FaktualNews.co – Anglea Merkel akhirnya bisa bernafas lega. Setelah berunding selama 24 jam, sang kanselir meninggalkan ruang negosiasi dengan mengantongi kontrak koalisi dan mandat pembentukan pemerintahan baru. Namun keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh partainya, CDU.
Karena selama perundingan Merkel harus menyerahkan sejumlah pos kementerian terpenting kepada rekan koalisinya, yakni Kementerian Keuangan kepada Partai Sosial Demokrat dan Kementerian Dalam Negeri kepada Partai Uni Kristen Sosial. Sebaliknya CDU harus berpuas diri dengan ‘jatah sisa’ berupa Kementerian Kesehatan, Pendidikan, Pertahanan dan Pertanian.
Akibatnya suara-suara tak puas mulai bermunculan dari dalam tubuh partai. “Saya berani bertaruh SPD sendiri tidak akan percaya mereka bakal mendapat Kementerian Keuangan ketika negosiasinya baru dimulai,” kata eks petinggi CDU, Wolfgang Bosbach.
“CDU harusnya mempertahankan pos kementerian yang mereka kuasai.”
Media-media Jerman sibuk berspekulasi bahwa sang kanselir sedang menjalani tahun-tahun terakhir di pucuk kekuasaan. Julian Reichelt, editor harian Bild misalnya menulis “Ini adalah pemerintahan SPD pertama yang dipimpin oleh seorang kanselir dari CDU.” Sementara anggota parlemen CDU Olav Gutting mengatakan, “kita setidaknya masih menguasai Kantor Kekanseliran,” tulisnya dengan nada ironi.
Namun begitu keberhasilan perundingan koalisi di Jerman ditanggapi hangat di Eropa. Perjanjian koalisi di Berlin “murni menggunakan pendekatan pro-Eropa dan jawaban terhadap populisme,” tulis Manfred Weber, Ketua Umum Partai Rakyat Eropa (EPP).
Sementara bekas ekonom senior Bank Sentral Eropa (ECB), Otmar Issing menulis perjanjian koalisi Jerman “mengakhiri gagasan ke-eropaan yang berbasis pada stabilitas” ala bekas Menteri Keuangan Wolfgang Schäuble yang dikenal lewat rejim keuangan yang ketat.
Di tangan SPD, Kementerian Keuangan Jerman siap meningkatkan anggaran dan pengeluaran untuk Uni Eropa. Arah kebijakan itu pula yang disambut Direktur Dana Moneter Internasional Christine Lagarde. “Jerman mampu berinvestasi atau berbelanja lebih banyak,” ujarnya kepada media.
Pertaruhan Merkel berbasis pada keyakinannya tentang Jerman dan Eropa yang lebih membutuhkan pemerintahan yang stabil di Berlin. Namun anggapan tersebut dibantah oleh pengamat politik Henrik Enderlein dari Hertie School of Governance. “Era Merkel selalu dikaitkan dengan Jerman yang kuat dan stabil- Tapi era itu akan berakhir dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya,” ujarnya kepada New York Times.