JOMBANG, FaktualNews.co – Standar Operasional Prosedur (SOP) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam menindak para pelanggar perda utamanya pemilik bangunan di atas saluran air, yang tak berizin sepertinya harus di tinjau ulang. Sebab, acuan penindakan itu dianggap terlalu ribet.
Lantaran, Korp Penegak Perda harus menunggu rekomendasi dari dinas teknis sebelum melakukan penertiban bangunan liar di atas saluran air. Satpol PP berdalih rekomendasi itu akan dijadikan dasar untuk melakukan pembongkaran. Alsannya mereka tak mengantongi daftar bangunan di atas saluran air yang tak berizin.
“Kenapa harus ditinjau ulang? karena jika SOP seperti itu tidak jelas, mbulet terus, kayak kentut. Terus kapan penertibannya. Padahal, semestinya aturan itu jelas dan gamblang,” kata Mahbub Ghozali, peneliti kebijakan publik, Jumat (6/4/2018).
SOP Satpol PP itu mestinya merujuk pada aturan di atasnya, baik itu Perda maupun Peraturan Pemerintah serta Undang-undang. Sehingga, tidak akan bertentangan dengan regulasi di atasnya.
“Tentunya SOP yang kini digunakan Satpol PP untuk menindak dan menertibkan pelanggaran perda, kontra produktif dengan regulasi di atasnya. Karena jelas, menurut PP Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP memiliki tugas dan kewenangan yang cukup jelas dalam menegakan Perda,” imbuhnya mahasiswa yang kini tengah menempuh gelar doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Berdasarkan Pasal 6 huruf a, PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, korp penegak ketertiban ini memiliki kewenangan penuh dalam menindak para pelanggar ketertiban nonyustisial. Baik itu yang dilakukan warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda atau peraturan kepala daerah.
“Satpol PP juga berhak melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda atau peraturan kepala daerah. Itu sesuai dengan huruf d, pada pasal yang sama,” terangnya.
Karena itu, lanjut Mahbup, Satpol PP Jombang mestinya bisa bergerak secara leluasa dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak perda. Bukan justru berada ‘di bawah ketiak’ Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain seperti SOP yang kini digunakan sebagai acuan dalam hal penindakan.
“SOP yang seperti itu justru cenderung melemahkan kewenangan Satpol PP. Padahal, Satpol PP hanya perlu koordinasi sifatnya dengan dinas teknis, tidak harus menunggu rekomendasi kalau mau menertibkan,” papar pemuda yang kini juga menjadi dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, Mahbub meyakini akan semakin banyak warga, atau aparatur, serta badan hukum yang dengan sengaja menabrak Perda. Seperti fenomena saat ini, dimana banyak warga atau badan hukum yang dengan sengaja mendirikan bangunan di atas saluran air, untuk kepentingan pribadi maupun perusahaan.
Seperti bangunan parkir RSNU yang berdiri di atas saluran air, kemudian jembatan rumah milik Ahmad Rifai, serta bangunan-bangunan lain milik para PKL di wilayah Kecamatan Mojoagung, Mojowarno, termasuk juga jembatan PT. Cheil Jedang Indonesia (CJI) di Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso yang kontrusinya dinilai tak sesuai dengan standart yang ditentukan karena jembatan terlalu rendah.
“Padahal Satpol PP itu berada di bawah bupati langsung, hampir sama seperti polri yang pelaporannya langsung ke presiden. Tapi kalau SOP itu dibuat demikian agar Satpol PP tidak berdaya, tidak bertaring dalam penegakan perda, ya beda lagi ceritanya,” tandasnya.(Elok Fauriah)