Cangkrukan Ringin Contong
Membangun Imajinasi Warga Jombang
Oleh : Yusron Aminulloh
JOMBANG,FaktualNews.co-Gunung Kidul 20 tahun yang lalu adalah kabupaten yang dikenal sebagai daerah minus. Berita yang beredar dimusim kemarau adalah warga kekurangan air. Kekurangan bahan makan karena paceklik.
Gunung kidul dulu adalah simbol kekalahan wong cilik. Menjadi kota iba yang mengundang uluran tangan. Dimusim kemarau, puluhan truk tangki air berdatangan. Puluhan lembaga sosial berbagi sembako.
Tapi hari ini, ditahun 2018, Gunung Kidul adalah pesona baru bagi Indonesia. Ribuan orang datang tidak untuk berbagi dengan membawa sembako, tetapi mereka datang mengunjungi pesona alam Gunung Kidul.
Gunung Kidul ternyata menyimpan pesona luar biasa, yang terkubur oleh zaman. Kini bangkit, menunjukkan harga dirinya. Dulu dikenal kota gaplek, kini berubah menjadi kota pesona wisata alam.
Bayangkan, betapa menakjubkan. Dalam waktu 10 tahun mampu menampilkan 58 wahana wisata. Tidak hanya untuk wisatawan lokal namun wisatawan nasional bahkan dunia. Jangan kaget, kalau jalan jalan disana mulus dan lebar.Home stay dan hotel berdiri berbarengan dengan tumbuhnya hotel di Yogyakarta.
Rakyat Gunung Kidul berdaya. Problem air tetap ada, namun kehadiran sejumlah perguruan tinggi membawa teknologi terbaharukan menjawab krisis air.
Pesona wisata Gunung Kidul, perlahan mengangkat harkat ekonomi warganya. Dengan berjualan dan membuka rumah rumah mereka menjadi “homestaty” bagi wisatawan. Otomatis warga berdaya.
Histori yang saya ketahui, bangkitnya Gunung Kidul, awalnya bukan pemerintah. Melainkan upaya swasta membuka wisata baru dengan kerja kerasnya. Namun peran Pemda Gunung Kidul aktif. Memudahkan perizinan, membantu promosi, membangun infrastruktur adalah langkah positif memajukan Gunung Kidul.
Banyak daerah punya potensi seperti Gunung Kidul. Swasta juga menggebu membangun wahana wisata baru. Namun pemdanya tidak mendukung. Izin dipersulit, infrastruktur tidak dibangun, promosi tidak dibantu. Maka tidak ada gayung bersambut.
Jombang Pesona
Lantas mampukah Jombang “mengikuti” gerak Gunung Kidul ? Mari kita baca lima frame yang saya tawarkan :
Pertama, dibanding 20 tahun yang lalu, Jombang memang sudah berbenah. Tempat wisata terus bertumbuh. Taman kota bersolek, dan pusat wisata di Wonosalam dan sekitarnya bertumbuhan.
Namun sayang, sebagian besar masih mengundang wisatawan lokal. Kalaupun ada masih lokal Jawa Timur. Itupun dalam even tertentu misalnya Kenduren (pesta Durian). Selebihnya lahirnya kampung Jawi, WTC, Balai Tani dll masih belum mampu mengundang wistawan nasional. Image nasionalnya belum tergarap.
Kedua, sebagai kota santri. Lima tahun ini Jombang memang mendapat berkah wisatawan Religi. Ribuan orang ziarah ke makam Gus Dur. Geliat ini mampu melahirkan magnet baru. Meski devisa baru bagi kota ini belum signifikan.
Pesona Wisatawan Ziarah ini maju pesat. Namun harap dicatat, mereka niatnya ibadah. Bukan rekreasi. Maka, ada dua hal yang menyertai. Mereka banyak yang tidak menginap, banyak yang tidak belanja. Karena hal itu tidak linier dengan niat ziarahnya. Maka jangan keget pertumbuhan hotel dan pusat oleh oleh sulit berkembang.
Ketiga, memang jangan bandingkan Jombang dengan Batu. Apapun yang “dilahirkan” di Batu tumbuh cepat. Apalagi daerahnya dingin, menjadi tempat wajib bagi orang kota weekend di kota ini.
Jangan kaget wahana wisata kelas nasional dan internasional tumbuh di Batu. Investasi diatas 100 milyard tidak takut bangkrut karena magnet wisatawan yang luar biasa.
Keempat, mari kita imajinasikan Jombang dengan Blitar. Kota Blitar jauh dari Bandara Juanda. Selama ini wisatawan lokal banyak berkunjung ke makam Bung Karno dan laut.
Tiba-tiba, ada langkah pengusaha wisatawan lahirkan Kampoeng Coklat. Konon modalnya Rp 10 milyard. Ia konsep menjadi pesona nasional bahkan internasional. Jangan kaget, orang dari berbagai wilayah Indonesia ingin berkunjung ke kampoeng Coklat Blitar.
Lihatlah orang antri membeli coklat. Orang melihat cara memproduksi coklat. Tanaman coklat meski tidak banyak juga melengkapi wahana ini. Image nasional terbangun Blitar dan Coklat.
Keempat, saya dengar ada beberapa pengusaha asal Jombang dan Surabaya sedang menggagas pola Blitar. Namun bukan coklat yang menjadi andalan, namun Durian.
Konsep awalnya, kenapa pesta Durian yang heboh setahun sekali itu, berhenti pada pesta. Seusai acara tidak banyak lagi durian. Maka penggagas “Durian Center” berkeinginan membuat wahana wisata edukasi yang dilengkapi kebun durian dan area jual durian yang tidak hanya setahun sekali.
Wahana “Durian Center” akan memanjakan wisatawan dengan durian selama waktu. Dari Januari hingga Desember durian selalu tersedia. Bahkan infonya, akan dilengkapi wisata literasi, dimana puluhan tanaman di area itu akan ada diskpsinya, sehingga pelajar dan pengunjung mendapat pemahaman.
Kelima, kalau Jombang mau maju seperti Gunung Kidul, atau minimal kayak langkah Kampoeng Coklat Blitar. Maka Pemda Jombang dalam kepemimpinan baru Bu Mundjidah-Sumrambah, harus menggelar karpet merah. Membuka dengan tangan terbuka. Kongkritnya mempermudah perizinan, membangun infrastruktur dan membantu promo kelas nasional.
Membangun Image kota Jombang dengan Imajinasi yang “liar” dan lateral, bukan linier adalah cara mengundang wisatawan nasional. Apalagi tol Surabaya Jombang hanya 50 menit. Ini potensi besar bagi kemajuan Jombang.
Masalahnya, maukah kota Jombang menangkap peluang itu ? Kita tunggu.
*Penulis adalah penjaga nilai Rumah Belajar MEP Jl Agus Salim 9 Jombang.