JOMBANG, FaktualNews.co – Topeng monyet, hiburan rakyat yang sudah tak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Di era 90 an, topeng monyet menjadi hiburan favorit anak-anak. Namun seiring perkembangan jaman, hiburan rakyat ini mulai sepi peminat.
Selama ini memang tidak banyak literatur buku yang resmi menulis tentang sejarah topeng monyet. Andai ada, itu hanya berupa dokumentasi foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto itu hasil jepretan Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau juru foto Amsterdam yang bekerja di Indonesia pada 1947 sampai 1953.
Namun Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam novel sejarah karyanya pada 1981 yang berjudul: Roro Mendut, menyebut istilah topeng monyet sebagai kethek ogleng, yakni: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu dan dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet.
Sementara itu Matthew Isaac Cohen, dalam bukunya berjudul: The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 di halaman 341, menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa), ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan Cina; balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), pertunjukan anjing dan monyet, serta seniman boneka.
Istilah 'pertunjukan anjing dan monyet' yang disebut-sebut oleh Matthew Isaac Choen, kemudian dikutip oleh Peter J. M. Nas, dalam bukunya berjudul: The Indonesian Town Revisited. Dalam buku itu dia menulis sebuah catatan kaki tentang istilah topeng monyet.
Dalam catatan itu dia mengatakan, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing (seperti ditulis Matthew) direproduksi di Indonesia. Di Jakarta, kata dia, dikenal dengan nama 'topeng monyet', sementara di Jawa disebut ledhek kethek.
Peter menambahkan, miniatur sirkus (topeng monyet) tersebut merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
Tulisan Peter itu cocok dengan dokumentasi foto hasil jepretan Charles Breijer. Seperti terlihat dalam beberapa foto hasil jepretannya.
Agaknya, dahulu pertunjukan topeng monyet memang banyak disukai oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Konon, atraksi ini bertahan terus hingga era 70-an. Bahkan, karena sangat terkenal, atraksi itu dapat dimainkan berkali-kali dalam sehari.
Topeng monyet sendiri merupakan kesenian tradisional yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia. Pertunjukan topeng monyet juga dapat dijumpai di India, Pakistan, Thailand, Vietnam,Tiongkok, Kamboja, Jepang, dan Korea.
Namun kini, atraksi topeng monyet agaknya kurang menarik. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan ketika atraksi monyet naik sepeda, pakai topeng reog ponorogo atau payung ngamen, hampir tidak ada yang simpatik. Apalagi, atraksi ini juga menuai kontroversi.
Dibalik aksi lucu monyet yang mampu menampilkan beragam atraksi, ada satu bentuk penyiksaan hewan menurut sejumlah kalangan. Derasnya isu sosial tentang pelarangan topeng monyet mulai bergema beberapa tahun belakangan. Para pecinta hewan menilai satwa liar memang tidak bisa dimiliki dan dieksploitasi untuk kepentingan manusia dan harus diberikan kesempatan untuk memperoleh kesejahteraannya.
Monyet untuk atraksi topeng monyet biasanya berusia muda sekitar delapan atau sembilan bulan. Monyet muda ini dilatih dengan cara disiksa oleh pemilik dalam waktu yang lama. Agar bisa berjalan tegak, tangan monyet diikat ke belakang, digantung dan dipaksa duduk berjam-jam di jalan.
Agar monyet terus berlatih, seringkali pemilik sengaja tidak memberikan makan. Salah seorang pelatih monyet ini mengaku separuh monyet yang dilatihnya mati karena tidak kuat. Monyet yang telah pintar kemudian akan dijual atau disewakan oleh pemilik kepada pelaku topeng monyet. Karena adanya penyiksaan inilah maka banyak organisasi yang menyerukan penghapusan topeng monyet baik dari dalam maupun luar negeri.
Di Jombang sendiri, aksi topeng monyet kian redup. Meski bukan kota yang secara tegas mengatur tentang pelarangan topeng monyet sebagaimana Jakarta dibawah kepemimpinan Jokowi saat masih menjabat Gubernur, namun keberadaan topeng monyet di kota santri kian sulit dijumpai.
Salah satunya diungkap Paidi, pawang monyet dari Pare Kediri. Pria paruh baya yang sehari-hari menggantungkan hidup dari atraksi monyet kecil yang ia beri nama Menik ini mengungkapkan, penghasilan yang ia dapat tak lagi seperti era kejayaan topeng monyet sendiri.
Kini untuk menghasilkan uang 100 ribu ia harus rela keliling menggunakan motornya hingga puluhan kilometer. “Saya makan sehari sekali saja, yang penting cukup buat beli bensin dan sedikit sisa untuk belanja keperluan rumah tangga,” ungkap Paidi, senin (18/6/2018). Terkadang Paidi juga harus rela berbagi makanan dengan Menik agar dapur tetap bisa ngebul.
Ia juga tak ambil pusing tudingan adanya ekploitasi dibalik hiburan yang ia suguhkan. Lengkap dengan ular air sepanjang satu meter yang ia temukan dipematang sawah. Paidi terus menyusuri jalan diperkotaan dan pedesaan. Ia berharap dimusim liburan hari raya idul fitri ini,i ia mampu membawa sedikit berkah lebaran bagi keluarganya.
Sambil membunyikan gendang pengiring Menik menampilkan sejumlah atraksi menghibur, Paidi terus menyusuri panasnya sengatan matahari kota santri. Dalam hatinya resah menjerit bimbang. Akankah esok hari, anak-anaknya dapat makan. Persetan eksploitasi, Tuhan, beri hamba sedikit rejeki.