FaktualNews.co

Penyitaan Harta Pribadi, Bupati Mojokerto Berpeluang Besar Telah Jadi Tersangka

Hukum     Dibaca : 1212 kali Penulis:
Penyitaan Harta Pribadi, Bupati Mojokerto Berpeluang Besar Telah Jadi Tersangka

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Penggeledahan dan penyitaan barang-barang pribadi milik Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlangsung. Meski belum ada keterangan resmi dari pihak KPK, namun penyitaan sejumlah harta pribadi MKP, mengarah adanya peluang besar penetapan tersangka pada Bupati Mojokerto dua periode ini dalam dugaan kasus gratifikasi hingga tindak pidana pencucian uang.

“Penyitaan harta pribadi MKP oleh penyidik KPK, sangat berpeluang untuk menjadikan Bupati Mojokerto tersangka,” tukas Dakelan, Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jatim, jumat (27/4/2018) petang. Menurutnya, penyitaan harta pribadi MKP, menunjukkan KPK telah mengantongi bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan sejumlah pihak.

Tindak pidana korupsi menurut Dakelan, dilakukan oleh personal atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Meski diakui, pihaknya belum tahu persis perkara yang sedang didalami penyidik KPK di Mojokerto. Namun menurutnya, berkaca pada kasus yang selama ini ditangani KPK, penyitaan harta kekayaan yang diduga diperoleh dari hasil korupsi tersebut sudah tepat.

“KPK melakukan penyitaan itu berdasarkan bukti awal yang kuat atas dugaan tindak pidana korupsi. Jadi bisa saja harta yang disita itu merupakan hasil kejahatan orang lain yang ada ditangan MKP atau juga kasus yang sebelumnya yang melibatkan MKP sendiri,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan praktisi hukum Edi Haryanto. Menurutnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 39 ayat 1, berbunyi :

Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
  3. Benda yang dipergunakan untuk penyidikan tindak pidana.
  4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana.
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Ketika sudah terjadi penyitaan oleh penyidik, baik itu Polri maupun KPK sendiri, menurut Edi, suka dan tidak suka harus sudah ada ditetapkannya sebuah delik pidana yang benang merahnya yakni ada seorang yang disangkakan. “Dalam artian sudah ada someone yang oleh penyidik telah dijadikan tersangka,” tambahnya.

Penetapan seseorang sebagai tersangka, terdakwa  dan atau terpidana, lanjutnya, tidak akan pernah musnah. Kecuali proses hukumnya dihentikan oleh penyidik baik SP3 di Kepolisian dan atau Deponering di tingkat JPU, dan atau divonis bebas tak bersalah oleh majelis hakim dan sudah inkracht atau memiliki ketetapan hukum. Selain itu, upaya pra peradilan dari seorang tersangka yang dikabulkan oleh hakim, juga menggugurkan status seseorang sebagai tersangka. Namun, praperadilan yg dikabulkan, tidak serta merta menghalangi si tersangka untuk dijadikan tersangka lagi oleh penyidik.

Untuk kasus MKP sendiri, pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat R-13845 25/09/2014 tertanggal 25 September 2014. Saat itu, penanganan kasus MKP yang disangka terlibat dalam dugaan tindak pidana pencucian uang atas kredit fiktif Bank Jatim senilai Rp.53,2 M, dilimpahkan ke Bareskrim Mabes Polri. Jika hal itu yang dijadikan dasar, menurut Edy, maka sinyalemen kuat MKP sudah menjadi tersangka. Dan penyitaan barang berharga miliknya oleh penyidik KPK sudah sangat tepat.

Sebagaimana dituangkan dalam pasal 1 angka 16 KUHAP no. 8 Tahun 1981 yang menjelaskan Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Disinggung apakah penyitaan tersebut termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.

Tetapi sebagai lembaga antirasuah, KPK mempunyai UU sendiri dalam hal ini sebagaimana tercantum di dalam UU nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 47 (1) tertulis, Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

Ayat 2 berbunyi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. “Sehingga dipastikan sangat tidak mungkin ketika lembaga selevel KPK melakukan penyitaan dengan tanpa mempertimbangkan efek karambol dari tindakan tersebut,” pungkas Edi.

Sementara hingga berita ini diunggah, baik Priharsa, Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK serta Febridiansyah, juru bicara KPK belum memberikan statement resmi tentang status Bupati Mojokerto. Pesan instan yang dikirim redaksi jumat (27/4/2018) petang belum terbalas.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Adi Susanto