Politik

PDIP Jombang : Tidak Ada Mahar, Tapi Cost Politik Itu Ada

JOMBANG, FaktualNews.co – Kabar adanya ‘mahar’ politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, juga dibantah Ketua DPC PDIP Jombang, Marsaid. Ia menyatakan, jika tidak ada mahar yang harus disetorkan calon bupati untuk mendapatkan rekomendasi partai.

“Di PDIP tidak ada mahar. Tapi ketika kita menggerakkan mesin partai dan menggelang massa itu kan pasti ada cost politik, terus saksi itu juga membutuhkan cost,” kata Marsaid saat dihubungi melalui sambungan ponselnya, Rabu (9/5/2018).

Politisi gaek di PDIP Jombang ini tak menampik, jika calon-calon kepala daerah pasti mengluarkan biaya untuk kebutuhan pemilu. Bahkan, ia mengakui jika cost politik yang harus dirogoh dari kantong calon kepala daerah juga relatif sangat besar.

“Taruhlah kita tidak ngomong money politik, tapi kita bicara cost politik, itu juga besar. Seperti untuk APK (Alat Peraga Kampanye), gerakan, saksi dan lain sebagainya untuk tim-tim itu kan juga perlu untuk mensosialisasikan programnya, sehingga cost politiknya juga luar biasa,” imbuhnya.

Namun, Marsaid tidak bisa menyampaikan berapa cost yang harus dikeluarkan calon kepala daerah untuk bisa maju dalam pilkada atau pemilihan bupati (Pilbup) di Kota Santri. Yang pasti ia menyebut jika biaya yang dikeluarkan cukup tinggi.

“(Besarannya) relatif itu. Kita bisa hitung, (di Jombang) untuk biaya saksi saja berapa, kalikan 2.147 TPS itu dua orang, lumayan banyak lah,” paparnya sembari mengatakan itu bukan untuk money politik.

Adanya money politik dalam pilkada seakan sudah menjadi tradisi yang tak terlihat. Baik saat menggunakan sistem parlementer maupun pemilihan langsung (Pilsung). Hampir semua calon yang menggunakan politik uang dalam pesta demokrasi guna mendulang suara terbanyak.

Biaya hingga ratusan juta harus keluar dari kantong-kantong para pasangan calon (Paslon) Kepala Daerah. Baik untuk membeli ‘kepala’ anggota DPRD maupun guna kebutuhan koordinasi politik. Semuanya dilakukan untuk meraih singgasana Bupati Jombang.

Dua orang pelaku sejarah politik di Kabupaten Jombang mengungkap adanya politik transaksional dalam (Pilbup) Jombang, Jawa Timur, periode 2003-2008. Kepala Daerah yang diusungnya harus mengeluarkan duit hampir mencapai angka Rp 500 juta untuk membeli ‘kepala’ anggota dewan yang kala itu diduduki 45 orang.

Tak hanya dalam pilkada dengan sistem parlementer, kabar tak sedap terkait terkait adanya transaksi uang dalam pilbup yang menggunakan sistem pilsung. Informasi yang didapat, hampir semua calon menggunakan politik uang dalam pesta demokrasi guna mendulang suara terbanyak.

Pengamat politik Kabupaten Jombang, Solikin Ruslie menyatakan angka yang dikeluarkan calon bupati dan wakil bupati dengan menggunakan sistem pilsung jutru relatif sangat tinggi. Satu calon bisa mencapai Rp 40 miliar untuk bisa jadi bupati.

Menurutnya, diluar money politik, calon bupati sudah harus mengeluarkan duit hingga ratusan juta untuk mendapatkan ‘tiket’ guna maju dalam Pilbup. Belum lagi ditambah biaya saksi, kebutuhan alat peraga, dan kampanye.

Dosen Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini melihat biaya politik dalam pilkada sistem parlemen, besaran uang yang dikeluarkan calon relatif lebih murah. Karena mereka tidak harus melakukan kampanye dan pengenalan secara terbuka guna mendapatkan simpati dari masyarakat. Sehingga masyarakat percaya tertarik untuk memilihnya saat proses pemungutan suara dilakukan.

Banyak munculnya calon diluar kader partai dalam sistem pilkada langsung menjadi salah satu dasar penguat adanya ‘mahar’ untuk bisa mendapatkan rekomendasi. Tidak sedikit partai yang memiliki jumlah kursi lumayan di DPRD memilih untuk mengusung calon lain di luar kader dalam Pilkada Jombang.