Opini

Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme

Tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan tanggapan atas sejumlah pernyataan tentang konsep RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme dalam makalah Prof. Dr. Euis Sunarti berjudul “Urgensi Pengaturan Kekerasan Seksual, Akar Masalah, dan Alternatif Solusinya” yang diselenggarakan dalam rangka membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan oleh Komisi VIII.

Dalam kaitan tentang usulan Prof. Dr. Euis tersebut yang mewakili komunitas bernama AILA, Komnas Perempuan memberikan apresiasi dan melihat makalah tersebut sebagai bagian dari usulan masyarakat yang menginginkan perbaikan atas persoalan kekerasan seksual di Indonesia. Namun Komnas Perempuan perlu menuliskan tanggapan dan penjelasan khusus dengan tujuan agar unsur-unsur yang dirancang Komnas Perempuan dan masyarakat sipil dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat dipahami dan dimengerti secara menyeluruh dan mendalam, dan terhindar dari miskonsepsi.

Sebelumnya Komnas Perempuan perlu menjelaskan siapa dan apa tugas lembaga ini.
Komisi Nasional Anti Kekerasanterhadap Perempuan atau Komnas Perempuan lahir sejak tahun 1998 karena adanya perkosaan massal dalam kerusuhan di bulan Mei, serta adanya perhatian lain tentang situasi konflik di Indonesia dimana perempuan menjadi korban kekerasan seksual akibat situasi konflik tersebut. Komnas Perempuan adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan tuntutan Masyarakat Perempuan Anti Kekerasan terhadap negara yang diresmikan pada tahun 1998 oleh Presiden Habibie  dan  kembali dikukuhkan oleh Presiden SBY pada tahun 2005 (Lihat Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005).

Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan (lihat https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-komnas-perempuan). Komnas Perempuan dimandatkan untuk melakukan pemantauan, pencegahan, pendidikan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Komnas Perempuan memiliki mekanisme pemantauan sejumlah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia, melakukan pendokumentasian laporan dan pengaduan korban, serta memfasilitasi pengembangan lembaga-lembaga pendamping dan pemulihan korban maupun pemerintah. Komnas Perempuan lahir berdasarkan konstitusi, Konvensi CEDAW, dan UU Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi CEDAW adalah konvensi internasional yang dihadiri oleh berbagai negara di seluruh dunia (tidak hanya negara-negara barat) yang berlaku secara universal bagi perjuangan atas nasib seluruh perempuan di seluruh dunia.

Indonesia adalah salah satu negara yang menunjukkan perhatian terhadap nasib perempuan Indonesia dan wajib mematuhinya, dengan meratifikasi konvensi tersebut ke dalam UU (Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

Oleh karena itu Komnas Perempuan bekerja bukan hanya dalam wilayah akademik atau konsep-konsep sosial masyarakat, tetapi juga pengembangan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan melalui fakta lapangan, laporan, dan pengaduan korban, bekerjasama dengan lembaga pendamping korban yang berbasis masyarakat sipil atau pemerintah, dan melakukan analisis kekerasan berbasis gender (konvensi CEDAW) dan instrumen hak asasi manusia berbasis gender.

Kerja-kerja Komnas Perempuan dalam pemantauan telah mendokumentasi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia dan dilaporkan setiap tahunnya kepada negara maupun masyarakat dalam bentuk Laporan Tahunan dan Konsultasi Publik, serta Catatan Tahunan Komnas Perempuan.Berbagai laporan tersebut merupakan catatan yang didasarkan pada analisis fakta lapangan, laporan, dan pengaduan korban, dan trend kekerasan terhadap perempuan di masyarakat.

Berikut adalah tanggapan Komnas Perempuan:
Pernyataan:

Semangat yang diusung dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual, padahal salah satu asas pengaturannya adalah nondiskriminasi. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengutamakan perempuan dan mengabaikan laki-laki, dan pendampingan korban diutamakan oleh perempuan, adalah tidak gender equality dan menganggap laki-laki sebagai pelaku.

Tanggapan:

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual senafas dengan semangat negara dalam menerapkan pengarusutamaan gender  sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden RI Nomor 09 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menjadi salah satu kebijakan yang sangat penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan tersebut. Selain itu, diatur juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008, mengenai tahapan, tata cara penyusunan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan. Strategi PUG, merupakan suatu cara mengintegrasikan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi laki-laki dan perempuan dalam siklus tahapan pembangunan yang dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, serta evaluasinya.

Instruksi Presiden RI Nomor 09 Tahun 2000 dan berbagai dasar hukum lainnya, seperti Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan PUG di Daerah, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan menjadi urusan wajib sampai ke daerah-daerah. Adanya pengarusutamaan gender dimaksudkan untuk memudahkan negara melakukan analisis gender termasuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah wilayah khusus yang dampaknya hanya dialami perempuan, karena kondisi kodratnya yang sering tidak terwakili dan tidak tersuarakan, terutama dalam hal seksualitas, reproduksi biologis, sosial, dan budaya.

Dalam kaitan kebijakan PUG tersebut persoalan kekerasan seksual yang dialami perempuan menjadi alarm bagi negara untuk segera melakukan penghapusan kekerasan seksual, dan hal ini disuarakan oleh Komnas Perempuan. Dalam hal kekerasan seksual, UU yang berlaku belum menjawab persoalan dan hambatan akses keadilan yang dialami oleh perempuan, seperti yang ditemukan dan dilaporkan oleh Komnas Perempuan.Merujuk pada prinsip nondiskriminasi tersebut, perempuan adalah warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan atas kehidupannya di masyarakat yang lebih rentan mengalami kekerasan.

Temuan Komnas Perempuan menunjukkan satu dari 3 perempuan mengalami kekerasan seksual, dan pelakunya rata-rata adalah laki-laki baik dari unsur keluarga dan orang terdekat maupun umum. Siapapun dapat menjadi pelaku atau korban, tidak membedakan status sosial ekonomi, kekuasaan, atau pendidikan. Korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual biasanya tidak berani untuk mengadu, melaporkan, ataupun membela diri, karena takut mengalami stigma dan prasangka yang buruk terhadap dirinya, dan karena itu perempuan mengalami berulang kali kekerasan (reproduksi kekerasan) dari berbagai aspek kehidupan. Tidak sedikit dari korban yang lalu memutuskan untuk bunuh diri, atau dibunuh (lihat temuan Komnas Perempuan tentang femisida(https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-alarm-bagi-negara-dan-kita-semua-hentikan-femicide-pembunuhan-terhadap-perempuan-jakarta-13-november-2017). Kekerasan terhadap perempuan bahkan tidak melihat kelas sosial, suku, usia,  ataupendidikan perempuan, semua berisiko menjadi korban.

Berikut adalah fakta-fakta yang dialami korban kekerasan seksual, terutama dalam kasus perkosaan:
Ada empat faktor bagaimana perempuan korban perkosaan terhambat dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu a) faktor personal, b) sosial budaya, c) hukum dan d) politik. Keempatnya saling terkait menentukan tingkat kepercayaan korban untuk mengadu atau melaporkan kasusnya, mendapat keadilan, dan memulihkan dirinya.

Faktor Personal
Perempuan korban perkosaan akan mengalami beberapa hal dalam dirinya yaitu a) kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, b) kehilangan kemampuan bahasa, c) gangguan kejiwaan, d) rasa takut yang luar biasa, e) keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kelima hal tersebut membuat korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.

Faktor Sosial-Budaya
Masyarakat yang menempatkan seksualitas sebagai yang tabu dan aib, dan cenderung menyalahkan korban, bahkan meragukan kesaksian korban, dianggap sial dan karma, membuat korban menjadi semakin bungkam. Tidak sedikit korban dikucilkan, bahkan diusir dari lingkungannya, atau dikawinkan paksa dengan pelakunya.

Faktor Hukum
Terdapat 3 aspek dalam faktor hukum yaitu a)substansi, b)struktur dan c)budaya hukum.Dalam aspek substansi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, bahkan belum ada pengakuan secara utuh tentang tindak kekerasan seksual.Hukum Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi. Dalam aspek struktur, lembaga penegak hukum memang memulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Namun sayangnya belum tersedia di seluruh wilayah dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Selain itu para penegak hukum masih mengadopsi cara pandang masyarakat bahwa perkosaan adalah soal serangan terhadap moral (asusila) yang akhirnya justru meragukan dan menyalahkan korban seperti pertanyaan tentang “memakai baju apa”, “sedang berada dimana”, “dengan siapa dan jam berapa” yang dilontarkan oleh  aparatur penegak hukum ketika menerima laporan tentang kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak memiliki rasa empati pada korban atau cara pandang sebagai korban, melainkan lebih buruk dari itu justru menghakimi korban dan menjadikan korban mengalami kekerasan yang berkali-kali (reviktimisasi). Selain itu tidak ada perlindungan saksi dan korban sehingga korban seringkali khawatir pelaku akan balas dendam. Perempuan korban kehilangan kepercayaan pada proses hukum yang adil, bisa dipercaya, dan melindunginya.

Faktor Politik
Dalam konteks situasi konflik yang pernah terjadi di Indonesia, kasus kekerasan seksual termasuk perkosaan diantaranya juga terjadi. Di sini penyelenggara negara sangat ditentukan oleh itikad baik politik mereka terutama apabila melibatkan aparatur negara sebagai pelaku seperti yang terjadi pada Mei 1998, konflik di Aceh, Jugun Ianfu, tragedi 1965, Timor Leste dsb. Dalam setiap konflik politik di wilayah, perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan seksual dan seringkali tidak terungkap dan tidak dianggap serius.

Hal ini bukan menunjukkan temuan Komnas Perempuan bertujuan untuk menyalahkan laki-laki, melainkan menunjukkan bahwa kerentanan perempuan haruslah diperhatikan, dikedepankan, tidak lagi diabaikan, dan memberi himbauan kepada negara dan masyarakat termasuk laki-laki (ayah, paman, saudara, rekan kerja, pejabat publik, seluruh profesi yang biasanya dipegang laki-laki) untuk bersama-sama melakukan perlindungan, pencegahan, dan untuk tidak menjadi pelaku.

Pernyataan :

Soal “persetujuan” dalam definisi kekerasan seksual berarti kebebasan kehendak, persetujuan seksual.

Tanggapan :

Dalam hal definisi kekerasan seksual dalam RUUPenghapusan Kekerasan Seksualsoal “ada atau tidaknya persetujuan” (concent) yang sebetulnya berbeda dengan konteks berdasarkan “suka sama suka”. Justru Komnas Perempuan masih melihat hal yang dianggap “suka sama suka” adalah pengabaian terhadap perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan. Situasi yang dianggap “suka sama suka” dapat disebabkan perempuan tidak bisa menolak, tidak bisa berkata tidak, atau karena mengalami ketakutan dan ancaman. Ada tidak adanya persetujuan yang dimaksud adalah dalam arti sesuatu “yang tidak diinginkan”, atau “tidak dikehendaki” dalam konteks kekerasan yaitu : “adanya tindakansewenang-wenang memperlakukan tubuh orang lain yang tidak diinginkan oleh orang yang memiliki tubuh tersebut, tindakan yang ingin menguasai tubuh orang lain, atau berlaku seenaknya terhadap tubuh orang lain, dan menganggap tubuh orang lain sebagai obyek, yang dalam hal ini banyak terjadi pada perempuan.”
Makna “kekerasan” dalam hal seksual adalah suatu tindakan yang keji : memaksa, menganiaya, menguasai, intimidatif, dan sewenang-wenang –secara seksual–,bukan dalam konteks “boleh dan tidak boleh atau suka sama suka” dan bukan dalam arti “tidak boleh atau boleh-boleh saja” dan bahkan lebih dari sekedar standar kesopanan atau ketidaksopanan, atau kesusilaan, karena kekerasan mengandung tujuan menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan masa depan seseorang.

Pernyataan :

Perspektif gender adalah menggunakan teori konflik seksual, seharusnya teori fungsional seperti fungsi keluarga.

Tanggapan :

Perspektif gender bukan berangkat dari teori konflik seksual. Tidak ada teori konflik seksual dalam gender.Yang ada adalah ketimpangan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan.Bukan konflik. Konflik dimaknai sebagai perseteruan yang sejajar, sementara ketimpangan,adalah ketidak berdayaan salah satu pihak. Perspektif gender adalah sebuah analisis yang berangkat dari epistimologi pengetahuan atas pengalaman perempuan dalam relasi gender: laki-laki dan perempuan dalam konteks politik, sosial, dan budaya. Epistemologi adalah suatu teori tentang pengetahuan, dimana epistemologi gender berangkat dari temuan para peneliti perempuan (feminis) yang melihat bagaimana perempuan sering dipinggirkan dalam ilmu pengetahuan. Perempuan sering tidak dilibatkan sebagai “yang mengetahui” (knowers), tidak diikutsertakan atau tidak diakui sebagai “agen pengetahuan tentang diri mereka sendiri”. Dalam pengetahuan, perempuan sering dijadikan sebagai obyek belaka, sementara suara pengalaman perempuan sendiri dalam ilmu pengetahuan tidak didengar. Suara pengetahuan adalah suara yang ditulis oleh laki-laki, dan demikian pula sejarah ditulis secara eksklusif dari sudut pandang ilmuwan laki-laki sebagai gender yang dominan.

Oleh karena itu epistemologi gender, bukan ingin memusuhi laki-laki tetapi bagaimana pengetahuan bisa berlaku dan bermanfaat langsung bagi kehidupan perempuan yang disuarakan dan diteliti oleh perempuan sendiri dan oleh pengalaman perempuan sendiri, bukan oleh orang lain.

Epistemologi gender yang lahir dari epistemology feminis, adalah bicara tentang cara berpikir ilmiah-akademik yang komprehensif bagi kehidupan perempuan, karena di dalamnya mewakili para ilmuwan perempuan, pengalaman perempuan, dan fakta-fakta kehidupan perempuan dari berbagai aspek ilmu pengetahuan seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, psikoanalisa, sains, dan teknologi.

Oleh karena itu RUUPenghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu instrumen hukum yang lahir dari tuntutan, keterlibatan, fakta-fakta, pengalaman, dan pengetahuan tentang dan untuk perempuan, yang akan bermanfaat bagi kehidupan, perlindungan, dan keadilan bagi perempuan, sebagai warga negara Indonesia.

Pernyataan :

Paradigma feminis menempatkan sistem patriarki (diberbagai sistem kehidupan khususnya keluarga) sebagai sistem dan kondisi yang harus dilawan dan dinegasikan. Paradigma feminis bahkan melihat keluarga (rumah tangga) sebagai sistem patriarkhi yang melanggengkan pemasungan kebebasan perempuan dan menyebabkan perempuan tidak maju dan mencapai kesetaraan. Paradigma feminis yang digunakan sebagai landasan pengembangan Undang-Undang akan menimbulkan konflik dan justru memperbesar potensi kekerasan seksual di tingkat paling inti yaitu keluarga/rumahtangga. Hal tersebut dikarenakan paradigm struktural fungsional yang melekat dalam nilai dan budaya relasi antar laki-laki dan perempuan di dalam keluarga di Indonesia.

Tanggapan :

Pernyataan di atas adalah sebuah kesalahpahaman terhadap pengetahuan perempuan (paradigm feminis), bahkan terhadap feminis itu sendiri. Diperlukan kajian yang mendalam yang disebut sebagai “gender studies dan feminist studies”, sebagaimana kajian ilmu pengetahuan sosial lainnya. Paradigma feminis sebagai bagian dari epistemologi pengetahuan perempuan, tidak dapat disimpulkan sebagai paradigma yang menyalahkan dan membenci keluarga. Pengetahuan feminisme perlu dipelajari secara utuh sebagaimana pengetahuan lain dimana untuk mendekati validitas perlu mempraktikkan sejumlah kerja akademik seperti melakukanverifikasi atas hipotesis, dan koreksi –tesis dan antitesis—berlaku pada paradigma tersebut, yang menempatkan perempuan sebagai SUBYEK pengetahuan, bukan semata-mata sebagai obyek yang tidak bersuara dan tidak hidup atau tidak mengalami apapun. Validitas pengetahuan perempuan adalah “melibatkan suara dan pengalaman perempuan” dalam ilmu sosiologi, filsafat, sains, antropologi, teknologi, psikologi, dan lain sebagainya.

Kritik terhadap patriarkhi bukanlah sebuah negasi terhadap konsep keluarga dan rumah tangga, melainkan kritik tentang adanya praktik-praktik penindasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh konstruksi sosial dan budaya, di seluruh aspek termasuk institusi keluarga–bahwa tidak ada seorang manusiapun yang ingin ditindas atau diperlakukan tidak adil termasuk dalam institusi keluarga.

Paradigma feminis justru memberikan kebebasan pada perempuan yang memiliki kehendak untuk berkeluarga dan menikah, sebagai pilihan yang sadar, bukan atas paksaan. Dalam pilihan tersebut feminis mengembangkan prinsip keluarga yang harmonis melalui prinsip kesadaran, kesetaraan, dan nondiskriminasi, dimana setiap anggota keluarga berhak diperlakukan adil, ramah, saling meyayangi, memiliki etika kepedulian, dan menerapkan kerjasama antaranggota keluarga yang egaliter, yang akan saling meringankan beban masing-masing anggota keluarga, dan menciptakan orangtua yang bertanggungjawab dan berwawasan. Anak-anak dalam anggota keluarga adalah pihak yang berhak mendapatkan perlindungan, dan hak yang sama baik anak laki-laki maupun perempuan dalam hal kebutuhan pendidikan, perhatian, dan kesehatan fisik serta mental. Hal ini telah disampaikan pula dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 tentang hak-hak perempuan terutama soal perkawinan anak, pendidikan, poligami, dan eksploitasi seksual. Karena itu tidak benar bila disebut bahwa feminism tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia, sebab telah dicetuskan oleh Kongres Perempuan Indonesia yang kemudian juga ikut mencetuskan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Feminisme dalam beberapa gerakan sosialnya justru mengajak laki-laki sebagai manusia – yang kebanyakan menjadi pelaku sekaligus korban patriarkhi – untuk mewujudkan idealism keharmonian institusi kecil masyarakat bernama keluarga. Feminisme mengajukan idealism tentang kesetaraan gender adalah juga menguntungkan laki-laki.

Pernyataan :

RUU P-KS hanya terbatas pada pemaksaan, padahal perlu juga norma tentang penyimpangan seksual yaitu homoseksual.
Tanggapan :

RUUPenghapusan Kekerasan Seksual berbasis pada kekerasan, dalam hal ini kekerasan seksual. Konteks “kekerasan” tidak dapat disandingkan dengan konteks norma dan nilai. Pengertian “kekerasan” adalah diambil dari kata “Violance” yang maknanya lebih pada tindakan (pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan merusak seseorang, contoh: tindakan untuk mengintimidasi orang lain melalui kekuatan, kewenangan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang pada orang lain). Kata “tindakan” secara linguistik lebih relevan dalam konteks hukum. Contoh: hukum berlaku atas sebuah “tindakan” seseorang yang melanggar hukum, oleh karena itu perlu ada tindakan hukum. Sementara kata “perilaku” lebih relevan dalam aspek norma atau nilai-nilai masyarakat, dan biasanya lebih pada wilayah atau aspek pendidikan atau himbauan moral melalui ruang-ruang sosial dan budaya.

Pernyataan :

Konsep seksualitas yang ditawarkan dalam RUUPenghapusan Kekerasan Seksualini pun  bersifat individual dan tidak menunjukkan relasi atau kaitannya dengan konsep keluarga.

Tanggapan :

Tidak dapat dikatakan sebagai individual secara simplistik seperti itu, RUUPenghapusan Kekerasan Seksualberangkatdari prinsip persamaandari kata “setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan” (yang mengandung makna setiap individu yaitu warga negara Indonesia) yang terdapat dalam UUD 1945, yang juga menjelaskan hak dan kewajiban hubungan antara negara dengan individu/setiap warga negara. Konsep individu yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan institusi ini bukan hal yang bertentangan dengan konsep keluarga.Konsep individu bukan bernegasi dengan keluarga (bukankah keluarga terdiri dari individu-individu?)
Dalam halRUUPenghapusan Kekerasan Seksual tentang kekerasan seksual adalah hal yang berkaitan sebagai hak setiap warga negara, dalam hal ini warga negara perempuan yang berisiko menjadi korban.Pengaduan dan laporan korban yang datang kepada Komnas Perempuan sehubungan dengan kekerasan seksual adalah berdasarkan atas suara individu, dan kebutuhan mereka sangatlah perlu diperhatikan.

Pernyataan :

Kata-kata multitafsir seperti terminologi Kekerasan Seksual, tidak layak digunakan sebagai judul sebuah Rancangan Undang-Undang. Oleh karena itu AILA menyarankan agar nama RUU tersebut diganti menjadi Rancangan Undang-Undang  “Kejahatan Seksual”  atau “Kejahatan Kesusilaan” agar selaras dengan KUHP dan RUU KUHP  karena  delik Kejahatan seksual sudah menjadi delik yang dikenal dalam konsep hukum pidana di Indonesia, sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan pada tataran konsep dan pelaksanaan.

Tanggapan :

Seperti yang dijelaskan sebelumnya tentang apa yang disebut kekerasan terhadap perempuan (Konvensi Cedaw dan ratifikasi UU yang menyertainya) yang memiliki makna luas daripada istilah “kejahatan” dan bahwa “kejahatan” itu sendiri merupakan salah satu unsur dalam “kekerasan”. Hal yang lain dalam istilah “kesusilaan” secara linguistik tidak mengasosiasikan perkara kejahatan ataupun kekerasan melainkan perkara “nilai, norma, dan kesopanan”, yang justru bermakna lebih pada budi pekerti, tata krama, bukan pada kekerasan dan kejahatan itu sendiri. Misalnya, tidak mungkin kasus perkosaan terhadap perempuan adalah sebagai semata-mata perkara kesusilaan (kesopansantunan), tetapi perkara menghancurkan martabat seseorang (kekerasan dalam konteks seksual).
RUUPenghapusan Kekerasan Seksualjustru melengkapi kekurangan atau kekosongan pasal dalam KUHP yang hanya memaknai kekerasan seksual sebagai hal yang hanya menyangkut kesusilaan (kesopansantunan, norma, dan nilai masyarakat).

Pernyataan :

Dalam RUUPenghapusan Kekerasan Seksualdisebutkan bentuk kekerasan seksual adalah “pemaksaan pelacuran”, sedangkan pelacuran sendiri tidak dijadikan bentuk kekerasan seksual.

Tanggapan :

Dalam konteks “kekerasan” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adanya unsur pemaksaan, jebakan, eksploitasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan/atau situasi yang tidak memungkinkan seseorang untuk menolak, sebagaimana yang dijelaskan dalam UU  Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sementara pelacuran itu sendiri tentu saja bukanlah sesuatu yang tidak bermasalah, tetapi dalam konteks “kekerasan” maka “pemaksaan” sangat perlu diperhatikan untuk memudahkan identifikasi terjadinya tindakan kekerasan. Tentang aturan pelacuran sudah ada dalam ketentuan hukum yang lain.

Pernyataan :

Kerancuan lainnya adalah delik pemaksaan aborsi. Apakah dengan demikian, aborsi yang tidak dipaksakan menjadi legal? Pada prinsipnya aborsi adalah sebuah hal yang dilarang kerena termasuk pada pembunuhan janin. Namun dapat dilakukan pada kondisi medis tertentu. Namun dengan adanya norma pemaksaan aborsi tersebut maka tidak jelas mengenai batasan-batasan larangan aborsi tersebut.

Tanggapan :

sama dengan tanggapan di atas, bahwa perlu ada unsur “pemaksaan” karena dalam konteks “kekerasan”.

Pernyataan :

Di lain pihak, RUU ini justru mengafirmasi perilaku LGBT karena Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan jelas memasukkan agenda Kekerasan Seksual atas dasar pilihan Orientasi Seksual Berbeda, yaitu Kekerasan Seksual tidak hanya berbasis pada gender namun juga berbasis pada orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender.

Tanggapan :

Tidak ada pernyataan soal ini dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyajikan fakta kekerasan seksual yang dialami warga negara Indonesia yang didasari orientasi seksual tertentu yang apabila menggunakan prinsip hak asasi manusia setiap warga negara berhak untuk terbebas dari kekerasan atas dasar apapun.

Oleh: Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Women Studies, Universitas Indonesia (Komisioner Komnas Perempuan)

Share
Penulis