Oleh: Yusron Aminulloh*
FAKTUALNews.co – Menjual Jombang, tidak sesulit menjual Wakatobi. Membuat mata dunia melihat Jombang, lebih mudah dicapai dibandingkan melihat Banyuwangi. Karena Jombang memiliki marwah, wibawa bahkan daya tarik karena airnya sudah diberkahi oleh Waliyullah. Tanahnya diinjak para pejuang, dan mengalir darah Hisbullah.
Maka, begitu Anda mengenalkan diri dimananapun berada Anda orang Jombang. Imajinasi orang yang anda salami adalah bertemu “orang pilihan”. Suatu saat, saya bertemu seorang pria asal Malaysia saat umroh. Begitu saya menyebut Jombang, dia langsung bercerita soal Kyainya yang ternyata murid mbah KH Hasyim As’ari.
Dia kemudian cerita Pak Ud (Almarhum KH Yusuf Hasyim), KH Hasyim Latief, yang adalah sahabat2nya berjuang. Bahkan ia mampu cerita banyak soal Hisbullah.
Kalangan menengah, generasi 70-80an, para intelektual muda dimananpun berada. Mereka selalu menyebut 4 orang hebat dan aneh dari Jombang. Gus Dur, Nur Cholis Madjid (Cak Nur), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Asmuni (Srimulat).
Gus Dur pun kemudian menambahi sejumlah nama besar yang juga hidup di era 80an. Misalnya, Abu Bakar Bassyir, Wardah Hafid, dan sejumlah tokoh lain.
Jombang (Ijo Abang), adalah identifikasi jelas. Ada kaum abangan, ada kaum hijau. Personifikasi personal dan kelompoknya tentu sudah beda dalam konteks kekinian. Namun, tanah dan air Jombang selalu melahirkan “anak kandung” sejarah.
Lihatlah disamping Kyai dan Budayawan, ada juga penjahat besar juga lahir dari Jombang. Kusni Kasdut misalnya. Bahkan, di era baru, Ryan yang kecil dan lembut adalah seorang pembunuh yang mampu mengubur korbannya dengan dingin. Fenomena Ponari yang menyedot puluhan ribu orang mendatanginya (karena mampu mengobati lewat batu ajaibnya) juga kabar tentang Jombang.
Bahkan, jangan dikira hari-hari ini Jombang hilang “kesaktiannya”. Saya mendapatkan informasi, banyak anak hebat Jombang sedang kuliah di Syiria, Mesir, Madinah, Makkah, Libya, Jerman, dll. Mereka calon kyai dan ulama handal. Bahkan, banyak para ahli IT, media online, yang berasal dari Jombang, tetapi mengusai dunia. Sebut misalnya, yang sedang ngetop. Kang Sapto, founder Tirto.id yang juga konsultan media level internasional.
Dikalangan cendekiawan muda, lahir Sabrang Noe, anak Emha yang mulai menghiasi jagad intelektual muda dengan keahliannya Fisika dan dibumikan dengan Alquran. Belum nama-nama lain yang tidak mampu saya sebut satu persatu.
Maka, ditulisan awal saya menyebut, membuat Jombang terkenal tidak sesulit memperkenalkan Wakatobi dan Banyuwangi. Karena dua kota ini, hari-hari ini sangat dikenal dibanyak belahan dunia. Tentu karena pemimpinnya berani memajukan potensi yang dimiliki. Sinergi dengan pemerintah pusat sangat ideal. Sinergi dengan swasta terjalin baik.
Lantas bagaimana Jombang ? Akankah marwah dan nama besar yang dimilikinya mampu mendongkrak kemajuan Jombang ?
Ada lima catatan saya pekan ini:
Pertama, kekuatan religius, akar santri Jombang saya baca masih bertahan cukup kuat. Meski menurun kualitasnya disebuah pesantren, namun meningkat di pesantren yang lain. Air Jombang masih terjaga. Sehingga jangan kaget, 10 sampai 20 tahun yang akan datang akan lahir tokoh-tokoh baru Indonesia yang sekarang sedang “digembleng” oleh para guru di Jombang sendiri maupun di Negeri lain. Bahwa ada perubahan modernisasi yang “merusak” nama kota santri, adalah arus yang tidak mudah dibendung. Namun yakini, akan kalah dengan “aliran darah” para pendahulu.
Kedua, kalangan abang, mulai mendekat ke hijau. Ini alur sejarah yang tidak bisa ditolak. Baik Karena proximity maupun karena jalur hidayah. Tetapi apapun yang terjadi, siapapun yang masuk Jombang, berada dalam pucuk pimpinan Jombang, harus hati-hati. Mereka bukan sekadar bupati sebuah kabupaten kecil, namun mereka memimpin sebuah kota sejarah perjuangan para kyai.
Ketiga, sangat disayangkan, pemuda Jombang dan para pucuk pimpinan Jombang selama ini tidak mengenal dirinya, kotanya. Mereka mengenal sejarah sebagai bacaan, bukan sejarah sebagai nafas kehidupan. Maka Jombang akhirnya seolah terpisah dengan sejarahnya. Bahkan Jombang menuju “tidak lagi” menjadi kota bertuah dan bermarwah, karena selama ini pemimpinnya keluar dari “nafas” perjuangan pendiri dan pendahulu Jombang.
Keempat, sudah seharunya para pemimpin Jombang, para pejabat Jombang menyadari posisinya. Mereka harus mampu menjadikan semua orang asli Jombang ikut memiliki Jombang. Munculkan Sense of Belonging pada semua orang diluar Jombang tapi punya kaitan dan ikatan darah dengan Jombang. Undang orang Jakarta, Yogya, Bandung, Surabaya dan siapapun yang merasa terlahir dan terikat emosinya dengan Jombang.
Kekuatan ini kalau dijalankan akan mampu mengalahkan potensi pengembangan Jombang yang hanya mengandalkan APBD.
Kelima, bagaimana Banyuwangi maju adalah karena sinergi dengan orang pusat. Baik pemerintah maupun swasta. Bagaimana Wakatobi moncer sedunia juga karena jejaringan membangun bersama. Maka, saya usulkan Bupati dan wakil Bupati baru, undang tokoh-tokoh Jombang yang diluar Jombang ke Pendopo. Pejabat saatnya mendengar, mencermati, dan menggali gagasan2 besarnya. Jangan banyak berceramah kecuali memberi informasi baru tentang Jombang masa kini.
Persoalannya. maukah pejabat sekarang mendengar? Karena banyak mereka sudah merasa bisa. Merasa paling tahu. Kalaupun mendengar masukan, kadang hanya seolah-olah didengarkan, tapi sebenarnya “tamu luar itu” hanya dibutuhkan sebagai legitimasi. Kalau ini yang terjadi, jangan mengharap Jombang akan maju hanya mengandalkan APBD dan bantuan APBN.
*)Penulis adalah Master Trainer MEP Indonesia.