Peristiwa

Nestapa Korban Lumpur Lapindo, Menang di MA Tak Kunjung Terima Ganti Rugi

SIDOARJO, FaktualNews.co – Tuntutan warga Kota Santri, yang mengatasnamankan dirinya Forum Warga Peduli Lingkungan dan Agraria (Forwapala), agar PT Lapindo Brantas memberikan jaminan keselamatan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Dusun Kedondong, Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, cukup berdasar.

Lantaran warga tak ingin nasib yang dialami lima korban lumpur Lapindo Sidoarjo yang berada di luar Peta Area Terdampak (PAT) terjadi pada mereka. Sebab, meski sudah sah di mata hukum negara, hingga kini lima warga di Sidoarjo itu belum juga menerima dana ganti rugi pembayaran tanah darat seluas 17,1 hektar dikawasan Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo.

Lima korban tersebut diantaranya Thoyib Bahri, warga RT 2 RW 6 memiliki tanah seluas 1.972 berstatus letter C, Wahib warga RT 2 RW 1 memiliki tanah seluas 1.550 berstatus letter C, M Ekdar warga RT 2 RW 1 memiliki tanah 1.550 berstatus letter C, Zakki warga RT 2 RW 6 memiliki tanah seluas 4.100 status letter C dan Hj Mutmainnah warga RT 2 RW 6 memiliki tanah seluas 8.100 berastus SHM.

Salah satu pemilik tanah, Thoyib Bahri menduga, tampaknya upaya pemberian ganti rugi itu sengaja dipersulit. Sebelumnya, kelima warga ini diminta untuk membuktikan bahwa tanah mereka adalah tanah darat yang prosesnya melalui surat keputusan dari pengadilan.

“Kita sudah buktikan kalau tanah kita itu tanah darat. Memang pernah digunakan pesawahan, karena tidak ada saluran air, kemudian tanah tersebut tidak lagi di tanami,” ucap Thoyib Bahri saat berada di Balai Wartawan di Jl A. Yani Sidoarjo, Senin (17/9/2018).

Lima orang perwakilan warga korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo saat mengadu ke awak media

Namun, ternyata pembuktian itu tak membuat para pihak bergeming. Pemerintah justru ingin membeli tanah tersebut dengan tanah berstatus tanah basah yang harganya lebih murah yakni Rp 120 permeter dibandingkan tanah kering dengan harga Rp 1 juta permeternya.

“Kita tidak mau, karena semua bukti sudah ada kalau tanah kita itu tanah darat (tanah kering). Saat di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo dan disaksikan oleh aparatur desa setempat, mereka mengatakan kalau tanah tersebut tanah darat,” imbuhnya.

Setelah keluar surat putusan dari PN Sidoarjo bahwa tanah tersebut tanah darat, maka pihaknya mengajukan proses ganti rugi pembayaran lahan. Akan tetapi, tetap saja tidak dibayar. “Setelah saya ajukan sesuai permintaan, tetap tidak dibayar. Alasannya tidak ada perintah pembayaran,” terangnya.

Tak patah arang, Thoyib dan 4 korban lainnya mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi yang ditujukan kepada presiden yang waktu itu pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), pihak Pengerjaan Umum (PU) sebagai pelaksana dan PPLS sebagai juru bayar.

“Karena menurut pemerintah pada surat putusan itu dinilai sepihak. Oleh karena itu, kami disuruh menggugat. Alhamdulillah, oleh MA diputuskan kalau tanah kita, tanah darat,” terangnya.

Tidak hanya disitu, selain mereka melakukan gugatan, pihaknya juga melakukan banding pada tahun 2013 serta kasasi pada tahun 2014 dan hasilnya tetap kalau tanah tersebut tanah kering dan itu diputuskan pada tahun 2015.

Meski MA memerintahkan agar segera dilakukan pembayaran dengan nominal Rp 17,1 M, hingga saat ini mereka belum juga mendapat pembayaran dari pemerintah. “Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, mulai ratusan kali melakukan demo tapi belum juga dibayar,” terangnya.

Adanya permasalahan ini, para korban yang tanahnya diluar PAT sudah dijadikan tanggul dan kolam penampungan lumpur Lapindo Sidoarjo, mendesak kepada pemerintah agar segera ada pembayaran. “Semoga secepatnya ada pembayaran dari pemerintah,” pungkasnya penuh harap.