TOPENG monyet mungkin sudah melekat sebagai salah satu hiburan rakyat pinggiran. Bagaimana dengan badut politik? Bagi sejumlah kalangan badut politik tidak ubahnya seperti topeng monyet. Mereka akan hadir dengan berbagai topeng. Menampilkan wajah dan senyuman semanis madu.
Dermawan??? Oh tidak perlu dipertanyakan lagi. Seperti pepatah ‘Orang Mengantuk Disorongkan Bantal’, bakal banyak dermawan yang muncul. Apalagi jelang pilkada serentak 2018 serta Pileg dan Pilpres 2019 mendatang. Saat itulah kemunculan badut-badut politik mulai memasang perangkapnya.
Mereka para badut akan menjerat kalangan yang lemah, letih, lelah dan berbeban berat. Golongan inilah nantinya yang akan mereka jafikan sasaran empuk. Bagi yang strata yang lebih tinggi, momentum ini justru dijadikan masa keemasan. Bantuan datang silih berganti. Semuanya gratis. Bukan hanya bonus, bukan pula buy one get one free. Namun bisa dipastikan semua serba gratis.
Berbagai cara menarik simpati, dukungan dan suara bakal ditempuh. Melanggar hukum sekalipun tetap dipakai asalkan tujuan tercapai, dukungan… dan.. dan.. pendulangan suara tentunya. Mulai dari rehab musala di sana-sini, santuni keluarga miskin, orang sakit, anak yatim piatu, hingga hadiri hajatan warga jelata yang selama ini ditolehpun tidak.
Sah saja tingkah laku seperti ini. Bukankah merupakan sebuah tindakan yang mulia dan terpuji? Namun tingkah laku seperti ini bisa mencurigakan jika kehadirannya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Ini yang perlu kita waspadai. Ada apa sebenarnya? Apa timbal balik yang mereka harapkan dari kepalsuan ini
Saya rasa, semua masyarakat, dari Sabang sampai Merauke sudah mengetahui timbal balik seperti apa yang mereka harapkan. Namun sayangnya, banyak yang terjerat, banyak yang manggut-manggut hanya karena ditampar dengan beberapa lembar rupiah, bantuan, janji-janji manis dan lain-lain. Tapi apakah janji-janji yang dihamburkan itu benar-benar terealisasi?
Tanggal 27 Juni 2018 hari bersejarah bagi kota Santri. Warga Jombang bakal memilih pemimpin untuk 5 tahun mendatang. Paslon nomor 1 Mundjidah Wahab berpasangan dengan Sumrambah.
Pasangan ini belakangan cukup mendominasi pendulangan suara yang tersebar seantero Jombang. Mundjidah dikenal bukan setahun dua tahun kebelakang. Namun sepak terjang putri KH. Wahab Chasbullah ini sudah puluhan tahun malang melintang di sudut-sudut Kota Santri. Ia besar dengan pendukung paten-nya Muslimat dan fatayat NU. Jika kemenangan dipihak Mundjidah maka itu sebuah hasil yang memang sudah waktunya ia panen saat ini.
Di nomor urut 2 ada Nyono Suharli Wihandoko yang menggandeng wakil dari PKB, Subaidi Muktar. Petahana yang nasibnya tak sebagus karier selama memimpin Jombang 1 periode belum genap. Ia tersandung kasus korupsi dan dinyatakan tersangka dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun disisi lain, sebagai petahana dia mampu menorehkan segudang prestasi di bidang pembangunan. Jalan-jalan di pedesaan khususnya utara Brantas yang selama ini terpinggirkan, kini mulus bagai paha wanita sexy yang tak bercela.
Belum lagi dibangunnya sejumlah kawasan yang akhirnya menjadi ikon baru kota Jombang. Ditambah progam motor operasional untuk RT/RW se Kabupaten Jombang, menambah gigitan tajam membekas direlung para pemilih. Nyono dalam kepemimpinannya bisa terbilang moncer, meski diakhir jabatan harus bernasib tragis.
Di nomor urut 3 ada pensiunan perwira menengah polisi, Syafiin atau yang biasa dipanggil Gus Syaf. Pendatang baru ini belum diketahui sama sekali rekam jejaknya. Hanya di dunia maya, ketika kita cari di mesin pencari google hanya ada satu kasus menonjol Gus Syaf. Ia menggugat Kapolri lantaran tidak terima tidak terima dimutasi dari Kepala Biro Umum Sekretariat Negara (Setneg) RI menjadi perwira di Mabes Polri. Gugatannya dinyatakan ditolak.
Semua kembali kepada hati pemilih di Jombang. Siapapun calon yang akan dipilih itulah suara rakyat Jombang. Menang kalah adalah hal yang biasa yang terpenting jangan terkotori dengan ulah-ulah badut politik.
Sementara jika muncul pertanyaan kemana arah FaktualNews.co? Sebagai media dan pilar ke empat demokrasi media harus netral dan tidak berpihak kepada salah satu Paslon. Namun untuk personalnya itu sudah menjadi hak individu masing-masing.
So… kembali saya mengingatkan pilihan boleh beda tapi persaudaraan tetap dijaga.
Salam Redaksi