JOMBANG, FaktualNews.co – Kata Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat di Kota Santri julukan Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada era modern seperti saat ini masyarakat berbondong-bondong ingin menjadi PNS.
Beberapa tahun yang lalu profesi PNS dipandang sebelah mata karena gajinya yang kecil. PNS dianggap sebagai pekerjaan dan profesi yang tidak terjamin kesejahteraannya. Akan tetapi anggapan ini berbalik 180 derajat.
Kini, masyarakat ‘antre’ mendapatkan pekerjaan PNS yang diidamkan. Bahkan sebagain mereka rela mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah, agar anak maupun keluarganya bisa menjadi abdi negara.
Birokrasi ‘PNS’ warisan kolonial Belanda
Berawal dari warisan birokrasi peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pemerintah kolonial membentuk sistem birokrasi modern. Dikutip dari tirto.id, Herman Willem Daendels adalah penguasa pertama yang membangun fondasinya. Konsep negara dan birokrasi modern pertama kali dicetuskan oleh Daendels demi efektivitas pengaturan negara jajahan.
Salah satu jalannya adalah melakukan sentralisasi pemerintahan dan mengontrol bawahan secara ketat.
Pelan-pelan, pemerintah kolonial menata dan memperbaiki birokrasi warisan VOC. Dalam waktu tiga dekade setelah VOC runtuh, birokrasi Hindia Belanda menjadi semakin efektif di bawah pemerintahan van den Bosch—gubernur jenderal yang mencetuskan Tanam Paksa (1830).
Bahkan, pada akhir abad 19, Hindia Belanda banyak dipuji memiliki aparatus birokrasi paling efektif di antara negara-negara jajahan dan dijuluki sebagai beambtenstaat (negara pegawai).
Birokrasi Hindia Belanda menganut dual system, yakni Binnenlandsch Bestuur (BB) dan yang kedua Inlandsch Bestuur (IB).
Binnenlandsch Bestuur bisa dibilang sebagai korps pegawai kolonial yang mencerminkan birokrasi negara modern. Korps ini diisi oleh orang-orang Belanda yang biasanya berlatar belakang pendidikan tinggi atau dari keluarga terdidik lainnya. Jika ditilik dari peranannya, birokrasi di Republik Indonesia merdeka berawal dari sini, bukan dari para penguasa pribumi. Korps BB dikenal relatif lumayan bersih. Sangat berbeda dengan para pendahulunya di VOC.
Sementara Inlandsch Bestuur adalah pegawai-pegawai yang diangkat dari kalangan bumiputra. Dalam banyak kasus, jabatan yang diemban oleh pegawai pribumi dilanjutkan secara turun-temurun atau berdasarkan pertalian keluarga. Dan tentu saja, mengingat jumlah orang Eropa di Hindia Belanda yang sedikit, pegawai IB jauh lebih banyak dari BB.
Korupsi mulai ‘membumi’
Posisi pegawai pribumi menjadi sangat menentukan pada saat Tanam Paksa (1830-1870) diberlakukan. Ujung tombak pemerintah kolonial untuk memperoleh hasil pertanian adalah para bupati. Mereka diserahi tanggung jawab untuk menggenjot hasil agraria ekspor dan mengoordinasikan para petani pemilik tanah.
Sistem cultuur procenten pada zaman Tanam Paksa membuat para bupati makin getol untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari hasil tanaman rakyat.
Cultuur procenten adalah insentif dari pemerintah bagi pejabat yang daerahnya mampu menghasilkan panen melebihi ketentuan. Jika sebuah kabupaten sanggup menghasilkan tanaman ekspor lebih dari target yang ditetapkan pemerintah, bupati bersangkutan akan mendapatkan bonus sangat besar.
Karena itu, seorang bupati dan pejabat pribumi lain bisa sangat kaya raya pada masa Tanam Paksa, sementara rakyat yang diurusnya tetap miskin.
Mekanisme kenaikan pangkat dalam pejabat pribumi pada abad 19 tidak berdasarkan merit system atau seperti dalam birokrasi modern. Tingkat pendidikan, prestasi kerja, senioritas, semuanya percuma karena nepotisme dan perkoncoanlah yang berlaku. Para pejabat pribumi saat itu lazim menjilat para atasan Belanda, begitu pula pejabat pribumi kelas rendah menjilat pejabat pribumi yang lebih tinggi.
Di sini berlaku pola patron-klien yang rumit dan jilat-menjilat hampir mewarnai semua jajaran birokrasi kolonial.
Karier PNS jaman old
Menurut catatan Denys Lombard, sebelum OSVIA atau Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren—sekolah bagi pamongpraja berdiri, “satu-satunya cara untuk memasuki jenjang karier pegawai adalah dengan cara magang di tempat bupati atau wedana. Calon pegawai itu belajar selama bertahun-tahun lamanya—kadang sampai 10 tahun—tanpa memperoleh imbalan tetap.”
Mereka yang magang itu hidup dari belas kasih atasannya. Namun, “biasanya ia hanya menerima imbalan (yang disebut bumbu) dari orang yang meminta bantuan tenaganya.” Jika prestasinya bagus, dia bisa diangkat, meski masih di level bawahan.
Dalam beberapa catatan tentang tokoh-tokoh yang pernah jadi pegawai kolonial, seringkali mereka memulai karier dengan magang. Salah satunya pahlawan nasional Surjopranoto si Raja Mogok, kakak dari Ki Hadjar Dewantara, yang “pernah diangkat sebagai magang kontrolir Jatirogo dengan mempunyai tugas mengawasi irigasi lembah Bengawan Solo dan daerah Tuban,” tulis Suratmin dalam Raden Mas Suryopranoto (1981).
PNS pertama di Indonesia
Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah PNS sekaligus jenderal pertama di Indonesia. Sri Sultan Hamengku Buwono merupakan garis keturunan dinasti kerajaan Mataram Islam.
Sri Sultan HB IX juga dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan yang tak pernah gencar melawan penjajah di awal kemerdekaan kala itu. Sri Sultan HB IX adalah sosok yang banyak memberikan kontribusi bagi kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, Sri Sultan HB IX menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sebagai seorang menteri.
Menurut GBHP Joyokusumo putra Sultan HB IX, Sri Sultan tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pertama dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 010000001 pada tahun 1942. Adapun kartu pegawainya masih disimpan oleh keluarga.
Terbentuknya KORPRI
Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI) berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971.
KORPRI merupakan wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia demi meningkatkan perjuangan, pengabdian, serta kesetiaan kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pegawai yang dipekerjakan pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa Agresi 1948-1949 dimana Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai negeri terbagi dalam 3 kelompok, pertama Pegawai Negeri yang tinggal di daerah pemerintahan Republik Indonesia tetap menjadi Pegawai Republik Indonesia (RI), kedua Pegawai Negri yang tinggal di daerah pendudukan Belanda ada yang tetap menjadi pegawai RI (pegawai Non-kooperator) dan yang ketiga adalah pegawai yang bekerja sama dengan Belanda (Kooperator).
Hingga tanggal 27 Desember 1949 seluruh 3 kelompok pegawai ini disatukan menjadi Pegawai Republik Indonesia Serikat.
Pada masa Republik Indonesia Serikat, atau era pemerintahan parlementer dimana sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai. Politisi, tokoh partai mendominasi dan memegang kendali pemerintahan, termasuk dalam seleksi pegawai negeri.
Oleh karena itu jelas PNS lebih berfungsi sebagai alat partai politik dan PNS jadi terkotak-kotak. Manajemen PNS baik mulai penerimaan, pengangkatan hingga pemberhentian lebih ditentukan oleh kedekatan atau loyalitas terhadap partai.
Keadaan ini terus berlanjut hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan mengembalikan sistem ketatanegaraan ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.
PNS masuk dalam masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Pada kondisi ini muncul supaya pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 pasal 10 ayat 3 ditetapkan bahwa “Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik”.