FaktualNews.co

Penguatan Nasionalisme Dalam Keluarga

Opini     Dibaca : 1711 kali Penulis:
Penguatan Nasionalisme Dalam Keluarga
FaktualNews.co/istimewa/
Hamidulloh Ibda.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), ada lima nilai karakter utama yang strategis dikuatkan dalam keluarga. Lima nilai karakter utama bersumber dari Pancasila itu menjadi prioritas pengembangan gerakan PPK, Yakni, religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan.

Keluarga dan masyarakat sangat berperan menyukseskan PPK di atas lewat membelajarkan nilai-nilai Pancasila untuk membangun generasi nasionalis. Sesuai rumus tri sentra pendidikan, keluarga menjadi ranah pendidikan pertama sebelum sekolah dan masyarakat. Artinya, keluarga dan masyarakat turut bertanggungjawab untuk membangun generasi nasionalis di tengah gempuran ideologi saat ini.

Penguatan Pancasila sangat ditentukan peran keluarga dan masyarakat pada pendidikan anak di satuan pendidikan. Anak-anak jenjang SD/MI sampai SMA/SMK/MA menjadi nasionalis atau tidak sangat ditentukan peran keluarga dan masyarakat. Iklim berkarakter, ramah, cinta damai dalam keluarga sangat mendukung penguatan PPK salah satunya nasionalisme.

Penguatan nasionalisme dalam keluarga ini didukung Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Maka sudah seharusnya semua keluarga memahami peran strategisnya dalam menyukseskan penguatan nasionalisme lewat PPK dengan ruh Pancasila.
Pancasila Sudah Final.

Bangsa besar identik dengan nasionalisme warganya. Indonesia memiliki empat pilar kebangsaan (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945) yang unik dari bangsa lain. Pancasila sudah final dan tak perlu diubah. Semua suku, agama, ras, dan warga kulit bisa menyatu dalam rumah “Pancasila”.

Yudi Latif (2017) menegaskan hanya dengan simpul Pancasila segala warna bisa bersatu, segala rezeki bisa berbagi. Lihat saja beberapa negara hancur karena tak bisa menyatukan spirit kebangsaan dan kegamaan. Seperti contoh Libia, Suriah, Irak, dan Yaman. Mereka hancur karena tak menjunjung tinggi nasionalisme dan menyatukan Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA).

Berbeda dengan kita yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu). Kutipan Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular abad ke-14 ini menjadi jimat pemersatu bangsa yang harus dirawat.
Sedikitnya, ada dua problematika ideologi kebangsaan kita. Pertama, inklusi sosial yang menyasar masalah SARA, pemisahan agama-negara, lunturnya nasionalisme, dan spirit pemurnian Islam berujung jihad terorisme. Kedua, penyegaran pemahaman Pancasila lewat pendidikan, khususnya pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.

Gempuran Ideologi Berbahaya
Saat ini banyak pemuda digerogoti ideologi transnasional dan jihad keliru yang sangat berbahaya. Mereka memakai topeng Islam, padahal tak ada agama menganjurkan mengebom. Pola penyebaran terorisme dalam keluarga dan masyarakat harus dipotong mata rantainya melalui penguatan Pancasila serta nasionalisme.

Pembenturan nasionalisme-religiostitas di Nusantara ini sudah ada sejak era ke-18. Pelopor Kaum Padri (Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang) membawa ajaran Wahabisme dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1701-1793) yang dulu murni gerakan politik, bukan keagamaan. Kaum Padri kala itu membawa spirit pemurnian Islam di tanah Minangkabau lantaran mereka menilai Islam sudah tak murni karena campuran budaya.

Pemaksaan kehendak Kaum Padri itu menyebabkan Perang Padri (1803-1838) yang dipimpin Imam Bonjol (1772-1864). Di akhir hayat, Imam Bonjol minta maaf karena perang itu dan mengakui nasionalisme termasuk Islam. Pada 1973 beliau dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional.

Di Cina, Hu Songshan (1822-1898) ulama Wahabi justru mengakui cinta tanah air sebagian dari iman. Rumusnya, pi zhi bu cun, mao jiang yan fu, meiyou guojia na hai you zongjiao (jika tak ada kulit, di mana bulu akan menempel, jika tak ada negara, mana mungkin ada agama) (Long, Wenjiong, 2005). Artinya, agama dan negara bagai dua keping mata uang dan tak bisa dipisahkan.

Sampai detik ini, banyak kelompok dan ormas masih belum final menerima Pancasila. Amany (2016) mencatat, selain HTI, ada lima ormas yang harus diwaspadai karena anti-Pancasila, mulai ANNAS, JAT, MMI, FUI, dan FPI. Ormas seperti ini harus dikenalkan pada anak-anak, dengan cara arif dan bijaksana lewat peran keluarga dan masyarakat.

Darurat Nasionalisme
Darurat nasionalisme memiliki beberapa indikator. Pertama, munculnya sikap inferior terhadap bangsa. Kedua, kentalnya karakter kolonial seperti inlander, melupa, miopik (rabun), instan, pragmatis dan sebagainya.
Ketiga, terjajahnya masyarakat oleh faham jihad terorisme. Mulai dari level aqidah (keyakinan) dan fikrah (pemikiran) jihad teror. Lalu amaliyah (ritual) dan harakah (gerakan) berupa takfiri (mengafirkan), tabdi’ (membidahkan), tasyri’ (memusyrikkan) sampai mengebom.

Keempat, stigma Indonesia negara kafir, demokrasi tagut, hormat bendera bidah, lagu Indonesia Raya itu syirik, dan lainnya. Semua itu karena mereka menganggap Pancasila bukan produk Islam. Sejarah lahirnya Pancasila sangat Islami karena menggabungkan nilai keagamaan dan kebangsaan.

KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama melakukan ritual panjang dengan Bung Karno kurun 1 Juni – 18 Agustus 1945 saat merumuskan Pancasila. Mulai dari salat hajat, puasa, hingga muncul petunjuk dari Allah yang menyatakan Pancasila diiringi bacaan basmalah sudah islami.

Sebelum NKRI diproklamirkan, KH. Hasyim Asyari merumuskan spirit Islamiyah (agama Islam) dan wataniyah (kebangsaan) bisa senada tanpa dipisahkan. Untuk mengusir penjajah pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asyari menggelorakan semboyan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) untuk mengobarkan spirit santri dan masyarakat melawan penjajah.

Nasionalisme memiliki relasi dengan doktrin hubbul wathan minal iman yang sudah final seperti dirangkum dalam Pancasila. Sudah terbukti nilai-nilai religius dan kebangsaan di negeri ini mampu mengeluarkan Indonesia dari jeratan penjajah. Kita tak bisa membayangkan jika warga negara saat penjajahan dulu tak memiliki nasionalisme. Maka membangun generasi nasionalis menjadi tugas bersama.
Peran Keluarga dan Masyarakat.

Keluarga dan masyarakat sangat berperan menguatkan Pancasila untuk membangun generasi nasionalis. Konsep tri sentra pendidikan (alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda) harus dipahami semua anggota keluarga, tokoh masyarakat, ormas, dan organisasi kepemudaan.

Kemitraan tri sentra pendidikan ini sangat berperan besar membangun ekosistem, iklim, dan atmosfer pendidikan yang mampu menumbuhkembangkan karakter dan budaya berprestasi anak. Khususnya, dalam menumbuhkembangkan karakter pancasilais, nasionalis, dan antiradikalisme.

Perlu konsep edukatif dan strategis menyinergikan peran keluarga dan masyarakat. Pertama, pemahaman mendasar pada lingkungan keluarga dan masyarakat akan pentingnya peran mereka dalam pendidikan anak di satuan pendidikan.

Pendidikan dalam keluarga sangat strategis mendukung program Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dan Nawacita.
Kedua, keluarga dan masyarakat harus mengembangkan budaya literasi lewat sinergitas. Anggota keluarga dan masyarakat yang literat, mereka mampu menjadi guru bagi anak-anak. Mereka mampu mengajak anak membaca, menganalisis. Bahkan menuangkan ide-ide anak lewat kegiatan menulis.

Hal itu mendukung pendidikan anak di satuan pendidikan lewat terciptanya ekosistem pendidikan kondusif, nasionalis, ramah, moderat. Sebagai kunci keberhasilan pendidikan anak di satuan pendidikannya.

Ketiga, ekosistem pendidikan keluarga harus didukung pelibatan masyarakat. Bisa lewat ormas keagamaan, ormas pemuda, ormas perempuan, dan lainnya yang menguatkan Pancasila untuk membangun generasi nasionalis. Penguatan lebih pada metode belajar lewat aplikasi daring atau gawai yang dimiliki anak karena hal itu sesuai kebutuhan zaman.

Keempat, pembelajaran Pancasila dalam keluarga dan masyarakat harus menguatkan pemahaman akan pertahanan ideologi bangsa. Lewat konsep sederhana, anak-anak harus dikenalkan pada substansi Pancasila. Mulai dari aspek nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatandan keadilan untuk membangun generasi nasionalis.
Nasionalisme dalam negara memang bukan segalanya.

Namun, segalanya bisa berawal dari sana! Keluarga, menjadi alam strategis mencetak generasi nasionalis untuk mendukung perkembangan anak sesuai satuan pendidikannya. Jika tidak sekarang, kapan lagi? (Hamidulloh Ibda)*

Penulis adalah Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung, Jawa Tengah.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Nurul Yaqin