Anomali Ongkang-ongkang Kaki
Oleh : Ilham Akbar*
FaktualNews.co – “Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp. 112 Juta”. Dari kalimat itu, secara praktis kita bisa menilai betapa hebatnya orang tersebut yang berhasil mendapatkan Rp 112 Juta tetapi kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki saja.
Kalimat tersebut memang cenderung memengaruhi publik untuk berpikir bahwa ternyata kerja dan gaji yang diterima sangat tidak seimbang. Ternyata kalimat tersebut dijadikan judul info grafis oleh Radar Bogor yang menampilkan gambar Megawati Soekarnoputri pada 30 Mei 2018 kemarin.
Maksud dari info grafis tersebut memang tidak lain hanya untuk menciptakan opini publik yang sangat heboh. Tetapi karena tidak semua masyarakat mempunyai pemikiran yang sama dengan Radar Bogor, maka pada hari yang sama simpatisan PDIP pun melakukan penggerudukan ke kantor Radar Bogor karena tidak terima dengan berita yang diterbitkan itu.
Publik memang sempat dihebohkan terhadap penggerudukam tersebut, karena tindakan yang dilakukan oleh simpatisan PDIP itu sangat tidak memberikan panutan yang baik terhadap masyarakat. Terlebih lagi penggerudukan tersebut dilakukan saat menjelang perayaan hari lahir pancasila.
Setelah terjadi penggerudukan tersebut, aparat hukum memutuskan bahwa penggerudukan tersebut tidak ada unsur pidana sama sekali. Tetapi dari keputusan tersebut, para jurnalis yang berada di Bogor dan sekitarnya tidak menerima dengan perlakuan PDIP terhadap Radar Bogor. Kemudian mereka melakukan demonstrasi di beberapa tempat, dan menyatakan bahwa Radar Bogor tidak pantas menerima penggerudukan tersebut.
Memang dari peristiwa itu sangat tidak pantas untuk dilakukan oleh partai sekelas PDIP yang selalu menggaungkan kata “Demokrasi” sebagai ciri khas dari partai tersebut, dan seolah-olah peristiwa tersebut menggambarkan bahwa sistem pers pada saat ini menganut otoritarianisme. Karena pers sangat dibatasi untuk melakukan kritik terhadap pemerintah ataupun elite politik.
Tetapi setelah terjadi ketidakjelasan siapa yang salah dan siapa yang benar dari peristiwa itu, akhirnya pada hari Senin 4 Juni 2018 kemarin, Dewan Pers menyatakan bahwa Harian Radar Bogor melanggar kode etik jurnalistik. Dimana Harian Radar Bogor melanggar Pasal 1: “Wartawan Indonesia Bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Dan Pasal 3: “Wartawan Indonesia Selalu Menguji Informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencantumkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Dewan Pers juga mewajibkan Harian Radar Bogor untuk melakukan permintaan maaf kepada Megawati Soekarnoputri dan para pembaca. Kemudian juga dari pernyataan tersebut, Dewan Pers sangat menyayangkan penggerudukan tersebut, dan mengimbau kepada aparat hukum untuk mengambil tindakan demi tegaknya kemerdekaan Pers.
Dari peristiwa tersebut, ada keanehan yang tidak seperti biasanya terjadi (Anomali) di mana ketika Harian Radar Bogor benar-benar di dukung oleh para jurnalis dan dianggap sebagai media yang tidak bersalah dalam menyampaikan informasi, tetapi di sisi yang lainnya justru Dewan Pers menyatakan bahwa Harian Radar Bogor melanggar kode etik jurnalistik.
Seharusnya jika ingin menjadi media yang tidak tendensius, maka Radar Bogor tidak hanya berkutat dengan berita yang hanya berbobot pada judulnya saja, dan pada akhirnya dari judul tersebut bukannya memberikan inspirasi kepada masyarakat. Tetapi justru judul tersebut tidak bisa diterima dengan baik oleh simpatisan PDIP.
Lalu hal yang harus dilakukan oleh beberapa media agar tidak melakukan pelanggaran kode etik adalah dengan menerapkan jurnalisme yang tidak ofensif terhadap peristiwa baru yang mudah sekali untuk menciptakan opini publik yang heboh.
Menghancurkan Mitos Lama dan Menerapkan Eufimisme
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sepertinya jurnalisme masa kini harus menghancurkan mitos lama yang seringkali menjadi pedoman jurnalis dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Mitos lama tersebut ialah, “Good news is no news, bad news is good news.” Ungkapan ini pernah diyakini kebenarannya oleh wartawan dalam kurun waktu lama. Bisa jadi, ungkapan itu benar. Bahwa berita buruk juga akan membuat rasa ingin tahu masyarakat besar (Nurudin, 2009: 49).
Tetapi kenyataanya, mitos ini diterapkan oleh Radar Bogor, dan hasilnya kita bisa lihat sendiri bahwa ternyata mitos lama membawa media menjadi tersesat dan nahasnya mitos lama juga bisa mendorong media untuk melanggar kode etik. Oleh karenanya, institusi media jangan hanya sekadar mengejar keuntungan tanpa henti, media harus menerapkan eufimisme dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
Eufimisme yaitu istilah yang tidak ofensif sebagai pengganti istilah yang dianggap tegas secara ofensif (Dan Nimmo, 2011: 102). Misalnya istilah “Orang Salah Kaprah”, karena sebutan orang salah kaprah tidak mudah diterima dengan baik oleh masyarakat luas, maka kita harus menggantinya dengan sebutan “Orang Awam”.
Fenomena tersebut memang sudah menjadi hal yang wajar, dan hal ini harus dilakukan oleh beberapa media agar tidak melanggar kode etik jurnalistik. Memang sangat aneh jika melihat beberapa institusi media justru menerapkan judul berita yang sangat normatif, misalnya saja ketika ada pejabat yang melakukan korupsi, dan media menerbitkan berita dengan judul, “Ya Tuhan Ampunilah Dosa Pejabat yang Melakukan Korupsi itu”.
Jika hal itu diterapkan, maka artinya berita tersebut mendorong masyarakat untuk berdoa kepada pejabat yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan tersebut agar dosanya diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Memang suatu situasi yang tidak jelas jika ada suatu berita yang kadar subjektivitasnya tidak begitu tinggi, tetapi dianggap sebagai pelanggaran kode etik. Oleh karenanya pers pada saat ini harus meruntuhkan mitos lama dan menerapkan eufimisme dalam menyampaikan informasi.
Artinya jika ada peristiwa yang heboh, maka institusi media harus mengubah peristiwa itu untuk menjadi tidak heboh. Misalnya ketika ada peristiwa aparat hukum yang mengonsumsi narkoba, maka silahkan saja media memberitakan dengan judul, “Oknum yang Mengonsumsi Narkoba itu Harap di Maklumi”.
Bagaimana jika beberapa institusi media di Indonesia melakukan sopan santunnya dalam memberitakan suatu peristiwa?
Silahkan lihat dan selamat mencoba.
*)Penulis merupakan mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations, Semester 6.