FaktualNews.co

Cangkrukan Ringin Contong

Kejujuran Dalam Realitas Politik Dibawah Cengkeraman Kuasa Partai

Opini     Dibaca : 925 kali Penulis:
Kejujuran Dalam Realitas Politik Dibawah Cengkeraman Kuasa Partai
Ilustrasi

Oleh : Adi Susanto

JOMBANG, FaktualNews.co – Jengah rasanya berbincang tentang hiruk pikuk politik. Hampir seantero bumi pertiwi membahas aksi jumpalitan para aktor jelang Pilpres. Enggan sebenarnya tangan dan otak ini ikut menumpahkan pandangan akan Pilpres. Aku lebih memilih memenuhi kebutuhan perut keluarga besar yang saat ini berada di pundak ku.

Namun curhatan salah satu tokoh yang selalu aku segani, begitu kuat menggelitik ujung kalbu untuk latah ikuti arus tsunami politik yang menghempas negeri ini. Diawal terjungkalnya Mahfud MD gegara dia bukan Mahfud NU, hingga siaran langsung Mahar dan PHP yang mengalahkan euforia kemenangan Timnas U16. Semua seolah ikut merasakan sakit ketika beliau bercerita secara detail tentang apa yang dialami.

Baik lawan maupun kawan secara emosional larut dalam satu rasa “Jujur itu pahit”. Tapi inilah realitas politik. Realitas politik dimana partai-partai masih menjadi penentu. Karena sistem kita memang ya masih begitu. Tanpa restu partai, tidak ada yang bisa maju sebagai calon Presiden di negeri ini tidak terkecuali Jokowi. Ini lah realitas politik negeri kami yang masih berada dibawah cengkeraman kuasa partai.

Untuk menjadi tokoh sekaliber Mahfud MD itu sulit. Namun menjadi seorang negarawan akan jauh lebih sulit. Kejujuran Pak Mahfud membuka hati semua orang. Pahit memang, tapi kepahitan yang harus ditelan sebagai obat. Jokowi mungkin dianggap kejam. Partai koalisi bisa dibilang raja tega, namun pemikiran kawan lama ku membuka relung sempit otak ku yang bebal akan sumpalan empati. Ia menulis tentang sepenggal film The Sum of All Fears.

Dimana adegan Presiden Rusia ketika ditanya oleh ajudannya, “kenapa harus mengakui didepan publik bahwa engkau membom Cechnya padahal bukan kau yang melakukannya ?”

Presiden Nemerov pun berkata, “Lebih baik orang melihat saya kejam, daripada mereka melihat saya lemah..”

Mungkin kondisi pula itu yang dialami Jokowi. Ia tidak ‘membunuh’ Mahfud MD. Akan tetapi, apabila ia mengaku keputusan yang diambil dalam tekanan, maka selesai sudah pertarungan. Satu lagi ujian tersulit yang berhasil dilalui Jokowi. Menjadi tokoh itu sulit, lebih sulit lagi menjadi seorang negarawan.

Ditambah lagi pilihan yang dijatuhkan pada Kiai Makruf Amin. Semua tahu siapa sosok Kiai Makruf Amin. Perang opini dan suara-suara kelompok oposisi yang membangun narasi agama masihkah akan berani ditampilkan ? Masihkah ada keberanian membully kiai sepuh ? Inilah yang kembali diingatkan kawan lama itu kepada ku.

Mungkin ini pula pendidikan politik yang sedang dijalankan Jokowi terhadap lawannya. Saling beradu strategi membangun negeri dengan argumen ekonomi serta progam terindah untuk bangsa. Belajar akan pertarungan yang sehat dengan tidak dikotori propaganda yang merobek kesucian agama. Mencoba menghilangkan penghinaan terhadap ayat yang dipakai ambisi berkuasa.

Ah terlalu songong jika harus ikut latah akan fenomena ini. Terlalu naif menulis dengan sebagian mencuplik pemikiran kawan. Sementara puluhan asap dapur masih terus bergantung agar bisa tetap ngebul masih serasa sulit aku penuhi. Biar Tuhan menyelesaikan dengan cara Nya. Tuhan memberi apa yang negara ini butuhkan bukan apa yang negara ini inginkan.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Adi Susanto