul hitung-hitungannya.
Yang jelas jika benar pasangan NSW-Sub menang yang paling diuntungkan adalah Subaidi dan PKB. Karena status tersangka terhadap NSW dikarenakan tertangkap tangan hampir pasti tidak akan dapat lepas dari jeratan hukum, justru yang paling mungkin adalah melebar ke kasus-kasus lain.
Perihal ini tentu sudah dihitung oleh PKB. Jika menang maka NSW pasti akan diberhentikan dan Subaidi akan naik menjadi Bupati. Sesuai dengan Undang-undang maka wakilnya akan dipilih oleh DPRD dengan cara partai koalisi mengajukan dua calon.
Persoalan ini juga bukan persoalan mudah karena apa yang diucapkan sekarang dengan nanti juga sudah menjadi fakta akan berbeda. Apalagi dalam sejarah perpolitikan belum ada partai yang tidak pernah berkhianat, baik pada kadernya sendiri, bangunan koalisi maupun kepada masyarakat atas janji-janjinya.
Maka itu, saya merasa geli beberapa bulan lalu partai-partai membuat MoU tentang bangunan koalisi. Wong koalisi di parpol kok di MoU-kan. Syarat MoU atau perjanjian adalah niat baik. Pertanyaannya apa iya ada niat baik dalam MoU yang dibangun beberapa bulan yang lalu?
Bukankah saling mengintip dan saling menelikung kalau tidak boleh dikatakan mengkhianati. Persoalan siapa yang mengkhianati dan siapa yang di khianati itu persoalan lain. Tapi fakta kan sudah berbicara bahwa MoU tidak dapat dijalankan dengan baik. Lantas apa sanksinya….? Kalau tidak ada sanksi bagi yang wanprestasi ngapain dibuat perjanjian? Geli kan?.
Pecahnya koalisi
Kembali berbicara peluang NSW-Sub. Pasangan ini memang masih punya peluang untuk menang meskipun sangat kecil. Pertama soliditas partai koalisi. Partai koalisi tentu tahu betul jika mereka all out yang paling dintungkan adalah PKB. Kalau sekarang PKB sedang mati-matian meyakinkan partai koalisi tentang bagi-bagi kue kekuasaan tatakala pasangan yang diusungnya menang.
Itu wajar dan sekali lagi sangat wajar karena maju kena mundur kena, membubarkan koalisi sesuatu yg tidak mungkin bahkan partai pendukung pun oleh Undang-undang tidak diperkenankan menarik dukungan. Kalau masih all out juga takut dicerca masyarakat karena membela tersangka. Memang tidak ada pilihan lain bagi partai koalisi kecuali maju terus, terutama PKB.
Ini adalah dilema terbesar PKB yang tidak mudah untuk dipecahkan, apalagi pasangan NSW ini sepanjang yang saya kenal adalah orang yang punya optimisme sangat tinggi, meskipun kadang-kadang tidak terukur. Terucapnya ungkapan di media bahwa kasus yang menimpa NSW adalah peran lawan politik adalah merupakan bentuk kepanikan-kepanikan yang ada dalam diri pasangan NSW ini.
Pecahnya koalisi pasangan ini tentu tidak bisa dihindarkan meskipun secara formil tidak mungkin mencabut dukungan. Jika secara formil tidak mungkin maka cara yang paling ideal bagi partai koalisi (minus PKB) adalah mengambil peran mencabut dukungan secara materiil dengan cara mengarahkan dukungan ke calon lain secara tidak formal.
Langkah ini harus dilakukan jika tidak ingin kehilangan kue kekuasaan dan program-program startegis partainya. Kalau toh PKB saat ini berusaha mati-matian untuk mensolidkan partai koalisi itu wajar, dan menjadi tidak wajar jika partai koalisi lainnya manggut-manggut sebagai tanda setuju akan janji-janji PKB “nanti begini begitu dan sebagainya”. Tapi manggut-manggutnya partai koalisi tersebut apa memang benar-benar manggut-manggut karena setuju atau hanya sekedar menghormati dan menertawakannya _wallohu a’lam.
Tentu PKB harus mati-matian menghadapi persoalan ini dengan keterbatasan yang dimiliki, saat ini. PKB menajdi partai yang paling pusing di Jombang, karena tidak punya pilihan lain kecuali harus maju terus demi harga diri, meskipun diinternalnya sendiri sudah keropos apalagi di masyarakat terutama jika masih tetap ngotot bahwa “pasangan ini yg terbaik dan harus dipilih” dan jargon-jargon kampanye lainnya.
Sekarang kita bicara Potensi untuk menang
Diawal sudah saya katakan potensi menang memang ada tapi tidak sebesar sebelumnya (sebagai penghalus kata peluang yang kecil). Karena peluang yang tidak besar itulah maka partai-partai koalisi akan berfikir realistis, dengan diam-diam mengalihkan dukungan non formal kepada pasangan calon lain.
Karena mereka selain butuh kue kekuasaan juga butuh image di masyarakat. Mereka juga harus berfikir pekerjaan lain setelah pilkada ini yaitu Pileg (pemilihan legislatif). Jika mereka ngawur dan membabi buta dalam menentukan dukungan pada pilkada ini maka akan sangat berpengaruh dengan dukungan masyarakat tatkala Pileg nanti. Dengan demikian potensi pecah koalisi sangat tinggi meskipun hanya secara nonformal.
Begitu juga dengan PKB sebaiknya juga realistis melihat situasi ini karena mereka juga harus berfikir Pileg. Jika tidak realistis maka masyarakat juga akan menilai bahwa PKB hanya mementingkan ego tanpa melihat realitas di masyarakat.
Selamat berfikir dan selamat menentukan arah kebijakan koalisi non formal. Demi bangunan demokrasi dan tatakelola pemerintahan di Jombang lima tahun kedepan. Wallohu a’ lam bi as showaf ASR.