Oleh : Dian Marta Wijayanti
BANYAK cara yang bisa dilakukan untuk membangun generasi nasionalis di tengah bahaya laten terorisme saat ini. Peran keluarga sangat strategis membangun generasi nasionalis. Hal ini menjadi tugas berat karena saat ini banyak sekali anak-anak tergerus arus global yang mengakibatkan anak-anak kecil hati dan tak berjiwa nasionalisme.
Keluarga sebagai “madrasah pertama” bagi anak-anak harus mendukung penguatan karakter nasionalisme yang menjadi amanat Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dan Nawacita. Sebagai Tri Sentra Pendidikan pertama, keluarga sangat berperan mendukung kesuksesan belajar anak-anak pada satuan pendidikannya. Jangan sampai generasi kita tidak cinta tanah air, bahkan bermental asing, inlander, dan berfaham transnasional.
Jika dipetakan, ada tiga jenis manusia di Indonesia yang tinggal bersama kita, bahkan kita sendiri termasuk dari golongan itu. Mulai dari pribumi, setengah pribumi dan asing. Kemudian siapa yang saat ini berkuasa di negeri ini? Jika dihitung, berapa banyak manusia pribumi berjiwa asing di negeri ini? Jika ini dipetakan dan didefinisikan secara jelas, maka kita akan tahu mana kawan dan mana lawan.
Dalam lima sila Pancasila tidak ada perbedaan manusia Indonesia, baik dari sisi ras, agama, etnis, maupun golongan. Penghentian penggunaan kata “pribumi” diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Hal ini juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Dalam Inpres itu, penggunaan istilah “pribumi” dilarang dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Maka kata yang tepat adalah “nasionalis” yang bisa merangkul semua golongan tanpa pandangan bulu.
Kata pribumi harus dimaknai secara jernih dan dari akarnya. Sebab, selama ini banyak regulasi pemerintah dalam pendidikan yang mendorong peserta didik berkarakter nasionalis, namun praktik pendidikan kita belum seratus persen mendukung karakter tersebut. Oleh karena itu, perlu sinergitas antara keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tiga Jenis Manusia Indonesia
Kita harus belajar sejarah jika ingin mengetahui berapa jenis manusia Indonesia. Kaelan (2017) menyebut di Indonesia ada 1.340 suku bangsa dan 300 kelompok etnik. Di dalamnya ada berbagai macam bahasa, warna kulit, seni, budaya dan berbagai macam tradisi. Di situ, kita mendeteksi karakter masing-masing suku sesuai aspek biologis dan ideologis.
Dari ribuan suku itu, sudah mafhum diketahui bahwa Jawa menjadi suku terbesar sebelum Sunda, Batak dan Madura. Namun perlu diketahui, zaman Hindia Belanda dulu, di Indonesia juga ada kecil orang dari India, Arab, dan Tionghoa pada zaman kerajaan. Jadi, sebelum Indonesia ada yang secara formal dimulai pada 17 Agustus 1945, banyak suku yang menghuni Nusantara ini. Pertanyaannya, apakah mereka tidak pribumi? Tentu tidak.
Maka kata “Indonesia” sendiri, dari salah satu pendapat adalah “Kepulauan Hindia”. Indonesia dari kata Latin, yaitu indos yang artinya Hindia dan nesos yang artinya pulau-pulau. Tidak heran jika Umar Kayam (1932-2002) menyebut Indonesia adalah “negara salah kedaden” lantaran secara bahasa bukan dari pribumi.
Bahkan, kata “Nusantara” lebih dinilai “asli pribumi” daripada “Indonesia” itu sendiri. Karena, sejak zaman Majapahit, Mataram, Sriwijaya, kata Nusantara lebih identik yang asli daripada Indonesia itu sendiri.
Secara bahasa, KBBI (2005) mendefinisikan pribumi sebagai penghuni asli, yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Jika ia orang Cina, misalnya, jika sudah lama di Indonesia, secara tidak langsung anaknya yang lahir di Indonesia adalah pribumi.
Dari sini, kita bisa memetakan setidaknya ada dua jenis perspektif yang dimaksud “pribumi” yaitu secara biologis dan ideologis. Secara biologis, siapa saja yang lahir di Indonesia adalah pribumi, baik dia keturunan Jawa, Sunda, Cina, Arab, blasteran atau lainnya.
Sementara secara ideologis, siapa saja yang menganut dan berjiwa Indonesia, mengamalkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, ia adalah pribumi secara ideologis. Maka urgensi pribumi nasionalis sangat tepat untuk menyelamatkan Indonesia dari bahaya terkikisnya nasionalisme.
Kita bisa memetakan ada tiga golongan manusia Indonesia dari perspektif di atas. Pertama, pribumi asli secara biologis dan ideologis. Kedua, setengah pribumi (hanya biologis/ideologis saja). Ketiga, asing, yaitu orang Indonesia yang berjiwa asing, inlander atau orang asing yang tinggal di Indonesia.
Dari ketiga jenis di atas, kita harus bisa bersikap dan memetakan siapa saja yang benar-benar pribumi, dan siapa yang pura-pura pribumi dan siapa orang asing. Orangtua sebagai guru bagi anak-anaknya, melalui kegiatan apapun harus membentuk karakter nasionalis, pribumi, dan asli Indonesia.
Nasionalisme dalam Keluarga
Siapa saja yang tinggal di Indonesia, baik itu pribumi, setengah pribumi atau asing, mau tidak mau harus taat, patuh dan menjadi Indonesia seutuhnya. Hal ini berlaku umum dan tidak bisa kita seenaknya melanggar aturan penggunaan kata pribumi untuk kepentingan pribadi. Semua itu bisa diajarkan orangtua dalam keluarga sebagai Tri Sentra Pendidikan.
Keluarga sebagai lingkup kecil harus menjadi “sekolah” bagi anak-anak. Keluarga sangat berperan mencetak generasi cerdas dan berkarakter sesuai program dari pemerintah. Dari tahun ke tahun pemerintah terus merevisi karakter dalam pendidikan. Sesuai UU Sisdiknas 2003, ada 18 karakter yang di dalamnya memuat pendidikan karakter termasuk nasionalisme.
Diknas (2011) menjelaskan ada 18 karakter yang diprioritaskan mencetak generasi Pancasilais. Mulai dari religius, jujur, toleransi, disiplin, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, “semangat kebangsaan”, “cinta tanah air”, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan tanggungjawab. Pemerintah melalui Kemdikbud juga telah melakukan banyak revisi tentang pendidikan karakter yang di dalamnya ada beberapa karakter yang hampir sama dengan 18 karakter sesuai Sisdiknas di atas.
Berdasarkan Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), ada beberapa karakter bangsa Indonesia yang harus diajarkan dan dikuatkan kepada anak-anak kita. Poin karakter nasionalisme juga dikuatkan dalam Perpres Nomor 87 tahun 2017 tersebut.
Pasal 3 Perpres Nomor 87 tahun 2017 disebutkan PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab (Setkab, 2017:4).
Di sinilah tugas sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menerapkan karakter nasionalisme, semangat kebangsaan dan cinta tanah air sebagai wahana mencetak generasi yang “pribumi” seutuhnya. Bukan pribumi karbitan, buatan, palsu dan hanya “numpang” hidup di Indonesia. Sebab, pilihannya hanya tiga, pribumi tulen, setengah pribumi atau sekalian menjadi manusia asing.
Penulis merupakan guru ASN di Dinas Pendidikan Kota Semarang, Mahasiswi Prodi Dikdas Pascasarjana Universitas Negeri Semarang