Kantongi Rp 8 Juta Perbulan, Alasan Mahasiswi Jombang Jadi Wanita Panggilan
JOMBANG, FaktualNews.co – Melakoni pekerjaan sebagai seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) ternyata tidak semudah yang dibayangkan setiap orang. Banyak lika-liku yang mesti dihadapi. Tak hanya razia aparat, para penjaja seks ini juga dihadapkan dengan resiko yang cukup besar dan bertaruh nyawa.
Sorot matahari sudah cukup terik kala redaksi FaktualNews.co tiba di sebuah rumah kos di wilayah Kota Jombang, Jawa Timur. Seorang wanita muda terlihat duduk di bangku kayu yang berdiri kokoh di depan kamar. Sepertinya, ia memang sudah menunggu kedatangan FaktualNews.co.
“Mari silahkan, ngobrol di dalam saja ya, tidak enak di luar terdengar tetangga kos,” ucap wanita berparas ayu seraya menyebutkan namanya, Selasa (24/4/2018).
Sebut saja Sinta, wanita asal Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk. Tuturnya lembut. Tak ada kesan erotis ketika mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Mengenakan kaos lengan pendek warna merah muda, serta bercelana jins pendek, Sinta nampak begitu natural.
Wanita yang lahir di tahun 1994 silam itu kelihatan begitu supel. Sesekali ia melemparkan candaan, tentunya perihal materi liputan yang mengangkat persoalan prostitusi di Kota Santri ini.
“Kok berita soal itu sih?,” selorohnya.
Wanita yang ditaksir memiliki tinggi badan sekitar 160 sentimeter ini tampak mudah bergaul. Gaya bicaranya ceplas-ceplos, seakan sudah berkawan lama. Ia pun mengakui, ‘pekerjaan’ sebagai wanita panggilan yang menuntunnya bisa dengan akrab dengan orang-orang yang baru dikenal.
“Memang seperti ini, kalau diam ya ndak mungkin pelanggan mau,” tuturnya sembari tersenyum.
Sudah hampir setahun, Sinta menetap di Kabupaten Jombang. Seumuran dengan studi yang dijalaninya di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS). Ya, Sinta tercatat sebagai mahasiswa di salah satu PTS terkemuka di Kota Santri. Disela belajarnya itulah, ia melakoni pekerjaan sebagai wanita panggilan.
“Sebelumnya saya kuliah, tapi karena kebutuhan akhirnya seperti ini. Cari kerja lainnya juga susah,” katanya.
Sinta dengan santainya bercerita kesana kemari akan perjalanan hidupnya. Dari mulai kisah cintanya yang kandas, kesucian yang hilang, hingga kehidupan selama di Jombang. Serta awal mula ia terjerumus dalam bisnis terlarang.
“Awalnya diajak teman satu kos. Dia kakak kelas saya, sekarang semester 4. Saya sering curhat kalau tidak punya uang, terus ditawari,” kenang wanita berambut hitam sebahu itu.
Sinta pun akhirnya terjun ke dalam dunia prostitusi. Untuk sekali kencan, tarif yang ditawarkan Rp 500 ribu. Kendati sempat merasa canggung diawal, namun perlahan, ia mengaku bisa menikmati pekerjaannya tersebut. Apalagi pundi-pundi uang dihasilkan juga tak sedikit.
“Sebulan paling sedikit dapat Rp 8 juta. Cukup untuk biaya kuliah dan hidup di sini,” urainya termasuk untuk membantu biaya hidup keluarganya di kampung.
Ditanya adakah kerabat atau orang tuanya ada yang mengetahui akan kesibukan dia, perempuan ini pun hanya menggelengkan kepala. Di tengah-tengah cerita, sebenarnya Sinta tahu akan risiko yang menghantui dari praktik prostitusi ini, yaitu penyakit kelamin.
Untuk menyiasati hal-hal yang tidak diinginkan, sebelumnya Sinta telah memeriksakan alat reproduksinya di di rumahsakit swasta di Kabupaten Jombang. Ia pun selalu menolak jika pria hidung belang yang menikmati tubuhnya tanpa menggunakan pengaman.
“Ya takut, tapi saya rutin cek kesehatan kelamin. Setelah kerja seperti ini, setiap 1 bulan sekali cek ke rumahsakit. Biayanya Rp 350 ribu sekali cek. Saya juga selalu meminta menggunakan alat pengaman,” tambahnya.
Sinta pun tak tahu hingga kapan akan menekuni pekerjaan sebagai wanita panggilan. Akan tetapi, mahasiswi ini sudah memiliki niat untuk berhenti dari pekerjaannya itu. Setelah pundi-pundi yang dikumpulkan dirasa cukup untuk membuka usaha lainnya.
“Setiap orang pasti ingin hidup normal, memiliki pekerjaan yang laik. Tapi untuk saat ini saya rasa belum bisa, mungkin nanti,” pungkasnya.