JOMBANG, FaktualNews.co – Ulah oknum polisi lalu lintas (Polantas) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang kerap mencari-cari kesalahan pengendara saat menggelar razia kendaraan, berujung pada praktik pungutan liar (pungli) banyak dikeluhkan masyarakat.
Praktik razia kendaraan yang dilakukan beberapa oknum anggota polisi lalu lintas, tanpa dilengkapi dengan papan nama dan berada di tikungan kerap membuat pengendara kelabakan, karena terkejut.
Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Pulo, Kecamatan/Kabupaten Jombang bernama Angga, sebulan lalu dirinya mendadak diberhentikan oknum anggota polisi lalu lintas yang menggelar razia di tikungan timur perempatan Sambong Santren, Jombang.
“Saya diberhentikan di simpang empat Sambong. Katanya saya melanggar peraturan. Padahal saat itu juga ada bus yang melakukan pelanggaran tapi anehnya hanya saya yang ditilang. Akhirnya saya diminta membayar denda di tempat sebesar Rp 50 ribu,” kata pria berambut cepak ini, kepada FaktualNews.co, Selasa (27/3/2018).
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012, razia kendaraan bermotor di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum karena razia itu harus dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas yakni misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan. Ini untuk menghindari pengendara yang terkejut dengan polisi yang tiba-tiba menghadang, yang mana hal tersebut dapat membahayakan pengguna jalan.
Bahkan dilain tempat, lanjut Angga, terdapat aksi pungutan liar (pungli). Yang dilakukan oleh oknum empat orang dengan motif penertiban terhadap pengendara, namun tidak ada bentuk himbauan atau surat tugas yang jelas.
“Anehnya saat saya tanyain surat tugas mereka malah marah-marah,” tambah Angga.
Saat ini Satlantas Polres Jombang, sudah menerapkan pola penindakan hunting system atau patroli keliling terhadap pengguna jalan yang kasat mata melakukan pelanggaran. Pola penindakan hunting system ini bersifat insidentil.
Namun, pada praktiknya di lapangan penerapan pola hunting system kerap diselewengkan oleh sejumlah oknum.
Tidak jarang, ada oknum yang berdalih menggunakan metode hunting system namun juga menghentikan semua pengendara. Biasanya ini menimpa pengendara kendaraan roda dua.
Petugas memeriksa pengendara roda dua meskipun secara kasatmata kelengkapan kendaraan yang digunakan terpenuhi. Acap kali oknum petugas terkesan ‘mencari kesalahan’ pengendara motor. Misalnya, salah karena hanya menghidupkan lampu kota atau tidak adanya tutup pentil ban. Tindakan seperti itu seakan ‘memaksa’ para pengendara untuk ditilang.
Apalagi dalam metode hunting system yang boleh dilakukan hanya dengan 2 orang petugas. Sehingga tidak ada pengawasan dalam praktik di lapangan. Para pelanggar yang tak ingin repot, tidak sedikit yang akhirnya memilih untuk ‘nitip sidang’ dengan memberikan uang ke oknum petugas tanpa mendapatkan surat tilang.
Pola hunting system ini kerap menjadi cibiran di masyarakat. Publik selalu apriori dan menjudge bahwa pola tersebut adalah pola polisi untuk mencari-cari kesalahan demi kepentingan pribadi.
Cibiran masyarakat terkait penyelewengan pola hunting system itu dibenarkan oleh sumber terpercaya FaktualNews.co.
“Hunting system biasa dikenal dengan istilah ‘Hit and Run’ atau pukul kemudian lari,” jelasnya.
Menurut sumber itu, polisi lalu lintas di Kabupaten Jombang saat menemukan pelanggar, maka langsung dihentikan dan melakukan pungli dengan bahasa ‘nitip sidang’ yakni memberikan uang ke oknum petugas tanpa mendapatkan surat tilang.
“Kalau ketemu pelanggar, dihentikan kemudian disandarkan untuk melakukan penyelesaian tadi,” tegas sumber FaktualNews.co. (Tim Redaksi/Elok Fauria)