Politik

Pilkada Kembali ke DPRD, Berdalih Efisiensi Tak Jamin Bebas Korupsi

JOMBANG, FaktualNews.co – Dalam percaturan politik, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menjadi salah satu daerah yang pernah merasakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan menggunakan dua mekanisme. Yakni Pemilihan Bupati (Pilbup) dengan sistem Parlementer dan pemilihan langsung.

Pasca Reformasi 1998, Pilbup di Kabupaten Jombang, sempat menggunakan mekanisme parlemen. Kala itu, pemilihan orang nomor satu di lingkup Pemkab Jombang, diatur sesuai dengan pasal 34 Bagian Empat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Sebanyak 45 anggota DPRD Jombang kala itu mewakili hampir 1 juta penduduk di Kota Santri dalam memilih bupati dan wakil bupati. Kala itu, parlemen dikuasai oleh partai berlambang banteng moncong putih. Fraksi PDIP memilik 16 kursi di DPRD Jombang. Kemudian disusul Fraksi PKB dengan 12 kursi, Fraksi ABRI 5 kursi, PPP 3 kursi, Golkar 3 kursi, PAN 2 kursi, PDKB 1 kursi, PKNU 1 kursi, dan PBB 1 kursi serta PKP 1 kursi.

Terdapat dua paslon yang berebut kursi Bupati dan Wakil Bupati Jombang pada tahun 2003 itu. Yakni Paslon Drs. Soeharto yang kalau itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) berpasangan dengan Tamim Romly (Gus Tamim), SH yang duduk sebagai Ketua PCNU Jombang. Sementara rivalnya yakni Drs. Suyanto yang sebelumnya Wakil Bupati Jombang bergandengan dengan Drs. Ali Fikri Ketua DPD PAN Jombang.

Paslon Suyanto-Ali Fikri 27 suara, sedangkan Paslon Soeharto-Gus Tamim 17 suara. Ada yang menarik, pada helatan pilbup 2003 itu. Kendati hanya dipilih oleh 45 suara, namun terdapat anggota DPRD Jombang yang tidak menyalurkan hak pilihnya alias abstain.

23 Juli 2008 merupakan kali pertama warga Kota Santri bisa menyalurkan hak suara untuk memilih kepala daerah atau bupati dan wabup. Setelah DPR RI resmi menetapkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dimana dalam pasal 24 ayat 5 dijelaskan, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat di daerah tersebut.

Sebanyak tiga paslon beradu strategi politik guna merebutkan sebanyak 961.945 jiwa yang memiliki hak pilih. Paslon incumbent yakni Suyanto yang diusung PDIP memilih berduet dengan Widjono (ToNo). Sementara dua paslon lainnya yakni Nyono Suherli Wihandoko-Halim Iskandar. Sedangkan pasangan ketiga yakni Soeharto-Mudjib Mustain.

Dalam Pilkada langsung alias one man one vote, paslon Suyanto-Widjono mendulang suara terbanyak dengan jumlah perolehan 353.255 suara. Sedangkan Nyono-Halim yang diusung Partai Golkar, PKB dan PKS menduduki posisi kedua dengan perolehan 241.678 suara. Sementara paslon Suharto-Mudjib (Harum) Partai Demokrat dan 10 partai non parlemen hanya memperoleh 36.482 suara.

Selanjutnya, pilkada 5 Juni 2013 itu. Paslon Nyono-Mundjidah (Noah) mendulang 401.576. Sedangkan paslon Widjono Soeparno dan Sumrambah (Wira) yang diyakini bisa melanjutkan kedigdayaan PDIP, justru terjungkal. Widjono yang sebelumnya merupakan wakil bupati sedangkan Sumrambah adik Bupati dua periode Suyanto, hanya memperoleh 234.819 suara.

Sementara, pasangan Munir Alfanani-Wiwik Nuriati (Mukti) yang diusung PKB dan PKPI hanya, memperoleh 38.039 suara. Dalam pilkada tersebut, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 998.463. Sedangkan suara tidak sah mencapai 27.307 dari total pemilih hadir 701.741 suara.

Politik Transaksional, dari Palremen hingga Konstituen

Dua orang pelaku sejarah politik di Kabupaten Jombang mengungkap terjadinya politik transaksional dalam (Pilbup) Jombang, Jawa Timur, periode 2003-2008. Keduanya merupakan ‘pemain’ luar yang saat itu mendukung dua pasangan calon yang turun ke medan palagan.

Menurutnya sejak dulu politik transaksional itu sudah melekat. Kendati uang dikeluarkan masih tak sebesar saat ini. Politisi yang enggan disebutkan identitasnya ini menuturkan, pasangan calon (Paslon) Kepala Daerah yang diusungnya harus mengeluarkan duit hampir mencapai angka Rp 500 juta. Mulai membeli suara, hingga kebutuhan ‘logistik’.

“Calon yang kita usung itu habisnya sekitar Rp 500 juta untuk ‘sangu’ orang-orang (anggota DPRD). Malah tidak sampai Rp 500 juta sepertinya,” tuturnya.

Biaya money politik pada Pilbup Jombang periode 2003-2008 belum sebesar seperti yang sering diperbincangkan warga saat ini. Menurutnya, angka Rp 500 juta tergolong masih murah jika dibandingkan saat ini yang konon mencapai puluhan miliar untuk bisa menduduki kursi bupati.

Sementara itu, satu pelaku sejarah lainnya juga mengungkap hal yang sama perihal adanya permainan uang dalam Pilbup Jombang periode 2003-2008. Kalau paslon yang diusungnya menghabiskan uang hampir Rp 1 miliar untuk kebutuhan membeli suara.

Ar memaparkan, ketika itu jumlah anggota DPRD Jombang mencapai 45 orang. Jika ingin duduk di kursi Bupati Jombang, paslon harus mengantongi 50 persen plus 1 suara atau 23 suara. Namun yang ‘dibeli’ lebih dari 23. Bisa menjadi 30 atau bahkan di atasnya. Karena dalam Pilkada sistem parlemen juga terdapat ‘makelar’ suara.

Tak hanya dalam pilkada dengan sistem parlementer, adanya money politik juga santer dalam pilbup yang menggunakan sistem pilsung. Informasi yang didapat, hampir semua calon menggunakan politik uang dalam pesta demokrasi guna mendulang suara terbanyak.

Pengamat politik di Kabupaten Jombang, Solikin Ruslie menyebut, angka yang dikeluarkan calon bupati dan wakil bupati dengan menggunakan sistem pilsung ini relatif sangat tinggi. Satu calon bisa mencapai Rp 40 miliar untuk bisa jadi bupati.

Menurutnya, dana tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan politik. Mulai dari ‘mahar’ tiket untuk maju dalam pilkada dari partai, hingga kebutuhan lainnya, seperti pengadaan APK dan kampanye. Banyak calon diluar kader partai dalam sistem pilkada langsung menjadi salah satu dasar penguat adanya ‘mahar’ untuk bisa mendapatkan rekomendasi.

Menurutnya, tidak sedikit partai yang memiliki jumlah kursi lumayan di DPRD memilih untuk mengusung calon lain di luar kader dalam Pilkada Jombang. Belum lagi paslon yang memilih menggunakan ‘mesin’ politik bentukannya ketimbang milik partai, sehingga itu menguatkan keberadaan politik transaksional.

Tak Ada ‘Mahar’, Akui Munculnya Cost Politik

Ketua DPC Partai Demokrat Jombang, M Syarif Hidayat membantah adanya mahar politik dalam memperoleh rekomendasi partai untuk maju dalam pilkada. Menurutnya, hal itu tidak berlaku di partai yang dianunginya itu.

Senada dengan Gus Sentot, Ketua DPC PKB Jombang Masud Zuremi, menampik rumor adanya mahar politik dalam memperoleh restu partai. Masud menyebut jika kabar adanya mahar politik yang nilainya mencapai ratusan juta untuk secarik kertas ‘sakti’ merupakan hal yang ngawur.

Sama dengan dua rekannya sesama politisi, Ketua DPC PDIP Jombang, Marsaid. Ia menyatakan, jika tidak ada mahar yang harus disetorkan calon bupati untuk mendapatkan rekomendasi partai.

Namun, ia mengakui jika ada biaya yang harus dikeluarkan calon yang ikut bertarung dalam Pilkada Jombang. Dana tersebut untuk menggerakkan mesin partai dan menggelang massa yang ia sebut sebagai cost politik.

Politisi gaek di PDIP Jombang ini tak menampik, jika calon-calon kepala daerah pasti mengluarkan biaya untuk kebutuhan pemilu. Yakni untuk kebutuhan APK (Alat Peraga Kampanye), gerakan, saksi dan lain sebagainya.

Namun, Marsaid tidak bisa menyampaikan berapa cost yang harus dikeluarkan calon kepala daerah untuk bisa maju dalam pilkada atau pemilihan bupati (Pilbup) di Kota Santri. Yang pasti ia menyebut jika biaya yang dikeluarkan cukup tinggi.

Biaya Tinggi Jadi Alasan Bupati Ketagihan Korupsi

Dari data yang dihimpun di KPU Jombang, besaran angka dalam pilkada langsung Kabupaten Jombang di tahun 2013 mencapai Rp 31.300.216.253. Dana tersebut dikucurkan untuk kebutuhan penyelenggaraan Pilbup Jombang dan Pilgub Jatim yang berlangsung dalam dua putaran.

Putaran pertama, jumlah biaya yang dikeluarkan daerah untuk kebutuhan Pilkda Jombang mencapai sebesar Rp 21.366.699.027. Dengan rincian Rp 10.525.698.000 untuk biaya pegawai dan Rp 10.841.001.027 guna biaya pengadaan barang atau jasa.

Sementara pada Pilkada putaran kedua biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 9.933.517.227. Dengan rincian Rp 4.796.210.000 untuk kebutuhan biaya pegawai sedangkan pengadaan barang atau jasa mencapai Rp 5.137.307.227.

Sedangkan di tahun 2018 ini, dana yang disiapkan untuk kebutuhan Pilbup Jombang dan Pilbup Jatim mencapai Rp 46.464.038.000. Dana tersebut merupakan dana hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jombang.

Besarnya nominal angka yang dibutuhkan dalam sistem Pilkada langsung, berbanding terbalik ketika Pilkada dilakukan menggunakan mekanisme parlementer. Sekretaris DPRD Jombang Pinto Windarto menyatakan jika tidak ada dana khusus yang disiapkan untuk kebutuhan Pilbup Jombang kala itu.

Pinto meyakini jika besaran angka yang dikeluarkan tidak sefantastis saat ini, berkisar antaran Rp 5 jutaan. Itupun ikut dana rutinitas dewan.

DPRD Jombang Setujui Pilkada Kembali ke Parlemen

Rencana mengembalikan Pilkada ke dewan dianggap mematahkan sistem yang kini berlaku. Namun jika dilihat dari kebutuhan anggaran yang dikeluarkan, memang terdpat efisiensi yang sangat besar. Dana APBD tak akan banyak terserap guna kebutuhan Pilkada.

“Kalau saya tergantung undang-undang tapi bagaimanapun juga, berarti kembali ke yang lama lagi itupun juga kurang bagus bagi teori yang sudah dikembangkan dibalikkan lagi,” kata Ketua DPRD Joko Triono, Jumat (11/5/2018).

“Tapi disisi lain mungkin ada perubahan cara, bagaimana agar tidak menggunakan pembiayaana yang terlalu tinggi, ini yang sebetulya bagi kita jika membicarakan pembiayaan sangat dirugikan,” imbuhnya.

Joko menuturkan, jika pilkada dikembalikan ke meja parlemen, maka akan mengurangi peran masyarakat dalam demokrasi. Ia pun berharap ada cara khusus untuk menangani persoalan ini. Hal sama juga diungkapkan Ketua DPC Partai Demokrat, Syarifudin (Gus Sentot). Ia sepakat jika Pilkada dikembalikan sesuai mekanisme tahun 2003.

“Saya setuju aja, dengan alasan efisiensi biaya dan efektifitas proses penyelanggaraan tanpa harus mencederai demokrasi yang ada. Anggaran pemerintah yang begitu besar bisa diarahkan untuk fokus kesejahteraan masyarakat, apa lagi dengan biaya besar yang dikeluarkan paslon seringkali berimbas pada korupsi yang dilakukan pemenang pilkada pada pemerintahnya,” sambungnya.

Bahkan ia berharap semua proses politik tidak mencederai, demokrasi yang ada. Ia menghimbau pembelajaran politik di masyarakat juga perlu digalakkan untuk menepis dan menghilangkan politik uang .

“Kami berharap semua proses politik tidak mencederai demokrasi yang ada, pembelajaran politik di masyarakat juga perlu digalakkan untuk menepis dan menghilangkan politik uang yang seakan sudah menjadi tradisi,” terangnya.

Sementara, Ketua PKB Mas’ud Zhuremi justru berbeda pendapat. Ia seakan tak menyepakati jika Pilkada dikembalikan ke parlemen. Menurutnya hingga saat ini hal pemilu tersebut masih dalam perdebatan

“DPR RI juga mengharapkan ada regulasi kembali, jika pilkada- pilkada tesebut dipilih oleh DPR. Tapi hingga saat ini hal tersebut masih dalam perdebatan pemerintah pusat,” terangnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Suryo Alam mengajak semua pihak untuk lebih bijak dalam melihat fenomena tersebut. Menurutnya, baik pilkada parlemen maupun pilkada langsung memiliki kelemahan dan kekurangan. “Dari sisi anggaran memang besar, tapi ini melibatkan masyarakat seluruhnya,” tuturnya kepada FaktualNews.co.

Menurutnya, harus ada pengkajian lebih sebelum memutuskan hal ini. Semua pihak bisa menyampaikan pendapat terkait dengan rencana pengembalian sistem Pilkada ke Parlemen. Dengan demikian, bisa menelurkan sistem yang lebih baik. “Saya rasa harus ada kombinasi, jadi yang baik di sistem parlemen bisa dimasukan ke sistem pilsung,” tandasnya.

Suburnya Korupsi, Gagalnya Kaderisasi Parpol

Direktur Linkar Indonesia untuk Keadilan (LInK) Jombang, Aan Ashori menyebut, praktik korupsi yang dilakukan para kepala daerah bukan lantaran sistem pemilihan yang salah. Melainkan bobroknya mental para pejabat.

“Ini sebenarnya bukan masalah sistem pemilihan, buktinya dari pengakuan para pelaku sejarah, pilkada melalui DPRD juga diwarnai dengan jual beli ‘kepala’ anggota dewan. Artinya ini mental pejabat kita yang sudah bobrok. Baik di DPRD maupun di Eksekutif dalam hal ini kepala daerah,” sindirnya.

Menurutnya, bobroknya sistem pengawasan yang dilakukan DPRD terhadap pola yang dilakukan para bupati menjadi makin banyaknya pejabat yang nekat korupsi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, longgarnya pengawasan itu sengaja dilakukan agar kedua belah pihak mendapatkan keuntungan.

“Mental para pejabat yang menjadi populer secara instan ini kemudian ditunjang dengan lemahnya pengawasan sistem, membuat praktik money politik kian marak. Jadi ini menunjukan demokrasi di Indonesia belum dewasa,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Aan menyebut jika partai politik memiliki andil besar dalam banyaknya pejabat korup di negeri ini. Ia menilai, jika selama ini parpol gagal dalam membentuk kader-kader yang bebas dan anti korupsi.

“Malah yang saya dengar sebaliknya, jadi parpol juga malah mendorong supaya para calon agar bagaimana caranya memenangi pilkada dengan cara apapun. Apakah itu menggunakan money poltik atau cara-cara lainnya. Ini merupakan kegagalan partai juga,” paparnya.

Bagi Aan, memang tidak mudah untuk menekan agar biaya pilkada tak sebegitu besar. Namun, bukan berarti biaya tersebut tidak bisa ditekan secara maksimal. Pihaknya juga menuntut agar KPU dalam hal ini yang menjadi penyelenggara pilkada bisa mendidik masyarakat untuk cerdik dan menolak segala macam upaya politik transaksional.

“Kekhawatiran saya kalau dirtarik kembali ke DPRD ini kemunduran dan makin menyuguhkan otoriterian parpol. Bahkan itu akan mendorong politik uang itu semakin besar terjadi. Karena jumlah pemilihnya sangat kecil,” jelasnya.

Saat ini lanjut Aan, dalam momentum Pilkada 2018, masyarakat Jombang wajib menjadi cermin untuk menolak segala bentuk money politik. Aktivis GUSDURian ini mengajak seluruh masyarakat untuk menolak dan tidak memilih calon yang menggunakan money politik guna memenangkan pilkada.

“Yang paling esensial saat ini masyarakat harus bersedia melawan itu semua. Semakin warga memiliki kontrol maka akan mengahasilkan pemimpin yang kredible,” tandasnya.

Saat ini, publik Kota Santri dihadapkan dengan pesta demokrasi. Tiga paslon berebut untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk bisa duduk di singgasana bupati.  Janji manis yang cuma di bibir sudah seharusnya minggir. Masyarakat pun ditutut untuk lebih cerdas dalam bersikap. Tak perlu gegabah untuk menentukan jagoannya. Demi kemajuan Jombang kedepan.

Tim Republik Besut

Penanggung Jawab : Adi Susanto
Editor                           : Zen Arifin
Reporter                     : Elok Fauria 
                                          Syaiful Arief
                                          Zen Arivin
Infografis                   : Lupes