FaktualNews.co

Menguak Sejarah Bisnis Prostitusi di Negara Paman Sam

Internasional     Dibaca : 1260 kali Penulis:
Menguak Sejarah Bisnis Prostitusi di Negara Paman Sam
Ilustrasi

FaktualNews.co – Bisnis prostitusi di kawasan Amerika Serikat sudah ada sejak awal peradaban dan terus berkembang. Terutama sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di era Wild West.

Dilansir dari Male Indonesia, fakta janggal menyelimuti pelaku bisnis prostitusi beserta rumah bordilnya di masa lalu. Contohnya Hotel Dumas di Butte, Montana, yang memiliki tiga lantai membedakan tiga jenis pelanggan berdasarkan tingkat ekonomi.

Lantai bawah diperuntukkan bagi pelanggan menengah ke bawah, mereka disuguhi wanita tuna susila yang tak menarik. Namun, klien paling kaya dan berpengaruh menggunakan lantai teratas dan memperoleh fasilitas tambahan.

Istilah ‘distrik lampu merah’ diduga berasal dari buruh-buruh rel kereta api yang meninggalkan lampu merah mereka di luar rumah bordil saat melampiaskan hasrat. Di abad ke-19, lampu tersebut menjadi bagian tugas mereka sebagai buruh rel kereta.

Walau begitu, para wanita tuna susila juga berpengaruh terhadap pembangunan di Wild West. Mereka mengerjakan berbagai urusan rumah tangga saat pelanggan mereka tengah membangun negara.

Prostitusi Sebagai Jalan Pintas

Dulu, wanita di sana tidak berhak atas properti dan cuma punya sedikit pilihan pekerjaan kasar di pabrik atau menjadi pelayan di keluarga kaya. Keduanya bergaji rendah.

Maka, pekerjaan sebagai wanita tuna susila apalagi dalam rumah bordil lebih disukai, karena memperole penghasilan lebih baik. Setidaknya mereka juga mendapat jaminan tempat tinggal.

Pada masa itu, tidak heran melihat wanita tuna susila menabung banyak uang sehingga bisa membeli tanah cukup luas.

Mereka bahkan mendanai pendirian industri dan proyek irigasi. Singkatnya, wanita yang jadi ‘korban’ pelaku bisnis prostitusi berpenghasilan tinggi selayaknya orang-orang paling berpengaruh di Negeri Paman Sam.

Melenyapkan Perbedaan Rasial

Ketika rumah bordil semakin banyak, mereka secara tidak langsung membantu melenyapkan perbedaan ras.

Sebagai contoh, jika New Orleans menerapkan pemisahan ras di hampir semua bagian kota, maka tidak ada batasan seperti itu di Storyville, kawasan di mana bisnis prostitusi dan rumah bordil tidak bertentangan dengan hukum.

PSK bukan hanya berkulit hitam, tapi mencakup perlintasan budaya. Ini berlaku bagi ‘wanita pekerjanya’, pegawai umum, penghibur klub, kemudian berimbas pada pengguna jasa.

Anehnya, hal itu tidak bersifat dua arah. Pria kulit putih bebas menyewa jasa wanita berkulit apa pun. Sebaliknya, pria berkulit hitam dilarang menyewa wanita berkulit putih.

Aparat Mudah Disuap

Bisnis prostitusi dan rumah bordil sebenarnya ‘agak’ melawan hukum di Storyville. Namun, aparat seringkali tutup mata melihat pendirian rumah bordil karena adanya imbalan finansial.

Pada beberapa kasus, kaum wanita yang ‘beroperasi’ secara mandiri wajib membayar biaya untuk bisa menjalankan urusannya.

Setelah seorang wanita ketahuan bekerja sebagai PSK, pemilik rumah tinggal akan memeras si penyewa rumah.

Kegiatan ini berlaku dua arah. Bila ada polisi yang mulai bertingkah, pemilik rumah bordil atau PSK mengancam akan menguak keberadaan ‘tamu penting’ kepada publik.

Risiko Demi Tampil Menarik

Akibat pengaruh budaya dan lingkungan, para PSK harus membuat dirinya terlihat menonjol dan tampil menarik. Beberapa cara bisa ditempuh, namun semuanya mengancam kesehatan.

PSK terkadang meneteskan wiski di mata mereka agar berkilau, padahal itu terasa perih dan membahayakan mata.

Para wanita juga menyantap camilan yang mengandung arsenik. Apa sebabnya? Arsenik merusak sel-sel darah merah penyebab kulit pucat. Tampilan demikian lebih disukai oleh pria.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul
Tags