Warganet ‘Kuliahi’ Fahri Hamzah
SURABAYA, FaktualNews.co – Petinggi DPR, Fahri Hamzah, kerap memberikan kritik pada Presiden Jokowi. Kali ini, Fahri Hamzah mengkritik Presiden Jokowi karena adanya narkoba yang memasuki Indonesia.
Di akun Twitter-nya, Fahri Hamzah berkilah bahwa Presiden selalu disalahkan karena dipilih oleh rakyat.
Alasan yang dibuat Fahri Hamzah ternyata menggelitik kalangan warganet, alasan utamanya adalah karena Fahri Hamzah selaku wakil rakyat juga dipilih oleh rakyat, tapi nyatanya DPR yang ia pimpin malah mendukung UU MD3 yang berpotensi memidanakan rakyat yang melakukan kritik terhadap DPR.
Warganet pun menguliahi Fahri Hamzah tentang konsep pembagian kekuasaan seperti Trias Politica serta konsep divided government.
Pakar politik Yunarto Wijaya mengoreksi Fahri Hamzah dengan mengingatkan bahwa legislatif juga dipilih rakyat.
Meski sudah dijelaskan oleh Yunarto bahwa eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih rakyat, Fahri Hamzah lanjut berkilah bahwa tugas legislatif memang mengawasi eksekutif.
Ada juga yang memunculkan sebuah karikatur yang memberikan gambaran tentang UU MD3 dan sikap DPR yang menolak dikritik tapi masih ingin dipilih.
Warganet lain meminta agar Fahri Hamzah lebih lugas, karena yang dipilih rakyat bukan hanya presiden saja, juga meminta DPR untuk introspeksi karena DPR sendiri meloloskan UU MD3.
Ada yg bilang kenapa selalu nyalahin presiden? Jawab: karena yg dipilih rakyat adalah presiden…nama sistemnya: presidensial … https://t.co/K8vPc8k8qY
— #AyoMoveOn2024 (@Fahrihamzah) February 25, 2018
Rakyat Resah Akibat UU MD3
Sikap Fahri Hamzah yang terus memberikan kritik pada Presiden Jokowi agak terkesan ironis, sebab DPR tempat ia menjabat meloloskan UU MD3 yang berpotensi memidanakan orang-orang menyerang martabat DPR.
Hal itu ditaksir dapat membungkam rakyat yang ingin melakukan kritik pada DPR, padahal DPR juga dipilih oleh rakyat.
Mereka yang dianggap menghina diancam pidana, semua warga negara wajib datang jika dipanggil, pemeriksaan anggota dewan harus dengan persetujuan presiden, para anggota DPR RI dianggap sedang memperkuat posisi diri mereka sendiri.
Upaya tersebut dilakukan lewat revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD atau sering disebut UU MD3.
“Revisi itu membuat DPR terkesan sebagai lembaga superpower,” kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dikutip dari Liputan6.com, Rabu (28/2/2018).
Salah satu yang jadi sorotan adalah ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap menghina dewan. Aturan itu tertuang dalam Pasal 122 huruf k yang berbunyi, “MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Banyak yang melayangkan keberatan. Pasal itu dianggap membungkam kritik rakyat yang sejatinya memilih para anggota dewan. Bahkan, tak sedikit yang menganggap, aturan itu berpotensi jadi pasal karet.
UU MD3 terlanjur sah oleh tiga ketukan palu Ketua DPR Bambang Soesatyo, Senin 12 Februari 2018. Meski demikian, masih ada celah untuk menganulirnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, pihaknya akan segera mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pasti (gugat ke MK) kalau memang itu yang diinginkan DPR, pasti masyarakat sipil akan menggugat,” ucap Zainal.
Menurut dia, hak imunitas anggota DPR bertentangan dengan konstitusi, terutama pada Pasal 122 huruf k yang mengarah ke dugaan bahwa DPR antikritik.
Padahal menurutnya, masyarakat boleh mengajukan kritik kepada DPR sebagaimana kritik kepada pemerintah.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku hingga kini belum menandatangani berkas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Ia beralasan, UU MD3 masih perlu dikaji kembali.
“Sampai saat ini memang sudah di meja saya dan belum saya tanda tangani. Karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu ditandatangani atau tidak,” kata Jokowi di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Jokowi mengaku tak mau berpolemik dengan UU MD3 ini. Ia khawatir apabila nanti ditandatangani, justru malah dianggap mendukung pengesahan undang-undang tersebut. Meski tidak ditandatangani, sambung dia, UU M3 tetap berlaku sejak disahkan oleh DPR.
“Ya itu risiko-risiko yang sudah ada di undang-undang. Jadi memang saya tanda tangan atau tidak kan sebenarnya sama saja. Jadi saya tanda tangani, nanti masyarakat menyampaikan, wah ini mendukung penuh. Enggak saya tanda tangani juga itu berjalan. Jadi masih dalam kajian,” terang Jokowi.