FaktualNews.co – Dibalik perkembangan teknologi seperti saat ini, sudah sangat jarang ditemukan game retro. Bahkan, generasi milenial jarang yang mengenalnya. Karena kini ‘gempuran’ game online seakan mematikan eksistensi game jadul.
Kemajuan teknologi menuntut pihak pengembang (developer) menciptakan perangkat dan game yang dapat memuaskan hasrat bermain mereka, baik dari segi grafis, gameplay atau hal lainnya. Lantas, apakah kita layak mengatakan bahwa game retro benar-benar di ambang kepunahan?
Media untuk Nostalgia
Republic Games and Collector Indonesia (RGCI), wadah berisi sekitar 1.400 kolektor game yang memiliki kesamaan minat ini resmi berdiri pada Oktober 2015.
“Tidak sedikit orang yang antusias terhadap game retro dan mengoleksinya. Entah Nintendo, Sega, Super Nintendo dan yang terbaru PlayStation 4. Sedangkan konsol yang paling banyak dikoleksi umumnya Atari, dari edisi tahun 70 hingga sekarang,” kata salah satu founder RGCI, Ramadani M, seperti dikutip dari Male, Selasa (31/7/2018).
Lantas apa misi RGCI? Pria yang akrab disapa Dani, menuturkan dia dan teman-temannya di komunitas membawa misi bagi kelangsungan game retro.
“Pertama, kami ingin bikin orang-orang bernostalgia. Misalnya dulu mereka pernah bermain ding-dong, bisa memainkannya lagi. Buat yang belum tahu, mereka tinggal mencoba mesin arcade tersebut,” tuturnya.
“Berikutnya, pameran game ini adalah upaya menjaga hubungan antara kolektor dan komunitas game di luar sana, seperti komunitas PlayStation 4 atau Xbox One. Sudah wajar apabila keduanya saling dekat.”
Kendala menggaungkan game retro
Dani mengakui, ada kendala dalam mengenalkan game retro ke kalangan milenial karena kehadiran emulator. Mereka tidak concern ke bagian fisik konsol, melainkan lebih menyoal gameplay. Sementara para kolektor menyukai orisinalitas, dengan keunikannya di masa lampau.
“Tujuan RGCI mengadakan pameran supaya mereka tahu seperti apa bentuk NES atau SEGA yang biasa mereka mainkan. Mudah-mudahan setelah menyaksikan dan mencoba, mereka tertarik mengoleksinya,” ujar Dani.
Founder RGCI lainnya, Rizki, turut angkat bicara. Menurutnya, RGCI hendak menyampaikan pesan kepada generasi milenial agar tahu betapa serunya pengalaman bermain arcade game dan pentingnya game orisinal.
“Ketika saya main dulu, banyak sekali game bajakan. Ada satu value yang hanya dipunyai oleh game orisinal. Selain itu juga, pemain bisa duduk bersama dan berinteraksi saat memainkan arcade game, tidak seperti multiplayer game,” kata Rizki.
Bukan tanpa alasan RGCI gencar mempopulerkan kembali game retro. Karena, ada kecenderungan bahwa milenial akan menjadi lost generation yang tidak mengenal game-game terdahulu.
“Dulu, game Pong tidak terlalu booming di Indonesia, sehingga generasi sekarang tidak mengetahuinya. Saya dan teman-teman tidak mau Atari, NES dan lain-lain ikut terlupakan. Mungkin Anda belum tertarik hari ini, but someday you’re looking for a retro game, we are still here,” ucap Dani.
RGCI juga punya cara lain demi mengembalikan eksistensi game retro. Baik lewat website resmi www.rgci.us, media sosial seperti Instagram, grup dan fanpage di Facebook (berjumlah 4.000 orang), serta subscriber di akun Youtube bernama Republik Sultan (1.800 orang).
Perdebatan di Dunia Game
Di setiap bidang, selalu ada pro dan kontra. Begitu pula dengan game. Dani menilai, kaum milenial jauh lebih tertarik pada e-sports yang mengutamakan keseruan bermain, sedangkan kolektor game retro lebih peduli akan story dan game experience.
“Masing-masing gamer punya minatnya sendiri. Selama Anda berada di dunia game, kenapa harus jadi musuh? Aneh kalau pecinta game retro dan e-sports saling berseberangan,” tuturnya.
Ditambahkan oleh Dani, gameplay dari game retro sangat jauh berbeda dibanding game kekinian. Perbedaan teknologi, serta faktor gengsi lantaran orang-orang selalu memainkan game yang sedang hype.
Apakah perdebatan hanya membandingkan seputar keunggulan game retro dengan e-sports semata? Rupanya tidak. Di beberapa kasus, pecinta konsol PlayStation 4 dan Nintendo Switch saling mengklaim bahwa konsol mereka adalah yang terbaik.
“Bila Anda bertemu seorang fanboy, tinggalkan saja. Karena menurut saya, PlayStation 4 dan Nintendo Switch tidak apple to apple. Sebagian game Nintendo untuk casual gamer. Sementara 70% game PlayStation 4 dikhususkan bagi hardcore gamer,” ujar Dani.
Ia berpesan agar seorang gamer menjadikan game sebagai sarana untuk menyatukan perdebatan. “Kalau Anda gamer, Anda adalah saudara saya. Bila tidak, akan saya racuni biar jadi saudara saya,” ujarnya lagi.