Jombang Mampukah Keluar dari Rezim Pungli ?
Oleh : Yusron Aminulloh*
FaktualNews.co – Pasca “Pilkada yang dingin”, Jombang menyisakan sejumlah tanda tanya. Akankah terpilihnya Mundjidah Wahab – Sumrambah, mampu melahirkan kepemimpinan bersih seperti slogan kampanye anti pungli ?
Tidak mudah. Itulah teks yang tepat untuk menjawab. Ada beberapa indikator yang bisa disodorkan untuk tesis ini. Setidaknya karena beberapa faktor intenal birokrasi yang kompleks dan seolah pungli sudah menjadi virus.
Pertama, realitas menunjukkan Bupati Petahana Nyono Suharli yang ikut berlaga di Pilkada kemarin, terbukti masih “ada yang memilih”. Bahkan mencapai 33 %. Ini artinya, ia punya pengikut setia. Tidak peduli ia sudah ditahan KPK, sosoknya masih dipilih.
Bahkan, konon info terkonfirmasi, pejabat mulai Kepala Dinas hingga Kepala Desa menjadi “provokator” utama pendulang suara bagi Nyono. Ini sesuatu yang tidak sederhana bagi Bupati terpilih untuk “membersihkan” dan memindahkan kesetiaan itu ada dalam barisannya.
Politik etik, apalagi politik nilai yang sering menjadi diskusi demokrasi, jangan coba dibawa dalam konteks ini. Karena yang dominan pada akhirnya adalah politik transaksional. Meski tidak harus identik dengan finansial, namun bisa melebar pada transaksi karena kelompok, kekerabatan, golongan, jalur organisasi keagamaan dan sebagainya.
Kedua, Bupati dan Wakil Bupati terpilih Jombang diuji oleh waktu. Akankah mampu menegakkan konsep anti Pungli dengan “perangkat birokrasi” peninggalan rezim sebelumnya yang terkenal pungli disegala lini.
Apalagi selama 5 tahun. Jajaran Kepala Dinas hingga bawahan, “meremehkan” Mundjidah sebagai wakil Bupati (tentu atas perintah Bupati). Jadi mereka hanya punya 1 pemimpin yaitu Nyono Suharli.
Mampukah Mundjidah – Sumrambah menujukkan powernya yang sejati dengan merombak substansial pada jajaran Kepala Dinas tanpa transaksional ? Mampukah ? Waktu yang akan menentukan. Namun yang pasti tidak mudah
Kalaupun Bu Mun dan Mas Rambah bersih anti pungli, mampukah orang orang sekitarnya melakukan hal yang sama ? Pasti dalam masa transisi sekarang semua mendekat. Nah, “pintu pintu” masuk untuk jabatan inilah yang rawan. Dan kalau diawal ini “ternoda” dengan transaksional finansial” jangan berharap itu tidak beranak pinak dan berkepanjangan ditahun-tahun mendatang.
Ketiga, pungli di Jombang, terbuka atau tertutup, struktural ataupun personal, sudah “membudaya” tahunan. Akankah mudah memberantasnya ?
Pungli itu terbungkus rapi dengan aturan pada satu sisi. Sementara pada sisi lain, seolah sudah menjadi “penyakit” yang turun temurun.
Zaman sebelumnya, menjadi kepala dinas, kepala sekolah hingga pamong desa semua pakai tarif. Kalau awal kepemimpinan dengan cara itu, otomatis pungli akan berlangsung subur. Karena mereka butuh korupsi dan pungli untuk mengembalikan modal.
Sebuah pernyataan Prof Dr Sunaryati Hartono menarik kita simak. “Penyakit pungli adalah pada birokratnya, jadi penyakitnya diperbaiki lebih dahulu,” tegasnya.
*)Penulis merupakan penjaga nilai, Rumah Belajar MEP Jl.Agus Salim 9 Jombang.