JOMBANG, FaktualNews.co – Konstalasi politik saat pemilihan bupati (Pilbup) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, periode 2003-2008 begitu menegangkan. Lantaran 45 anggota DPRD akan menyalurkan hak suaranya guna mewakili hampir 1 juta penduduk Kota Santri dalam pesta demokrasi memilih bupati dan wakil bupati.
Tegang. Kalimat itulah yang kali pertama keluar dari bibir Wibisono. Pria berusia 50 tahun ini, merupakan salah seorang pelaku sejarah yang turut andil dalam suksesi Pilbup Jombang kali pertama pasca reformasi 1998. Kendati tak ada jabatan berarti yang menempel di pundaknya. Namun, peran sertanya dalam pemenangan Suyanto kala itu cukup besar.
Maklum saja, pria kelahiran Candimulyo, Kabupaten Jombang ini merupakan kader tulen PDIP. Sejak muda, ia sudah aktif menjadi anggota dan kader partai besutan Megawati Soekarno Putri itu. Pantas jika ia mengetahui betul seluk beluk dan perjalanan partai berlambang banteng moncong putih di Kota Santri.
“Ketika itu saya masih muda. Saya tahu persis perjalanan bagaimana PDIP bisa mendapatkan suara terbanyak di Pileg (Pemilihan Legislatif) 1999 hingga pada saat pak Suyanto menjadi bupati pertama kali,” katanya saat ditemui FaktualNews.co, Senin (7/5/2018).
Dahinya berkerut, perlahan dedengkot PDIP Jombang mengingat peristiwa 15 tahun silam. Saat dirinya berupaya keras untuk memenangkan calon bupati dan wakil bupati yang diusung PDIP Jombang dan PAN.
“Kalau tidak salah, waktu itu bulan Maret 2008. Saya sedikit lupa kalau tepatnya kapan. Yang saya ingat, sebelum pemilu saya bertemu dengan pak Yanto (Suyanto, red) berdua,” imbuhnya seraya menghisap dalam sebatang rokok yang terselip di jemari tangannya.
Ketika itu, PDIP menjadi partai penguasa di parlemen dengan 16 kursi. Dengan jumlah sebanyak itu, fraksi PDIP bisa dengan mudah untuk mengusung calon bupati dan wakil bupati. Kendati demikian, lanjut pria yang akrab disapa Wibis itu, peluang untuk memenangkan Suyanto atas rivalnya Soeharto (sekda kala itu) masih belum terbuka lebar.
“PDIP kan memiliki 16 kursi. Kemudian didukung fraksi ABRI 5 dan beberapa partai lainnya. Waktu itu sudah 23 kursi yang merapat. Secara hitung-hitungan, memang sudah unggul 1 kursi karena jumlahnya 45 kursi,” paparnya.
Namun, guna mengamankan kemenangan itu, Wibis pun menyarankan agar menggalang dukungan dari partai lainnya. PAN yang memiliki dua suara, menjadi satu-satunya pilihan kala itu. Ditambah lagi, Ali Fikri merupakan anggota DPRD dan juga memiliki integritas. Ia pun lantas menyarankan kepada Suyanto untuk menggandeng Ketua DPD PAN Jombang itu sebagai wakilnya.
“Saya bertemu empat mata di loteng sama pak Yanto. Itu sebelum mereka (Suyanto-Ali Fikri) gandeng. Tapi saya tidak tahu, apakah karena perbincangan itu, atau bukan saya tidak bisa memastikan alasan keduanya berpasangan,” tutur bapak 5 anak ini.
Wibis pun menceritakan bagaimana sepak terjangnya kala mengawal suara PDIP dalam Pilbup 2003. Hampir setiap malam, ia bergerilnya mengecek satu persatu anggota DPRD yang mendukung duet Suyanto-Ali Fikri. Hal itu untuk mengamankan suara.
“Hampir setiap malam saya datangi satu persatu mereka (anggota dewan). Tujuannya tidak lain agar calon yang diusung PDIP menang. Karena memang saat itu lagi ramai-ramainya aksi ‘culik-menculik’ anggota DPRD,” paparnya sembari tertawa.
Aksi ‘pengamanan’ yang dilakukan Wibis ini berlangsung hingga detik-detik akhir masa pemungutan suara dilakukan. Hingga akhirnya, pasangan Suyanto-Ali Fikri memenangi pemilihan Bupati Jombang pertama pasca runtuhnya rezim orde baru itu. Suyanto-Ali Fikri menang dengan suara yang cukup meyakinkan, yakni 27 suara. Sedangkan Paslon Soeharto-Gus Tamim memperoleh 17 suara dan satu orang anggota DPRD abstain.
“Saya kaget waktu itu, karena sejak beberapa menit sebelum pemilihan, hanya ada 25 suara yang merapat ke pasangan Suyanto-Ali Fikri, namun ternyata saat penghitungan mendapatkan 27 suara. Ada 2 suara ‘setan’ waktu itu yang masuk ke kita,” paparnya sembari menyebutkan sumber 2 suara tersebut, meski akhirnya meminta untuk tidak mempublikasikan.
Munculnya suara ‘setan’ dan adanya satu suara abstain dalam Pilbup Jombang periode 2003-2008 itu membuktikan kancah perpolitikan di Kabupaten Jombang sudah begitu dinamis. Sebagian orang, justru menilai hal itu sebagai seni dalam berpolitik.
Sementara Sekretaris DPRD Jombang, Pinto Windarto mengaku tak memiliki arsip perihal Pilbup Jombang tahun 2003 yang dipilih secara langsung oleh anggota DPRD itu. Namun demikian, ia membenarkan jika ada suara abstain dalam Pilbup yang dilakukan secara tertutup itu.
“Saya belum berani memastikan data itu benar apa tidak, karena setelah saya cari dirisalah sudah tidak ada. Tapi jika dilansir dari jumlah anggota dewan pada saat itu hanya 45 orang. Jika jumlah suaranya 27 dan 17 maka totalnya 44 dan dikabarkan gugur 1 jadi pas 45 anggota. Mungkin data itu juga benar. Karena pada saat itu memang ada yang bermasalah 1,” tutur Pinto saat ditemui di ruang kerjanya.