Peristiwa

Ide ‘Gila’ Relokasi PKL, Bongkar Ciutnya Nyali Petinggi Jombang Tertibkan Pelanggar Perda

JOMBANG, FaktualNews.co – Kontroversi ide ‘gila’ yang dilontarkan Tim Operasi Solusi Penataan dan Penetertiban PK5 (Tim OPSI P2PK5) Satpol PP Kabupaten Jombang, dalam menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Gus Dur, Jombang, Jawa Timur, justru membongkar nyali ciut para pejabat di Kota Santri.

Alih-alih menjalankan perintah pejabat teras Pemkab Jombang untuk menata PKL yang berjualan di bahu jalan, Korp Penegak Perda justru mengusulkan gagasan dengan merelokasi PKL ke atas saluran air di sepanjang jalan Kawasan Tertib Lalu Lintas (KTL) itu.

Satpol PP Jombang sadar, gagasan tersebut akan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, jelas akan dijadikan dasar untuk mementahkan ide ‘gila’ itu. Di luar prediksi, Tim Teknis Pembinaan, Penataan dan Pemberdayaan PKL Pemkab Jombang merestui rencana itu, meski dengan ‘catatan’.

Kendati usulan tersebut mendapatkan penolakan dari kalangan legislatif. DPRD Jombang melalui Ketua Komisi C Mas’ud Zuremi dengan tegas menolak rencana itu. Baginya, merelokasi PKL di atas saluran air tak hanya melanggar regulasi, namun juga tak rasional. Karena bakal memperburuk wajah Kota Santri.

Setali tiga uang. Anggota Komisi C DPRD Jombang, Dukha juga menilai usulan Satpol PP yang disetujui Pemkab Jombang itu merupakan hal konyol. Ia justru menuding ada yang tak beres dengan usulan Satpol PP itu. Dukha beranggapan, ide tersebut justru melegitimasi masyarakat untuk melanggar perda dengan mendirikan bangunan di atas saluran air. Meski ia menyadari, mendirikan bangunan di atas saluran air bisa legal, jika mendapat persetujuan bupati.

Perbedaan pendapat elit legislatif dan Pemkab Jombang soal ide ‘gila’ itupun menyeruak ke telinga PKL. Para pejuang ekonomi kelas pinggiran ini pun berteriak lantang. Lantaran statusnya sebagai warga asli Kota Santri seakan tak diakui. Hanya karena mengais sesuap nasi di atas trotoar tepi jalan. Padahal, tak sedikit orang berduit serta corporate yang sengaja menabrak regulasi dengan mendirikan bangunan di ruang sempadan aliran sungai.

Ternyata tak terhitung jumlah bangunan yang nangkring di atas saluran air di Kota Santri. Diantaranya RSNU Jombang, dua toko di Jalan A. Yani Jombang, yakni Sumber Wangi dan Toko Agung serta Toko Sumber Jaya di Jalan Seroja, Jombang. Selain itu juga jembatan di rumah milik Ahmad Rifai di Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang, serta jembatan PT. Cheil Jedang Indonesia (CJI) di Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso. Di Kecamatan Mojoagung, bahkan puluhan bedak toko berdiri diatas saluran sungai.

Fakta mencengangkan pun terkuak. Dari contoh bangunan di atas saluran air, hanya ada satu yang mengantongi izin. Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kabupaten Jombang, Arif Gunawan, menyebut jika lima bangunan itu tak mengantongi izin pendirian di atas saluran air dari Pemkab Jombang. Hanya ada satu yakni PT. CJI Ploso yang lengkap secara administrasi.

Akan tetapi, dari sumber internal di Pemkab Jombang, jembatan PT. CJI Ploso kontruksi bangunannya dinilai tak standart. Lantaran, penampang basah saluran air sangat rendah, tidak sesuai ketentuan yang diputuskan dalam Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi. Selain itu juga menabrak ketentuan dalam Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Irigasi.

Namun, Humas PT. CJI Ploso, Wahyu, menepis semua tudingan itu. Ia mengatakan jika kontruksi pembangunan jembatan sudah sesuai dengan desain yang ditentukan. Bahkan, Wahyu balik menuding jika penampang basah jembatan yang rendah itu, lantaran pendangkalan sungai akibat jarangnya kegiatan normalisasi sungai oleh dinas terkait.

Selain itu, dalam perjalanannya, dua pemilik toko yakni Toko Sumber Wangi dan Toko Agung di Jalan A. Yani mengklaim sudah mengantongi izin dari Pemkab. Jauh sebelum ada Perda yang mengatur tentang irigasi. Ahmad pemilik toko Sumber Wangi dan Bintatik, pemilik Toko Agung sama-sama mengaku sudah mendapatkan izin sejak tahun 1970. Sehingga mereka ogah disebut sebagai pelanggar aturan.

Sementara, staf pegawai RSNU Minan Rohman mengaku tak tahu menahu soal izin penutupan saluran irigasi yang kini berubah menjadi tempat parkir itu. Ia menyatakan, proyek pembangunan itu seluruhnya di handle Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sedangkan Ahmad Rifai memilih tidak memberikan komentar dengan tidak merespon upaya konfirmasi redaksi FaktualNews.co. Sama halnya Toko Sumber Jaya yang enggan memberikan konfirmasi.

Satpol PP Bukan ‘Jongos’ OPD

Fakta bangunan liar di atas saluran air yang tak berizin inipun menuai reaksi dari berbagai kalangan warga maupun DPRD Jombang. Mereka meminta agar Satpol PP segera menindak tegas dengan cara menertibkan bangunan liar itu. Terlebih lagi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jombang dengan tegas menyatakan jika keberadaan bangunan liar ini menjadi salah satu penyebab banjir yang seakan menjadi tradisi di Kota Santri.

Sementara Kabid Trantib Satpol PP Jombang, Ali Arifin berdalih, jika lambannya penertiban bangunan liar di atas saluran air ini tak lepas dari Standar Operaional Prosedur (SOP) di instansi ini. Dalam SOP tersebut, Satpol PP hanya bisa bertindak setelah mendapatkan rekomendasi dari instansi yang menangani persoalan itu. Yakni Bidang Pengairan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Lantaran pelanggarannya berkaitan dengan dinas teknis.

Aturan internal di tubuh Satpol PP itu justru dianggap blunder oleh kalangan akademisi. Mahbub Ghozali, seorang peneliti kebijakan publik menilai, SOP itu tidak sesuai dengan Pasal 6 huruf a, PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Dimana Korp Penegak Perda memiliki kewenangan penuh dalam menindak para pelanggar. Sementara lanjut mahasiswa yang kini tengah menempuh gelar doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya ini, SOP itu hanya akan melemahkan kinerja Satpol PP.

Menurut pemuda yang juga berprofesi sebagai dosen ini, SOP itu justru membelenggu kaki dan tangan Satpol PP dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Seakan Satpol PP berada di bawah ‘ketiak’ Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis lain. Padahal, Satpol PP memiliki otoritas lebih, yang pertanggungjawabannya langsung ke Bupati Jombang. Mirip instansi Polri yang memberikan laporan langsung ke presiden.

Kritik tajam juga keluar dari Ketua Forum Rembuk Masyarakat Jombang (FRMJ), Joko Fattah Rochim. Pria yang getol menyorot sejumlah kasus korupsi dan kebijakan publik ini mendesak agar para anggota Dewan tidak berbicara saja, melainkan mengambil langkah nyata. Dengan memanggil Pjs Bupati Jombang dan Satpol PP akibat lambatnya kinerja eksekutif. Karena, DPRD merupakan penyambung lidah rakyat dan lembaga kontrol pemerintah daerah.

Pjs Bupati Salah Tafsir Soal Penindakan dengan Kewenangan

Sorotan yang ditujukan ke Pemkab Jombang pun kian keras. Sejumlah elemen masyarakat terus mengkritik lambannya kinerja Pemkab Jombang serta Satpol PP dalam menindak para pelanggar perda. Utamanya bangunan di atas saluran air yang tak mengantongi izin.

Meski demikian, Pjs Bupati Jombang Setiajit belum akan mengambil langkah tegas dalam menyikapi pelanggaran ini. Ia justru masih akan melakukan koordinasi dengan DPRD Jombang untuk membahas maraknya bangunan liar di atas saluran air itu. Setiajit juga menyatakan akan mengkaji ulang izin yang katanya dikantongi dua pemilik toko karena dianggap tidak sesuai.

Tak hanya itu, Setiajit bakal meminta tolong Gubernur Jatim, Soekarwo, untuk meminta Satpol PP Provinsi guna menindak bangunan liar yang berdiri di atas saluran air. Sebab, ia menilai penindakan pelanggaran tersebut bukan wilayah Pemkab Jombang, melainkan kewenangan Pemrpov Jatim. Karena kewenangan pengelolaan saluran air itu berada dalam tangan Dinas Pengairan Pemprov Jatim.

Kalangan aktivis Jombang melalui Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan Aan Ashori menganggap kebijakan Pjs Bupati Jombang ini keblinger. Aan menilai Pjs Bupati mendapat laporan yang salah perihal penindakan bangunan liar di atas saluran air itu. Sebab, kendati kewenangan pengelolaan di tangan Dinas Pengairan Pemprov Jatim, namun terkait dengan rekomendasi dan izin pendirian bangunan di atas saluran air berada di Pemkab Jombang. Sehingga kewenangan penindakan juga menjadi tanggungjawab Pemkab.

Bahkan, langkah ‘feminim’ yang diambil Pjs Bupati Jombang terkait penindakan bangunan tak berizin di atas saluran air ini dibandingkan dengan cara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Salah satu pengguna akun Facebook Tris Jaya saat menanggapi postingan berita FaktualNews.co di grup Facebook Wong Jomber (Jombang Bersatu).

Iku moso bu Risma wes di bongkar (Itu jika lawan Bu Risma sudah di bongkar),” tulisnya dalam bahasa jawa.

Kritikan pedas, tajam, yang dilontarkan berbagai elemen masyarakat ini sudah semestinya menjadi cermin bagi Pemkab dan DPRD Jombang dalam menelurkan kebijakan maupun dalam menjalankan kebijakan itu sendiri. Bukan lantas menjadi alergi dan menutup diri.

Masyarakat zaman now kini sudah cerdas. Tentunya kebijakan ini yang ditelurkan juga harus benar-benar merakyat. Bukan hanya sekedar populis namun juga harus memberikan solusi yang menguntungkan bagi masyarakat.

Sudah waktunya tradisi buruk warisan orde sebelumnya yakni menipu masyarakat dengan bualan dan regulasi ‘titipan’ dilenyapkan. Warga Kabupaten Jombang, hingga kini masih menunggu nyali para petinggi, pemangku kebijakan untuk melakukan bersih-bersih di Kota Santri.

Tim FaktualNews.co yang terlibat dalam peliputan:

Elok Fauria
Zen Arifin
Moch Syafii
Saiful Arief

Salam dari redaksi FaktualNews.co.

Jangan lupa ikuti fokus Republik Besut setiap hari Senin-Jumat. Dengan menghadirkan tema yang berbeda setiap minggunya, mengupas tuntas berdasarkan fakta dengan tetap mengedepankan tagline berani, lugas terpercaya.