JOMBANG, FaktualNews.co – Penerapan Sistem Satu Arah (SSA) di Jalan RE Marthadinata Desa Kepatihan, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menuai kontroversi dari sejumlah kalangan masyarakat dan pemerintah desa setempat.
Mereka menilai, pemberlakukan SSA di jalan tersebut, ditengara merupakan ‘titipan’ segelintir pihak. Sebab, sistem tersebut sangat merugikan warga dan hanya menguntungkan sekelompok orang saja.
Hal itu diperkuat dengan pantauan yang dilakukan redaksi FaktualNews.co di lapangan. Pasca pemberlakukan SSA, Jalan RE Marthadinata memang nampak lengang. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yang biasa padat dan ruwet.
Di bagian kiri jalan (mengarah ke utara red), nampak sejumlah kendaraan yang parkir dan bongkar muat barang dari beberapa pertokoan yang ada disepanjang jalan itu
Ironisnya, tepat di depan mobil-mobil yang parkir disepanjang jalan itu, nampak rambu lalu lintas larangan parkir berdiri kokoh. Sepertinya, petugas Dinas Perhubungan (Dishub) tak bernyali untuk menertibkan atau menderek mobil yang parkir di lokasi itu.
Petugas Dishub terlihat sibuk berdiri di bagian utara tepatnya di simpang tiga melakukan pengamanan jalur. Tanpa mengambil sikap tegas terhadap kendaraan yang parkir sembarangan.
Padahal, dengan penerapan SSA di Jalan Marthadinata ini, warga setempat yang dirugikan. Utamanya warga yang tinggal Gang 3, 4 dan 5 Desa Kepatihan.
Tak hanya itu, warga harus berputar cukup jauh hanya untuk mencapai kantor Balai Desa dan menemui keluarga di Jalan Urip Sumoharjo. Padahal sebenarnya jaraknya cukup dekat.
Empat hari sejak percobaan penerapan SSA dilakukan, warga Kepatihan yang berada di gang 3-5 harus menyiapkan waktu dan BBM lebih untuk berputar ke Desa Pulo Lor lalu kemakam pahlawan baru ke Jalan Urip Sumoharjo.
Alternatif lain yaitu berputar ke utara setelah sampai depan Maha Vihara belok ke timur lurus lalu ke kanan tembus Rumah Sakit Muslimat. Kesulitan ini dialami terutama oleh warga yang memiliki kendaraan roda empat lebih. Karena roda dua bisa menerobos jalan tikus yang ada diantara toko-toko.
“Sangat dirugikan, terutama warga gang 5 RT 1 RW 9. Kita mau ke balaidesa, isi ulang air harus berputar ke Desa Pulo atau Pasar Legi dulu. Padahal lokasinya cuma ratusan meter saja. Dari sini-sana sekitar 5 menit jalan kaki tidak sampai,” kata warga sekitar, Karim (40), Kamis (15/3/2018).
Dampak sosial lainnya yaitu banyak warga yang malas keluar rumah atau sekedar jalan-jalan sore yang biasa dilakukan bersama keluarga. Hal ini disebabkan arus lalu lintas yang hanya boleh dilewati satu arah saja. Sedangkan arah selatan ditutup total untuk kendaraan roda empat maupun roda dua.
Selain itu, siswa-siswi dan mahasiswa yang berasal dari Desa Sambongdukuh, Tambakrejo dan Kecamatan Tembelang yang kebetulan menempuh pendidikan di Stikes Pemkab, Stkip PGRI, MAN 1 Jombang, SMK 2, SMA 3 harus berputar lewat Jalan Kapten Tendean atau Jalan Wahid Hasyim terlebih dahulu.
“Sayangnya tidak ada sosialisasi, tiba-tiba diterapkan kayak gini. Kalau tanya rugi sangat rugi ya, terutama itu ya jamaah ngaji rutinan, pengunjung hotel, siswa-siswi dan ibu-ibu rumah tangga. Jadi malas keluar kemana-mana,” tambahnya.
Tak hanya itu, dampak ratusan kendaraan roda dua yang nekat menerobos mencari jalur tikus, membuat kekhawatiran sendiri bagi masyarakat. Suara bising dan polusi di gang-gang kecil cukup mengganggu saat malam.
Anak-anak kecil tak lagi bebas bermain ditepian rumah karena banyak kendaraan roda dua lalu-lalang. Sehingga membahayakan bagi keselamatan mereka.
“Jalan besar sepi, yang ramai jalur tikus di pemukiman warga. Bising aslinya, tapi mau gimana lagi,” tandas Karim